Pendidikan Bahasa (Ibu) Daerah

428

Oleh : Oky Nugraha Putra*)

 

Globalisasi meniscayakan terjadinya proses silang budaya antar bangsa. Selama hal itu baik bagi negara bersangkutan dalam memajukan segala bidang kehidupannya maka tak elok rasanya jika masyarakat negara tersebut memiliki sikap yang tertutup terhadap globalisasi itu sendiri. Salah satu hal penting di tengah derasnya arus globalisasi yang ditunjang oleh kecanggihan tekonologi informasi pada saat ini ialah penggunaan bahasa.

Bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi secara lisan entah dari sejak kapan memiliki kedudukan yang istimewa. Sebagai salah satu unsur pembangun kebudayaan bahasa menjadi menjadi sesuatu yang tak dapat terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Manuskrip-manuskrip kuno peradaban-peradaban besar dunia seperti Mesopotamia, Sumeria, Mesir, hingga Aztek dan Maya memiliki ragam bahasa tersendiri yang menjadi ciri khas dari peradaban tersebut. Begitu pula di Indonesia. Ragam bahasa di tanah ibu pertiwi menjadi kekayaan budaya tersendiri bagi bangsa ini.

UUD 1945 meniscayakan bahwa kebudayaan nasional yang dibangun dari hasil akal budi manusia Indonesia di dalamnya dibentuk oleh berbagai kebudayaan daerah yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Kita sering mendengar semboyan negara kita yakni “Bhinneka Tungga Ika” tentang keberagaman yang tetap satu jua. Pertanyaannya sekarang ialah sudah sejauh mana upaya pemerintah maupun masyarakat pelestari kebudayaan itu sendiri dalam menjaga warisan luhur nenek-moyangnya tersebut ?

Bahasa Ibu

Pasal 36 UUD 1945 menyatakan secara lugas bahwa bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia merupakan sebagian dari kebudayaan nasional yang hidup. Negara menjamin pelestarian bahasa-bahasa daerah tersebut. Misalnya seperti bahasa Jawa, Sunda, Madura, Batak, dan lain sebagainya. Bahasa-bahasa ibu tersebut sudah seharusnya secara sadar dilestarikan oleh anak-cucu pewaris dari masing-masing bahasa daerah tersebut. Tetapi realitas di masyarakat menunjukan bahwa sedari kecil anak-anak sudah diajarkan dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia bahkan bahasa asing. Tak salah memang, namun mengapa bahasa ibu seakan-akan tidak berharga sama sekali ? entah apa alasannya sehingga dengan begitu mudahnya menggeser sedikit demi sedikit kedudukan bahasa ibu mereka. Sebagian masyarakat kita bahkan selalu saja ada yang kurang tepat dalam menyebutkan bunyi ketiga dari Sumpah Pemuda 1928. Mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia. Padahal yang benar adalah Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ini merupakan sesuatu yang logis. Dimana keberadaan bahasa daerah tetap dihormati, bukan malah dilupakan seakan-akan melebur dalam satu kebudayaan nasional yang kurang jelas juntrungannya tersebut.

Pewarisan bahasa ibu dari generasi ke generasi semakin hari semakin berkurang saja. Bila boleh mengeneralisir bahkan tidak ada (?). Urutan kedudukan pemakaian bahasa dalam masyarakat Indonesia ialah bahasa persatuan, bahasa asing, dan bahasa ibu. Baik bila kita harus mengedepankan persatuan terlebih dahulu tak salah rasanya bila harus mengedepankan bahasa Indonesia terlebih dahulu yang sedari zaman kerajaan-kerajaan tradisional telah menjadi lingua franca di kepulauan Nusantara ini. Tapi mengapa setelah bahasa persatuan harus bahasa asing (khususnya Inggris) terlebih dahulu yang dipakai ? apakah bahasa ibu terlalu kuno dan usang untuk digunakan oleh generasi muda bangsa ini ? hal yang memprihatinkan.

Sunda sebagai bahasa ibu

Sunda sebagai salah satu wilayah lahirnya kebudayaan daerah di Indonesia memiliki bahasa ibu yang dinamakan sama dengan kebudayaan yang lahir di wilayah tersebut. Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu urang Sunda yang konon katanya merupakan suku bangsa kedua terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa ini sekarang mulai mengalami degradasi dalam hal pemraktikannya. Menarik untuk merenungkan apa yang disampaikan oleh sastrawan kenamaan Sunda, Ajip Rosidi dalam bukunya Masa Depan Budaya Daerah Kasus Bahasa dan Sejarah Sunda, Pikiran dan Pandangan Ajip Rosidi mengenai eksistensi bahasa Sunda di zaman kiwari. Ajip menyatakan bahwa ada paradigma yang berkembang di sebagian masyarakat Sunda bahwa mempelajari bahasa ibu mereka tersebut hararese. Hal ini dikarenakan aturan undak-usuk bahasa Sunda yang feodalistis kadang kala membuat orang ragu berkata dalam bahasa ibu mereka sendiri dikarenakan takut mengalami kekeliruan dan dianggap teu Nyunda. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa aturan undak-usuk bahasa Sunda terpengaruhi oleh lunggah-lungguh bahasa Jawa di masa lampau ketika wilayah Sunda dikuasai oleh Kesultanan Mataram. Ini mau tak mau membuat para penguasa di tatar Sunda pada waktu itu harus mempelajari bahasa tuan penguasanya (bahasa Jawa). Sehingga pada akhirnya kebiasaan pemakaian lunggah-lungguh di kalangan bangsawan Sunda menyebar pada masyarakat yang ada di bawahnya.

Sejatinya bahasa ibu merupakan bahasa yang paling tepat untuk menyampaikan pesan-pesan ruhaniah yang menjadi kekayaan intelektual nenek-moyang pada zamannya. Bahasa Sunda memiliki kedudukan yang vital dalam menyampaikan pesan-pesan ruhaniah tersebut. Berbagai macam naskah Sunda kuna dari masa lampau hingga saat ini banyak yang masih belum terbaca dan diteliti. Memang secara tanggung jawab akademis ini menjadi tugas para filolog. Namun tidak hanya mereka yang harus menanggung sendiri tanggung jawab besar tersebut. Seharusnya seluruh orang yang hidup di wilayah kebudayaan Sunda yang mengaku urang Sunda-lah yang harus juga mempelajari, melestarikan, mempraktikan, dan mengajarkan pada yang lain bahasa Sunda ini.

Secara lembaga pendidikan, dari tingkat sekolah dasar hingga menengah atas, pemerintah seharusnya harus bisa membuat suatu kebijakan yang jelas terkait pelestarian bahasa ibu ini. Tidak hanya secara nyata dimasukan dalam kurikulum pendidikan saja, namun praktik pengajaran di lapangan pun harus diperhatikan. Apalagi terkait kemampuan dari si pendidik bahasa ibu. Jangan sampai asal tembak, asal tunjuk orang untuk mengajarkan bahasa ibu ini. Minimal dia adalah lulusan program studi sastra daerah di kampusnya atau praktisi bahasa ibu yang memiliki kredibilitas serta kompetensi. Bila masih ada anggapan bahwa bahasa ibu merupakan bahasa yang kuno serta usang ketinggalan zaman, maka tunggu saja bangsa besar bernama Indonesia ini akan mengalami gejala kebangkrutan identitas karena derasnya arus globalisasi.

Hatur nuhun.

*mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran, anggota KMNU Universitas Padjadjaran dan Anggota BPM GAMA FIB Unpad