Perppu No.2 Tahun 2017 dan Ormas Radikal

133

Publik kita kembali ramai, antara yang pro dan kontra terkait dengan telah ditandatanganinya Perppu No.2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Inti dari Perppu ini sangat jelas, melarang Ormas apapun yang tidak setia pada Pancasila. Untuk memperkuat carapandang, bisa kita baca tulisan berjudul ‘Perppu No.2 Tahun 2017, Ancaman Demokrasi?’ yang ditulis oleh Dr. Rumadi Ahmad, salah seorang dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Bagi saya sebetulnya Perppu ini sederhana, pemerintah bersama 14 Ormas (terutama Nahdlatul Ulama) sadar betul bahwa banyak–terutama Ormas Islam–yang berhaluan radikal dan anti-Pancasila. Jadi siapapun dan Ormas apapun tidak perlu marah dan apalagi akan menggelar aksi lagi untuk menyatakan protes dibalut dengan ritual keagamaan karena Perppu ini.

Persoalannya sederhana, buat apa marah dan menolak Perppu ini kalau Ormas tersebut setia pada Pancasila, selain juga NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945. Maka persoalannya sudah sangat jelas, siapapun yang menolak secara mentah Perppu ini, mereka dan Ormas itulah yang memang anti-Pancasila. Ormas yang ideologinya tidak mencantumkan Pancasila.

Masyarakat Muslim dan umumnya masyarakat bangsa tidak usah khawatir dengan dinamika ini. Pancasila bukan barang baru. Ia warisan leluhur kita yang paling berharga. Pancasila digagas oleh para ulama dan pahlawan bangsa. Pancasila sesuai dengan Islam dan agama apapun. Pancasila senafas dengan Islam, berkesuaian dengan Al-Qur’an dan hadits, spiritnya sama dengan Piagam Madinah yang digagas dahulu oleh Nabi saw.

Maka saran saya, terutama kepada teman-teman yang menolak Perppu ini, dasar penolakan kalian terhadap Perppu ini apa? Kalian mengatakan Perppu ini kemunduran bagi demokrasi? Bukan, bukan sama sekali. Agar lebih mudah, saya ambil contoh kasus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Di banyak negara HT dilarang beredar. Di Indonesia justru terlambat. Saya tahu betul siapa HTI dan apa saja propagandanya. HTI adalah Ormas yang jelas anti demokrasi, anti Pancasila. HTI hendak mengganti dan merusak NKRI dengan Khilafah Islamiyah atau Negara Islam. HTI mengobarkan semangat kebencian dan makar bahwa demokrasi itu sistem kufur, nasionalisme itu haram dan penganutnya adalah thagut. Nauzubillah.

Untuk memperjelas Ormas radikal itu seperti apa, berikut saya beberkan indikasinya: selain anti-Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, adalah mereka yang mengujar kebencian, melancarkan hoax dan fitnah, memprovokasi masyarakat dengan isu PKI dan China, mengharamkan hormat kepada bendera merah putih, melarang menyanyikan lagu Indonesia Raya, melarang upacara bendera, anti tradisi (tahlil, zikir, istighatsah, manaqib, ngupati, tarian, gamelan dlsj), menggencarkan politik identitas (jenggot panjang, jubah, celana cingkrang, jidat hitam, shalat dengan shaf menempel kaki, dlsj). Untuk memperjelas, keputusan memakai jubah antara misalnya saya dengan mereka (para aktivis ormas radikal) motifnya berbeda. Saya kerap memakai jubah, tentu selain melestarikan batik, tetapi saya memakai jubah bukan untuk motif politik identitas.

Ormas radikal biasanya dihuni oleh mereka yang baru belajar Islam dan tidak punya genealogi keilmuan dari pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. Mereka yang sebetulnya spiritnya bagus ingin berhijrah dan tobat, tetapi dengan jalan yang instan, tidak sabar dan tidak tekun. Mereka belajar Islam hanya dari tayangan video, majelis taklim, buku-buku. Para ustadz-nya pun bukan berlatar belakang pesantren, mereka para ustadz yang punya akar keilmuan dari Arab Saudi yang sering kita sebut Wahabi.

Saya sendiri masih bersama Presiden Joko Widodo, karena Presiden menggandeng para kiai pesantren se-Nusantara. Belum lama ini, misalnya Presiden menginisiasi majelis zikir Hubbul Wathan yang diketuai oleh KH. Mustofa Aqil Siroj, Pengasuh Pesantren Khas Kempek, Gempol, Kabupaten Cirebon. Jadi jangan khawatir dengan pemerintah kita sekarang karena masih takdim kepada para ulama dan kiai pesantren.

Wallaahu a’lam.

Mamang M Haerudin (Aa)

Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 17 Juli 2017, 18.40 WIB.