Presiden dan Pesantren

96

Presiden dan Pesantren

Presiden yang dimaksud dalam catatan ini adalah Ir H. Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia ke 7. Presiden paling mengesankan setelah Al-Maghfurlah KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden yang dekat dengan pesantren. Belum lama ini Presiden kita berkunjung ke Pesantren besar di Madura.

Di tengah panasnya suhu politik di negeri ini, kunjungan Presiden Jokowi ke pesantren adalah salah satu ikhtiar Presiden paling tepat untuk menjaga keutuhan bangsa ini dari bahaya ujaran kebencian, hoaks, fitnah dan disintegrasi. Presiden memilih jalan silaturahim ketimbang terprovokasi isu-isu murahan soal PKI, Cina dan lain sebagainya.

Pesantren adalah saksi merdekanya bangsa ini. Berkat perjuangan para kiai dan santri bangsa ini mendapat rahmat Allah Swt. Tidak berlebihan jika pesantren adalah paku bumi bangsa ini. Presiden Jokowi tahu betul bahwa tanpa doa para kiai pesantren, sebaik apapun kabinet kerjanya, tak akan berarti. Untuk itu hubungan Presiden dan pesantren harus tetap kita kawal agar senantiasa erat.

Jangan khawatir dengan Presiden Jokowi. Para kiai dan santri pesantren siap mengawal kinerja Presiden. Apapun yang menjadi kebijakan Presiden, dapat dipastikan berdasarkan arahan dan restu para kiai pesantren. Untuk itu kita harus tetap hati-hati dari provokasi, dari pihak manapun, terutama dari para kelompok Ormas radikal dan segala kepentingan politik praktis.

Presiden paham betul Islam seperti apa yang harus bersemai di Indonesia. Islam Indonesia, Islam Nusantara, Islam berbudaya. Tiada lain adalah konsep keislaman yang selaras dengan konsep keindonesiaan, yakni wawasan dan praktik keislaman yang selama ini diilhami oleh pesantren dan Nahdlatul Ulama.

Sekali saya ingatkan, Presiden Jokowi diawasi oleh banyak elemen bangsa ini. Kita harus mengkritik kinerja Presiden dan mitra kerjanya, tetapi tidak untuk melancarkan ujaran kebencian SARA, hoaks dan fitnah. Kritik itu perlu tapi tidak dengan cara-cara yang keliru. Kita harus berimbang dalam mengawasi Presiden, bukan untuk menghalalkan segala cara, melakukan makar dan pemakzulan Presiden.

Kita pun harus hati-hati ketika menyelam dalam koridor agama. Agama punya dua bilah sisi: agama yang dijadikan juru damai dan agama yang dijadikan juru konflik. Agama yang menjadi juru konflik adalah agama yang kemudian dipolitisasi. Kondisi di mana Al-Qur’an dan hadits disalahgunakan, terutama untuk memenuhi syahwat politik praktis.

Kita harus sepakat menjadikan agama sebagai juru damai. Bagaimana caranya? Tiru bagaimana pesantren menyikapi agama-agama. Bagaimana Islam diakulturasikan dengan budaya lokal dan mampu beradaptasi dengan agama-agama lain bahkan dengan orang yang tidak beragama sekalipun. Mari kita jaga Indonesia, kita bekerja sama membangun bangsa bersama Presiden dan pesantren.

Wallaahu a’lam

Mamang M Haerudin (Aa)
GP Ansor Kabupaten Cirebon

Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 8 Oktober 2017, 21.50 WIB