Radikalisme Karena Keracunan Paham Agama yang Sempit

150

cianjurpost.com – Untuk lebih memahami, gerakan radikalisme dan intoleran, Madani Institut, bersama Gerakan Pemuda Ansor, gelar Focus Grup Diskusi (FGD). di Cianjur Jalan Dr. Muardi nomor 146, Bojong herang, (29/11/2019)

Dalam diskusi tersebut, beberapa pemuka agama dan tokoh mayarakat, dari berbagai pondok pesantren dan organisasi se-cianjur, diantaranya Kiayi Asnawi, Arif Nurkholik Jailani (PC GP Ansor Cianjur), Dede Badri (Komandan Banser NU Cianjur), AKBP. Juang Andi Aprianto (kapolres) ‘diwakili.

Pengurus Wilayah GP Ansor Jawa Barat, Deni Ahmad Haidari, memaparkan gerakan Radikalisme adalah gerakan dari kelompok yang tidak menerima bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila. Yang kemudian memunculkan gerakan intoleransi, dan bertidak keras terhadap kelompok lain dengan mengatasnamakan agama.

“Sebagai contoh kecil dari gerakan ini, tidak mau menyanyikan lagu Indonesia raya, tidak menerima bendera merah-putih, dan contoh lainnya,” paparnya.

Menurutnya Kemunculan gerakan Radikalisme ini bukan hadir hari ini saja, bahkan sejak jaman dahulu, jaman para sahabat, dan pasca kemerdekaan di Indonesia.

” Pada jaman para sahabat, Syaid Ali pernah di tuduh kafir oleh klompok khowariz dan kelompok yang bersebrangan dengan pemahaman Syaid Ali. Kemudian di Indonesia munculnya Gerakan DI/TII yang di pimpin Kartosoewirjo yang ingin mengadakan negara berpemahaman Agama yang kurang menyeluruh,” paparnya.

Karena merasa paham yang dianutnya lebih baik dari paham yang lain, menurut Deni kelompok tersebut, tidak mau menerima paham kesatuan, dan tidak memandang bahwa perbedaan itu keniscayaan.

“Mereka lebih mengedepankan panatisme kelompoknya sendiri yang mengatasnamakan agama, ketimbang mentolerir paham yang lain,” uangkapnya.

Padahal menurut, ketua PW Ansor, Agama tidak bisa dikaitkan dengan satu kelompok atau kumpulan, agama pada prinsipnya bersipat privat, sebagai keyakinan individu, bukan kelompok.

“Didasari dari pemahaman agama yang keliru kita sebut “keracunan agama”, sehingga pemahamannya sempit tidak memberikan kesejukan bagi pemeluk agama lain, bahkan kelompok lain,”

Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa Agama harusnya seperti obat, yang harus bisa memberikan kesembuhan bagi orang yang terkena penyakit.

“Seperti halnya narkoba, sejatinya itu narkoba itu obat, apabila disalahgunakan menjadi berbahaya dan mengancam bagi kehidupan. Dalam hal ini sama, pemahamn agama bukan tidak mungkin disalahgunakan untuk kepentingan tertentu,”  tukasnya. (In)