Refleksi Kehidupan Sosial Masyarakat Sunda Masa Kolonial

1558

Novel Sunda “Teu Pegat Asih”

Oleh : Farida fajrin*)

Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman (Wellek dan Warren, 1987:94).

Karya-karya sastra terbitan masa kolonial tidak akan terlepas dari persoalan seputar kehidupan kemasyarakatan, diantaranya yaitu persoalan kelas-kelas sosial dan dominasi kekuasaan. Novel yang berjudul ‘Teu Pegat Asih’ merupakan karya Soeman Hs yang sukses didongengkan kembali dengan bahasa Sunda oleh Moh Ambri dan salah satu sumbangsih yang merupakan karya asli kesusastraan Sunda. Novel ini berbicara masalah kelas-kelas sosial dan pola pikir masyarakat Sunda pada zaman itu (masa kolonial).

Dalam gambaran besarnya diceritakan hubungan cinta dua tokoh utama yaitu Nurhaida dan Taram yang tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua Nurhaida akibat dari perbedaan strata sosial di masyarakat pada masa itu. ‘Teu Pegat Asih’ juga memunculkan persoalan lain diantaranya hegemoni yang kuat dari bangsa lain terhadap pola pikir masyarakat pribumi pada masa kolonial.

Novel ‘Teu Pegat Asih’ karya Soeman Hs yang sukses didongengkan kembali dengan bahasa Sunda oleh Moh Ambri merupakan karya sastra terbitan zaman kolonial yang terbit pada tahun 1932 oleh Balai Pustaka. Novel ini bergenre romance, dimana menceritakan dua sepasang kekasih yaitu Nurhaida dan Taram yang terbelit masalah kelas sosial dalam hubungan percintaan mereka. Kelas-kelas sosial tersebut muncul dari gejala-gejala sosial yang terungkap serta bersinggungan dengan dunia rasis dan perbudakan. Terbukti bahwa Taram yang merupakan anak angkat dari seorang kepala desa tidak membuka hati Encé Abas (ayah Nurhaida) untuk merestui hubungan dengan anaknya. ‘anak angkat’ yang disandang oleh Taram dianggap telah melekat di dirinya meskipun seorang kepala desa mengangkatnya anak.

Encé Abas seorang tuan kampung yang kaya raya memiliki pemikiran bahwa yang layak menjadi menantunya adalah orang yang kaya pula, yang bermartabat, alim ilmu agama dan jelas asal keturunannya. Terlihat bahwa Encé Abas dianggap memiliki kekuasaan penuh terhadap anaknya untuk menentukan jodoh.

Persoalan lain yang mendominasi muncul di akhir cerita bahwa Encé Abas merestui anaknya untuk dinikahi oleh seseorang yang berketurunan Arab. Diceritakan dalam novel, masyarakat memiliki kepercayaan berlebihan terhadap orang Arab atau keturunan Arab, hal itu dibuktikan dengan pernyataannya di dalam kutipan berikut :

“…Panganggapan urang dinya jaman harita bangsa Arab téh jelema nu pangmulya-mulyana di saalam dunya. Saha-saha nu boga minantu ka urang Arab, kajeun teuing paranakan ogé, tamat kamulyaanana di dunya. Siga kumaha, pantar kumaha minantuna téh? Hih teu ngurus nu kituna, asal urang Arab waé. …”.

Yang berarti…anggapan orang di sini jaman dahulu bangsa Arab adalah orang yang paling mulia di sealam dunia. Siapa saja yang mempunyai menantu ke orang Arab, walaupun peranakan juga, tamat kemulyaannya di dunia. Yang seperti apa kriteria menantu yang diinginkan? Hih tidak mengurus sampai seperti itu, asal orang Arab saja.”

Jika merunut sejarahnya, pada masa kolonial, pemerintah kolonial Belanda membagi 3 strata masyarakat di Nusantara. Kelas paling atas adalah kulit putih (Eropa, Amerika, Jepang, dll), kelas dua, Timur Asing (Arab, India, Cina, dll) dan kelas tiga, pribumi Indonesia. Berbeda dengan bangsa Eropa yang datang dengan kekerasan dan penjajahan secara terang-terangan, bangsa kelas dua ini khususnya bangsa Arab datang dengan jalan damai melalui perdagangan dan syiar agama Islam mungkin itulah alasan bangsa Arab lebih merebut hati pribumi Indonesia.

Pola fikir mereka mudah untuk dikontrol akibat dari pengetahuan mereka yang kurang. Mereka masih menganggap semua orang Arab adalah keturunan Nabi. Maka muncul anggapan siapa saja yang datang dari Arab adalah manusia yang paling mulia. Pun hingga kini gejala seperti itu pun masih terjadi, anggapan bahwa pakaian menjadi penentu keimanan seseorang. Seperti halnya orang yang memakai sorban dan baju gamis dianggap seseorang yang paling soleh dan ter-alim. Don’t judge someone by their cover, guys!

Kembali pada persoalan kelas-kelas, perbedaan kelas atau strata sosial pada zaman kolonial selalu timbul dalam gejala-gejala kehidupan kemasyarakatan dan mendominasi segala macam bidang kehidupan. Di Indonesia sendiri, meskipun menolak sistem kelas namun pada kenyataanya sering ada pertenangan antara elit dan golongan bawah.

Jika orang lain menggunakan istilah elas, Indonesia menggunakan paham pusat-daerah, wong gedhe- wong cilik, elit-rakyat kecil, dan seterusnya, kehadiran kelas atau lebi tepatnya strata sosial (elit-rakyat) sering bersinggungan di Indonesia. Persinggungan kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu juga sering menarik perhatian seorang pengarang. Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipandang sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya sastra akan menggambarkan “jarak” perbedaaan strata sosial dan kekuasaan (Endraswara, 2004:82).

Sumber :

  • Wellek, Rene dan Austin Warren. 1987. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT GRAMEDIA.
  • Endaswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra: Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

*Penulis Adalah Mahasiswa Sastra Sunda Unpad, Juga Sekertatis II PC PMII Sumedang

Suka?
Berita SebelumnyaManifesto Para Penipu
Berita SelanjutnyaMengenal Ilmu Nahwu