Refleksi Pencarian Makna Jihad

165

Oleh : Aziz Ian
(Kader GP Ansor Kabupaten Bogor)

Ini bukanlah sebuah pembenaran dari apa yang ditulis oleh sahabat saya nurhidayat dalam laman Nu Online dengan judul kisah kampung toleran di Jakarta Selatan. Karena apa yang ia tulis memang sebuah kebenaran, yang akhirnya dari peristiwa tersebut kami jadi lebih memahami apa yang dimaksud Gus Dur dengan Islam sebagai nilai. Memang benar tepatnya di tahun 2012 kami diajak untuk menghentikan sebuah proyek pembangunan gereja di wilayah Cinere, Depok.

Sebelum berangkat, kami dibekali informasi bahwa gereja tersebut tak berijin, gereja tersebut tak direstui oleh masyarakat sekitar, gereja tersebut illegal dan harus dibongkar. Bekal ini menjadi bahan bakar kami untuk memompa semangat juang yang ketika itu kami anggap sebagai jihad. Entahlah, karena kami terlalu bodoh atau mungkin kami terpesona oleh psikologi masa sehingga kami terbuai untuk mengikuti acara tersebut. Sampai di lokasi, kami melihat semua yang hadir menggunakan baju putih. Tampak dari kejauhan sebuah panggung yang sepertinya dijadikan sebagai tempat orasi untuk menyuarakan penolakan terhadap pembangunan gereja.

Semua yang mengisi acara di panggung tersebut bersuara keras dan parau, sangat kharismatik pikir kami ketika itu. Seolah-olah dibawa ke masa lalu tatkala jenderal-jenderal perang Daulah Islam membakar semangat juang anak buahnya, kami teringat Thariq bin Ziyad, Muhammad al-Fatih, Khalid bin Walid, Shalahuddin al-Ayyubi dan mungkin juga Sa’ad bin Abi Waqash. Bukan tanpa alasan, kami membayangkan mereka mungkin seperti ini (Berkoar-teriak), cara Para jenderal terdahulu membakar semangat mujahid-mujahid Islam. Sesekali kami teriak Takbir dengan Lantang sambil sesekali mengangkat tangan kanan kami.

Pulang dari sana kami merasa lebih semangat lagi, semangat jihad yang kami bawa sepulang dari aksi menjadikan kami lebih berani dari sebelumnya. Kami berpikir beginilah seharusnya Islam, berani bersuara lantang, berani berteriak-teriak kebenaran, berani berdiri digaris terdepan dengan mata yang memandang tajam pada mereka yang tak sepaham dengan kita. Sampai, disalah satu pengajian. KHR. Dr. Syarif Rahmat, RA, SQ, MA pengasuh Pondok Pesantren Ummul Qura memberikan beberapa wejangan yang sepertinya ditujukan kepada kami yang masih membarakan semangat aksi jihad. Karena ditiap-tiap pertemuan kami baik di Pesantren maupun di Kampus, selalu ini saja yang jadi bahan kajian kami. Jihad !!!

Dahulu pemaknaan jihad bagi kami adalah turun langsung melawan orang-orang non-Islam yang mengganggu Islam, dulu jihad selalu kami identikkan dengan qital. Bukan tanpa sebab, karena ayat-ayat dan hadits-hadits yang dipakai oleh para orator adalah ayat-ayat dan hadits-hadits yang membahas qital. Perlawanan terhadap pemerintah adalah jihad, melarang non-Islam beribadah adalah jihad, siap berjuang membantu menegakkan Negara Khilafah juga adalah Jihad. Ini yang kami ketahui dan dengar dari mereka sang orator dan dari beberapa kaset Nasyid yang sering kami dengar dengan sembunyi-sembunyi dari bilik pesantren karena memang menggunakan teknologi adalah hal yang tabu bagi santri ketika itu.

Sampai kami disadarkan oleh guru kami, yang sampai sekarang kami heran darimana beliau tahu kami siap berjihad dan bahkan kami sudah sangat tertarik bergabung dan membentuk ormas tersebut yang kebetulan masa itu belum dibentuk di Tangerang Selatan. Selepas itu kami memahami bahwa ayat dan hadits yang dipakai oleh para orator terlalu tekstual, pemaknaan jihad yang terbatas pada jihad qital akan menjadikan agama Islam yang murni menjadi kabur. Islam sebagai ajaran yang syarat dengan nilai-nilai moral lebih menekankan kepada penyelesaian-penyelesaian damai dan perang adalah solusi alternatif paling akhir setelah perdamaian atau dialog tidak tercapai. Karena di sisi lain Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk berprilaku baik kepada sesama manusia dan berbicara dengan tutur kata yang sopan, lemah dan lembut juga menyelesaikan masalah dengan jalur musyawarah.

Wejangan Hati

Perumpamaan atau permisalan selalu dijadikan Al-Qur’an sebagai bahan untuk memberikan pelajaran kepada Manusia. Seperti ketika Al-Qur’an membahas Zakat, perumpamaannya seperti Air yang membersihkan diri kita dari kotoran. Membahas Sedekah, perumpamaannya seperti kita menanam satu biji tanaman yang kemudian berdahan tujuh dan ditiap-tiap dahannya memunculkan seratus cabang. Ketika membahas kalimat thayyibah diumpamakan dengan pohon yang memiliki akar yang sangat kuat dan senantiasa berbuah setiap waktu. Begitupula hari itu, dibuka dengan perumpamaan para tukang bangunan yang ingin membuat rumah. Maka mereka membutuhkan semen, batu kerikil, pasir, batu bata, batako, batu kali dan bahan bangunan lainnya.

Namun para tukang bangunan tidak akan bisa mencampurkan semua bahan bangunan tersebut jika didalamnya tidak ada unsur air. Air diperlukan untuk menjadi perekat dari semua bahan bangunan tersebut, maka ketika semua sudah tercampur dengan baik jadilah sebuah rumah dengan pondasi yang kuat dan kokoh. Lalu, selepas itu perlu ditutupi atapnya agar ketika hujan si pemilik rumah tak kehujanan dan ketika terik tak merasa kepanasan. Dipasanglah genting, namun pembuatan gentingpun tak akan berjalan jika ketika masih tanah liat tidak ada unsur air didalamnya. Sehingga air sangat diperlukan dalam pembuatan genting.

Sudah bisakah ditempati? Jawabannya bisa, namun kurang indah dan elok jika rumah tersebut tidak segera diberikan warna-warni yang indah. Salah satu tukang bangunan berinisiatif membeli beberapa cat dengan warna yang berbeda. Sebelum dimulai pengecatan tukang bangunan mengambil air untuk menjadi campuran cat tersebut. Ah lagi-lagi air pikir kami. Tapi ya sudahlah, memang begitu seharusnya. Yang penting kini rumah tersebut sudah bisa ditempati oleh pemilik rumah, rumah yang kuat dan kokoh juga indah dilihatnya.

Ketika rumah tersebut berdiri apakah unsur semennya terlihat? Iya. Pasirnya terasa ada? Iya. Batu batanya? Iya. Batu kalinya? Iya. Namun apakah unsur airnya terlihat oleh mata kepala kita dan terasa oleh jari-jemari kita? Sepertinya tidak. Apakah ketika sebelum genting dipasang di atas rumah, kita bisa merasakan unsur tanah liat yang dikeringkannya? Iya. Namun kemana unsur airnya? Warna-warna indah yang menempel pada tembok kokoh bangunan tersebut apakah unsur airnya muncul? Padahal tanpa unsur air, cat tidak akan mungkin bisa langsung dipakai oleh para tukang bangunan.

Jadilah seperti air, yang selalu dicari dan dibutuhkan namun selalu tak terlihat. Jadilah seperti air yang dapat dijadikan “perekat” dan “pencampur” namun ketika sudah “dipakai” ia selalu tak terlihat dan tak terasa. Batu kali memiliki tekstur yang sangat keras, sehingga jangan sekali-kali memukul sebuah batu dengan tangan telanjang, pun sama memukul semen mungkin akan disepelekan oleh kita, tapi coba semen 5 sak dijatuhkan diatas badan kita? Entahlah, namun jangan dicoba.

Namun jika air kita pukul, sakitkah tangan si pemukulnya? Atau dijatuhkan dari atas air sebanyak satu tong besar apakah membuat sakit?
Batu kali dan semen adalah gambaran unsur-unsur keras yang selalu terlihat dan terasa oleh sang pemilik rumah. Namun air unsur kelembutannya, yang ketika dipukul dia tak memberikan rasa sakit bagi si pemukulnya. Namun hati-hati juga tatkala air sudah murka ia dapat menghancurkan puluhan kota dalam sekejap. Tak belajarlah kita dari kemurkaan air yang diijinkan Allah untuk datang ke daratan dan dalam sekejap Aceh menjadi luluh-lantak?

Kami benar-benar hanyut dalam untaian indah perumpamaan yang guru kami berikan disela-sela pengajian. Hati kami yang awalnya membara tiba-tiba padam segera, semangat kami masih berkobar namun bukan semangat “api” sudah berpaling menjadi semangat “air”. Filosofi air ini yang akhirnya kami jadikan pegangan untuk memahami esensi Islam sebagai nilai. Semoga kebodohan kami dahulu dapat dijadikan pelajaran kelak bagi siapapun yang langsung menganggap perbedaan adalah kenistaan. Bukankah Allah menciptakan manusia berbangsa, berbahasa dan suku juga agama yang berbeda-beda. Sehingga toleransi antar umat beragama harus kembali digalakkan, karena di Indonesia tidak mengenal “Tirani Minoritas dan Dominasi Mayoritas”. Mari menjadi air yang bisa memadamkan api-api