PERAN PESANTREN SALAF DALAM MEMBENTUK KELUARGA SAKINAH

356

Oleh : Moh. Haqie Annazili ( Mahasiswa STAI DR. KHEZ. MUTTAQIEN Prodi Ahwal Al-Syakhsiyyah)

Perkawinan merupakan salah satu asas pokok yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan bukan hanya merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunannya, akan tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum atau golongan dengan kaum atau golongan yang lain, sehingga dengan perkenalan tersebut akan membuka jalan yang lebar untuk saling memberikan pertolongan dengan yang lainnya.
Perkawinan adalah sunnatullah yang diberikan oleh Allah kepada semua makhluknya tidak terkecuali manusia. Adalah fitrah manusia menjalani suatu hubungan (pernikahan) dalam hidupnya, karena tidak bisa dipungkiri manusia pasti membutuhkan partner hidup, juga pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan bisa hidup tanpa bantuan dari manusia lainnya, pasangan sebagai teman untuk berkomunikasi, sebagai tempat untuk berbagi perasaan suka dan duka, atau teman untuk bertukar pikiran. Saya berasumsi bukanlah lelaki yang normal yang dalam hidupnya tidak menginginkan seorang partner hidup. Dia akan merasa terasingkan atau bahkan marasa sengsara hidupnya tanpa kehadiran seorang perempuan. Kodrat lelaki ini dijelaskan juga dalam hadis Nabi saw. Bahwa dunia ini adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan adalah perempuan yang baik Karena itu, sebagian orang berkata bahwa seandainya seorang lelaki harus memilih satu dari dua pilihan yaitu “ketenangan tanpa perempuan” atau “kesusahan bersama perempuan”, niscaya dia akan menerima kesusahan asal bersama perempuan. Untuk memenuhi itu semua, Islam menganjurkan setiap manusia baik pria maupun wanita untuk menempuh hidup melalui perkawinan.
Perkawinan dilakukan bukan hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan seksual semata, tapi lain dari itu setiap pasangan hidup pasti dalam menjalin sebuah ikatan perkawinan mengharapkan adanya keluarga yang sakinah, keluarga yang penuh dengan belaian kasih sayang. Dan ini merupakan tujuan utama dari sebuah perkawinan, sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S Ar-Rum : 21
Tujuan ini sama halnya yang disebutkan dalam pasal 1 undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu untuk membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Kutuhanan Yang Maha Esa. Hal senada juga disebutkan dalam kompilasi hukum Islam (KHI) bab II pada pasal 3 disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Di dalam bahtera rumah tangga hendaknya antara suami dan istri untuk menciptkan tujuan pernikahan, keduanya harus mampu menciptakan keadaan keluarga yang saling kasih mengasihi, sayang menyayangi, saling mengerti antara satu dengan yang lainnya. Sebuah keluarga dikatakan sakinah jika diantara kedua belah pihak merasakan kebahagiaan baik kebahagiaan lahir (jasmani) maupun batin (rohani). Kebahagiaan lahir bagi istri misalnya bisa berupa hak mendapatkan nafkah dari suami, terpenuhinya kepuasan biologis baik istri maupun suami. Sedangkan kebehagiaan batin bisa diwujudkan dengan penyaluran rasa cinta, kasih sayang diantara kedua belah pihak, dll.
Akan tetapi, yang perlu diiangat oleh setiap pasangan hidup (suami istri) bahwa hubungan cinta dan kasih sayang tidak dapat hanya dibatasi dengan pelayanan yang bersifat materil, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya, tapi harus senantiasa dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan yang lebih mulia dan tinggi, yakni kebutuhan rohani, cinta, kasih sayang dan barakah dari Allah SWT. Dengan demikian bisa diasumsikan bahwa pelayanan yang bersifat material akan diikuti dengan hubungan batin, yakni cinta dan kasih sayang. Sehingga puncak tujuan pernikahan yakni terbentuknya keluarga sakinah, mawaddah warahmah dapat tercapai.
Akan tetapi didalam membangun sebuah rumah tangga yang sakinah, cinta dan kasih sayang tidaklah semulus seperti apa yang kita bayangkan, hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya percekcokan yang terjadi didalam keluarga bahkan hingga berujung pada perceraian. Perceraian merupakan puncak dari perkara keluarga dalam kaitanya dengan pernikahan yaitu sebuah perkara yang harus dihadapkan di PA (pengadilan agama).
Beberapa persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat membuat kita lupa untuk memperhatikan makna dan tujuan dari pernikahan sebagai kerangka nilai dalam pernikahan sebagaimana yang terlampir dalam QS ar-Rum : 21. Sebagian dari kita masih memahami secara dangkal bahkan tidak mengetahui bagaimanakah cara mencapai tujuan dari pernikahan, khususnya membentuk keluarga sakinah, sehingga yang terjadi kemudian pernikahan tidak memiliki esensi seperti yang dimaksudkan oleh al-Qur’an sendiri.
Maka dari itu, melihat kondisi seperti ini perlu kiranya dilakukan sebuah tindakan preventif terhadap tindakan-tindakan yang mengarah pada terancamnya hubungan keluarga yang sakinah dengan melakukan upaya pembenahan kembali terhadap nilai-nilai Islam. Nilai dan ajaran Islam tersebut bukan hanya dikenal dan dimengerti, akan tetapi harus dilembagakan dan dibudidayakan agar berlaku dalam kehidupan sehari hari, karena nilai dan ajaran Islam mampu menjadi kendali dan pedoman bagi kehidupan manusia.
Salah satu cara preventif yang dapat dilakukan adalah melalui media pesantren. Karena pesantren merupakan sebuah tempat dimana seseorang akan mendapatkan pendidikan agama Islam secara utuh. Di pesantren seseorang akan mendapatkan pembekalan pengetahuan yang tidak akan didapatkan ditempat lainnya. Di pesantren santri akan mempelajari berbagai macam ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh, akhlak (tasawuf), tafsir al-Qur’an, nahwu dan sorof yang semuanya akan dipelajari minimal 6 tahun, santri akan bisa menguasai total ilmu yang diberikan oleh pesantren. Karena dalam metode pembelajarannya, pesantren juga tidak beda halnya dengan pendidikan formal lain yang diklasifikan dalam bentuk kelas per-kelas, dipesantrenpun juga demikian. Ilmu yang diberikan pun sama disetiap kelasnya, hanya yang membedakan adalah jenis kitabnya saja. Karena hal ini disesuaikan dengan tingkatan kelasnya masing-masing.
Mengapa pasantren yang dapat dijadikan sebagai langkah preventif dalam kehidupan keluarga? Umumnya, dipesantren tidak hanya diajarkan berbagai ilmu yang saya sebutkan tadi, akan tetapi lebih dari itu seorang santri akan diajarkan prihatin atau tirakat yang biasa dilakukan dengan jalan puasa. sebagai media melatih kepribadian santri dalam menghadapi kehidupan. Selain itu, di pondok pesantren santri juga akan mendapatkan pelatihan mental spiritual yaitu biasa melalui mujahadah ataupun salat malam.
Output pendidikan pesantren adalah bagaimana mempersiapkan santri mempunyai kepribadian yang baik, berakhlak soleh, berbudi luhur dan nasru al-ilmi -mengamalkan ilmu- yang didapatkan dari pesantren. Dengan modal ilmu agama yang cukup santri diharapkan mampu memberikan kontribusi pemahaman terhadap masyarakat, termasuk bagaimana dengan ilmunya ia dapat menciptakan sebuah keluarga yang sakinah.
Karena agama merupakan ketentuan Tuhan yang membimbing dan mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat (sa’adatudarain). Ia berperanan ketika pemeluknya memahami dengan baik dan benar, menghayati, dan mengamalkkan ketentuan itu. Agama akan lumpuh serta hilang fungsi dan perannya jika pemahaman, penghayatan, dan pengamalannya itu tidak dapat tidak dapat tempat dalam kehidupan pemeluknya.
Pesantren mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam hal mencetak produk insan yang berkhlak al-karimah, manusia-manusia yang mempunyai kepribadian pendirian terhadap ajaran agamanya. Dengan dasar inilah jaminan untuk membinan keluarga sakinah bisa didapatkan. Akan tetapi, konflik didalam rumah tangga tidak akan bisa dipungkiri keberadaannya, tergantung bagaimana cara untuk menyelesaikaanya, sehingga tidak berujung pada perceraian. Karena tidak sedikit sebagian dari masyarakat kita yang sebenarnya sangat mengerti terhadap ajaran agama, akan tetapi perceraian suami istri pun tidak bisa dihindari. Ini artinya membina kehidupan rumah tangga tidak segampang apa yang dipikirkan oleh setiap orang yang akan melangsungkan pernikahan atau orang yang sudah membina pernikahan, namun belum mendapatkan apa itu dan bagaimana keluarga sakinah itu.
Ciri khas pertama yang membedakan sistem atau komunitas manusia yang perlu berlandaskan kaidah Islam dan hukum-hukumnya dimana saja dengan yang lainnya adalah ketundukan individu-individunya dan kepasrahan total mereka yang diaktualisasikan pada bentuk amal pada hukum-hukum Allah swt.. sehingga mereka layak menyandang lebel Islam dan penghambaan kepada Allah SWT. sebuah penghambaan yang dipresentasikan dan dibingkai dengan syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah yang dimanifestasikan melalui konsep ideologis, dan juga diekspresikan melalui ritual peribadahan yakni pernikahan.
Berangkat dari pesantren yang memberikan kontribusi agama yang cukup terhadap santri-santrinya, dan terinspirasi dari banyaknya pasangan suami istri (para asatidz) yang dibentuk dari pesantren, saya tertarik untuk menguak ataupun mencari informasi tentang bagaimana konsep yang diterapkan oleh (para asatidz) dalam membentuk keluarga sakinah dengan melalui peranan pesantren salaf yang pernah disinggahi atau yang telah memberikan kontribusi pemahaman tentang agama.

Mendambakan keluarga sakinah merupakan keinginan dan dambaan setiap orang yang berumah tangga. Akan tetapi, kehadiran keluarga sakinah itu tidak secara otomatis melainkan harus memperhatikan syarat-syarat bagi kehadirannya. Syarat yang paling utama adalah mempersiapkan kalbu atau hati. Kemudian disusul syarat selanjutnya bisa juga mempersiapkan segi ekonomi, psikologis atau mental dan juga mempersiapkan bekal ilmu yang cukup untuk membimbing keluarga.
Dalam keluarga yang sakinah, terjalin hubungan suami-istri yang serasi dan seimbang, tersalurkan nafsu seksual dengan baik dijalan yang ridhai Allah SWT, terdidik anak-anak menjadi anak-anak yang saleh dan salehah, terpenuhi kebutuhan lahir dan batin suami-istri, terjalin persaudaraan yang akrab antara keluarga besar dari pihak suami dengan keluarga besar dari pihak istri, dapat melaksanakan ajaran-ajaran agama dengan baik, dapat menjalin hubungan yang mesra dengan para tetangga dan dapat hidup bermasyarakat dan bernegara secara baik pula.
Akan tetapi, sebagaimana pemaparan sebelumnya bahwa dalam membentuk keluarga sakinah tidaklah mudah, harus membutuhkan pengorbanan dan proses panjang untuk mewujudkannya. Proses ini tidak hanya terbatas pada saat telah menikah saja, namun diawali pula dengan kesiapan tiap-tiap individu (calon suami dan calon istri) untuk mempersiapkan ilmu, ekonomi, dan mental secara baik.
Terkait masalah persiapan ilmu, pesantren merupakan objek utama yang dapat memberikan pemahaman terhadap agama (Islam) yang lebih dibandingkan dengan pendidikan lainnya. Hal ini dikarenakan di Pesantren dipelajari ilmu yang berkaitan dengan keluarga secara khusus yaitu kajian fikih yang didalamnya termasuk kajian tentang pernikahan (fikih munakahat) dan juga kitab yang mengajarkan bagaimana cara menjalin relasi hubungan baik antara suami dan istri (kitab ‘Uqud al-Lujjayn). Salah satu persiapan membentuk keluarga sakinah adalah memilih calon suami atau istri, dimana Islam menganjurkan bahwa ada kriteria-kriteria tertentu untuk memilih seorang pasangan diantaanya adalah karena Harta, Nasab, kecantikan dan agama, dan islam lebih condong kepada agamanya. Maksudnya dari empat kriteria tersebut yang harus dinomersatukan adalah persoalan agama.
Dengan melihat realita yang terjadi di masyarakat, kini amat sulit menemukan apa yang terkandung dalam keluarga sakinah. Hal ini dibuktikan dengan tingginya tingkat perceraian yang terjadi
Melihat kenyataan ini, seolah hadis Nabi saw. Yang menerangkan bahwa perceraian merupakan perkara halal yang dimurkai/dibenci Allah swt., sudah tidak diindahkan lagi oleh sebagian masyarakat kita. Oleh karena itu, melalui alternatif pesantren sebagai media penggemblengan kepribadian, mental, dan ilmu agama diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam membentuk keluarga sakinah sesuai dengan apa yan

PERAN PESANTREN SALAF
DALAM MEMBENTUK KELUARGA SAKINAH

Perkawinan merupakan salah satu asas pokok yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan bukan hanya merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunannya, akan tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum atau golongan dengan kaum atau golongan yang lain, sehingga dengan perkenalan tersebut akan membuka jalan yang lebar untuk saling memberikan pertolongan dengan yang lainnya.
Perkawinan adalah sunnatullah yang diberikan oleh Allah kepada semua makhluknya tidak terkecuali manusia. Adalah fitrah manusia menjalani suatu hubungan (pernikahan) dalam hidupnya, karena tidak bisa dipungkiri manusia pasti membutuhkan partner hidup, juga pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan bisa hidup tanpa bantuan dari manusia lainnya, pasangan sebagai teman untuk berkomunikasi, sebagai tempat untuk berbagi perasaan suka dan duka, atau teman untuk bertukar pikiran. Saya berasumsi bukanlah lelaki yang normal yang dalam hidupnya tidak menginginkan seorang partner hidup. Dia akan merasa terasingkan atau bahkan marasa sengsara hidupnya tanpa kehadiran seorang perempuan. Kodrat lelaki ini dijelaskan juga dalam hadis Nabi saw. Bahwa dunia ini adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan adalah perempuan yang baik Karena itu, sebagian orang berkata bahwa seandainya seorang lelaki harus memilih satu dari dua pilihan yaitu “ketenangan tanpa perempuan” atau “kesusahan bersama perempuan”, niscaya dia akan menerima kesusahan asal bersama perempuan. Untuk memenuhi itu semua, Islam menganjurkan setiap manusia baik pria maupun wanita untuk menempuh hidup melalui perkawinan.
Perkawinan dilakukan bukan hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan seksual semata, tapi lain dari itu setiap pasangan hidup pasti dalam menjalin sebuah ikatan perkawinan mengharapkan adanya keluarga yang sakinah, keluarga yang penuh dengan belaian kasih sayang. Dan ini merupakan tujuan utama dari sebuah perkawinan, sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S Ar-Rum : 21
Tujuan ini sama halnya yang disebutkan dalam pasal 1 undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu untuk membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Kutuhanan Yang Maha Esa. Hal senada juga disebutkan dalam kompilasi hukum Islam (KHI) bab II pada pasal 3 disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Di dalam bahtera rumah tangga hendaknya antara suami dan istri untuk menciptkan tujuan pernikahan, keduanya harus mampu menciptakan keadaan keluarga yang saling kasih mengasihi, sayang menyayangi, saling mengerti antara satu dengan yang lainnya. Sebuah keluarga dikatakan sakinah jika diantara kedua belah pihak merasakan kebahagiaan baik kebahagiaan lahir (jasmani) maupun batin (rohani). Kebahagiaan lahir bagi istri misalnya bisa berupa hak mendapatkan nafkah dari suami, terpenuhinya kepuasan biologis baik istri maupun suami. Sedangkan kebehagiaan batin bisa diwujudkan dengan penyaluran rasa cinta, kasih sayang diantara kedua belah pihak, dll.
Akan tetapi, yang perlu diiangat oleh setiap pasangan hidup (suami istri) bahwa hubungan cinta dan kasih sayang tidak dapat hanya dibatasi dengan pelayanan yang bersifat materil, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya, tapi harus senantiasa dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan yang lebih mulia dan tinggi, yakni kebutuhan rohani, cinta, kasih sayang dan barakah dari Allah SWT. Dengan demikian bisa diasumsikan bahwa pelayanan yang bersifat material akan diikuti dengan hubungan batin, yakni cinta dan kasih sayang. Sehingga puncak tujuan pernikahan yakni terbentuknya keluarga sakinah, mawaddah warahmah dapat tercapai.
Akan tetapi didalam membangun sebuah rumah tangga yang sakinah, cinta dan kasih sayang tidaklah semulus seperti apa yang kita bayangkan, hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya percekcokan yang terjadi didalam keluarga bahkan hingga berujung pada perceraian. Perceraian merupakan puncak dari perkara keluarga dalam kaitanya dengan pernikahan yaitu sebuah perkara yang harus dihadapkan di PA (pengadilan agama).
Beberapa persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat membuat kita lupa untuk memperhatikan makna dan tujuan dari pernikahan sebagai kerangka nilai dalam pernikahan sebagaimana yang terlampir dalam QS ar-Rum : 21. Sebagian dari kita masih memahami secara dangkal bahkan tidak mengetahui bagaimanakah cara mencapai tujuan dari pernikahan, khususnya membentuk keluarga sakinah, sehingga yang terjadi kemudian pernikahan tidak memiliki esensi seperti yang dimaksudkan oleh al-Qur’an sendiri.
Maka dari itu, melihat kondisi seperti ini perlu kiranya dilakukan sebuah tindakan preventif terhadap tindakan-tindakan yang mengarah pada terancamnya hubungan keluarga yang sakinah dengan melakukan upaya pembenahan kembali terhadap nilai-nilai Islam. Nilai dan ajaran Islam tersebut bukan hanya dikenal dan dimengerti, akan tetapi harus dilembagakan dan dibudidayakan agar berlaku dalam kehidupan sehari hari, karena nilai dan ajaran Islam mampu menjadi kendali dan pedoman bagi kehidupan manusia.
Salah satu cara preventif yang dapat dilakukan adalah melalui media pesantren. Karena pesantren merupakan sebuah tempat dimana seseorang akan mendapatkan pendidikan agama Islam secara utuh. Di pesantren seseorang akan mendapatkan pembekalan pengetahuan yang tidak akan didapatkan ditempat lainnya. Di pesantren santri akan mempelajari berbagai macam ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh, akhlak (tasawuf), tafsir al-Qur’an, nahwu dan sorof yang semuanya akan dipelajari minimal 6 tahun, santri akan bisa menguasai total ilmu yang diberikan oleh pesantren. Karena dalam metode pembelajarannya, pesantren juga tidak beda halnya dengan pendidikan formal lain yang diklasifikan dalam bentuk kelas per-kelas, dipesantrenpun juga demikian. Ilmu yang diberikan pun sama disetiap kelasnya, hanya yang membedakan adalah jenis kitabnya saja. Karena hal ini disesuaikan dengan tingkatan kelasnya masing-masing.
Mengapa pasantren yang dapat dijadikan sebagai langkah preventif dalam kehidupan keluarga? Umumnya, dipesantren tidak hanya diajarkan berbagai ilmu yang saya sebutkan tadi, akan tetapi lebih dari itu seorang santri akan diajarkan prihatin atau tirakat yang biasa dilakukan dengan jalan puasa. sebagai media melatih kepribadian santri dalam menghadapi kehidupan. Selain itu, di pondok pesantren santri juga akan mendapatkan pelatihan mental spiritual yaitu biasa melalui mujahadah ataupun salat malam.
Output pendidikan pesantren adalah bagaimana mempersiapkan santri mempunyai kepribadian yang baik, berakhlak soleh, berbudi luhur dan nasru al-ilmi -mengamalkan ilmu- yang didapatkan dari pesantren. Dengan modal ilmu agama yang cukup santri diharapkan mampu memberikan kontribusi pemahaman terhadap masyarakat, termasuk bagaimana dengan ilmunya ia dapat menciptakan sebuah keluarga yang sakinah.
Karena agama merupakan ketentuan Tuhan yang membimbing dan mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat (sa’adatudarain). Ia berperanan ketika pemeluknya memahami dengan baik dan benar, menghayati, dan mengamalkkan ketentuan itu. Agama akan lumpuh serta hilang fungsi dan perannya jika pemahaman, penghayatan, dan pengamalannya itu tidak dapat tidak dapat tempat dalam kehidupan pemeluknya.
Pesantren mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam hal mencetak produk insan yang berkhlak al-karimah, manusia-manusia yang mempunyai kepribadian pendirian terhadap ajaran agamanya. Dengan dasar inilah jaminan untuk membinan keluarga sakinah bisa didapatkan. Akan tetapi, konflik didalam rumah tangga tidak akan bisa dipungkiri keberadaannya, tergantung bagaimana cara untuk menyelesaikaanya, sehingga tidak berujung pada perceraian. Karena tidak sedikit sebagian dari masyarakat kita yang sebenarnya sangat mengerti terhadap ajaran agama, akan tetapi perceraian suami istri pun tidak bisa dihindari. Ini artinya membina kehidupan rumah tangga tidak segampang apa yang dipikirkan oleh setiap orang yang akan melangsungkan pernikahan atau orang yang sudah membina pernikahan, namun belum mendapatkan apa itu dan bagaimana keluarga sakinah itu.
Ciri khas pertama yang membedakan sistem atau komunitas manusia yang perlu berlandaskan kaidah Islam dan hukum-hukumnya dimana saja dengan yang lainnya adalah ketundukan individu-individunya dan kepasrahan total mereka yang diaktualisasikan pada bentuk amal pada hukum-hukum Allah swt.. sehingga mereka layak menyandang lebel Islam dan penghambaan kepada Allah SWT. sebuah penghambaan yang dipresentasikan dan dibingkai dengan syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah yang dimanifestasikan melalui konsep ideologis, dan juga diekspresikan melalui ritual peribadahan yakni pernikahan.
Berangkat dari pesantren yang memberikan kontribusi agama yang cukup terhadap santri-santrinya, dan terinspirasi dari banyaknya pasangan suami istri (para asatidz) yang dibentuk dari pesantren, saya tertarik untuk menguak ataupun mencari informasi tentang bagaimana konsep yang diterapkan oleh (para asatidz) dalam membentuk keluarga sakinah dengan melalui peranan pesantren salaf yang pernah disinggahi atau yang telah memberikan kontribusi pemahaman tentang agama.

Mendambakan keluarga sakinah merupakan keinginan dan dambaan setiap orang yang berumah tangga. Akan tetapi, kehadiran keluarga sakinah itu tidak secara otomatis melainkan harus memperhatikan syarat-syarat bagi kehadirannya. Syarat yang paling utama adalah mempersiapkan kalbu atau hati. Kemudian disusul syarat selanjutnya bisa juga mempersiapkan segi ekonomi, psikologis atau mental dan juga mempersiapkan bekal ilmu yang cukup untuk membimbing keluarga.
Dalam keluarga yang sakinah, terjalin hubungan suami-istri yang serasi dan seimbang, tersalurkan nafsu seksual dengan baik dijalan yang ridhai Allah SWT, terdidik anak-anak menjadi anak-anak yang saleh dan salehah, terpenuhi kebutuhan lahir dan batin suami-istri, terjalin persaudaraan yang akrab antara keluarga besar dari pihak suami dengan keluarga besar dari pihak istri, dapat melaksanakan ajaran-ajaran agama dengan baik, dapat menjalin hubungan yang mesra dengan para tetangga dan dapat hidup bermasyarakat dan bernegara secara baik pula.
Akan tetapi, sebagaimana pemaparan sebelumnya bahwa dalam membentuk keluarga sakinah tidaklah mudah, harus membutuhkan pengorbanan dan proses panjang untuk mewujudkannya. Proses ini tidak hanya terbatas pada saat telah menikah saja, namun diawali pula dengan kesiapan tiap-tiap individu (calon suami dan calon istri) untuk mempersiapkan ilmu, ekonomi, dan mental secara baik.
Terkait masalah persiapan ilmu, pesantren merupakan objek utama yang dapat memberikan pemahaman terhadap agama (Islam) yang lebih dibandingkan dengan pendidikan lainnya. Hal ini dikarenakan di Pesantren dipelajari ilmu yang berkaitan dengan keluarga secara khusus yaitu kajian fikih yang didalamnya termasuk kajian tentang pernikahan (fikih munakahat) dan juga kitab yang mengajarkan bagaimana cara menjalin relasi hubungan baik antara suami dan istri (kitab ‘Uqud al-Lujjayn). Salah satu persiapan membentuk keluarga sakinah adalah memilih calon suami atau istri, dimana Islam menganjurkan bahwa ada kriteria-kriteria tertentu untuk memilih seorang pasangan diantaanya adalah karena Harta, Nasab, kecantikan dan agama, dan islam lebih condong kepada agamanya. Maksudnya dari empat kriteria tersebut yang harus dinomersatukan adalah persoalan agama.
Dengan melihat realita yang terjadi di masyarakat, kini amat sulit menemukan apa yang terkandung dalam keluarga sakinah. Hal ini dibuktikan dengan tingginya tingkat perceraian yang terjadi
Melihat kenyataan ini, seolah hadis Nabi saw. Yang menerangkan bahwa perceraian merupakan perkara halal yang dimurkai/dibenci Allah swt., sudah tidak diindahkan lagi oleh sebagian masyarakat kita. Oleh karena itu, melalui alternatif pesantren sebagai media penggemblengan kepribadian, mental, dan ilmu agama diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam membentuk keluarga sakinah sesuai dengan apa yang didambakan.