Pemimpin Adalah Manusia, Bukan Malaikat

180

Oleh : Ahmad Suaidi (Ketua PAC Ansor Parung Panjang)
Jika seseorang menjadi pemimpin, akan terjadi suatu keanehan yang biasanya disesali. Dia akan mulai memainkan suatu peran atau jabatan dan lupa bahwa sesungguhnya mereka adalah seorang Manusia.

Setelah dilantik serta dinobatkan sebagai seorang pemimpin dengan segala kewajiban dan tanggungjawabnya, mereka merasa harus mengenakan baju besi ” pemimpin”. Dengan penuh kesungguhan dia kini mencoba bertindak menurut cara-caranya karena dia mengira memang demikianlah seharusnya pemimpin bertindak.

Secara tegas, perubahan ini tidaklah menguntungkan, karena sering berakibat pemimpin melupakan kodratnya sebagai seorang manusia yang memiliki keterbatasan dari semua aspek yang bersifat manusiawi, pribadi dengan segala keterbatasan pribadi, manusia yang nyata dengan berbagai perasaan yang nyata pula. Dengan lupa terhadap kanyataan manusiawi ini, seorang yang menjadi pemimpin sering berhenti menjadi manusia.

Dia tidak lagi merasa bebas untuk menjadi diri sendiri, apa saja yang dia rasakan pada saat saat yang berbeda. Kini sebagai seorang pemimpin, dia memiliki tanggungjawab untuk menjadi lebih baik daripada sekedar sebagai manusia.

Beban tanggungjawab yang begitu berat merupakan tantangan bagi manusia yg telah berubah menjadi pemimpin. Dia merasa bahwa dia harus selalu bersikap konsisten dengan perasaan-perasaannya, harus adil terhadap rakyatnya, harus sayang serta menerima dan bersikap toleran tanpa syarat, selain itu harus mampu mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan diri sendiri yang berujung pada pengorbanan tanpa batas kepada orang yg dipimpinnya. Namun yang terpenting dari semua itu adalah tidak boleh membuat kesalahan-kesalahan yang dilakukan terhadap rakyatnya.

Seorang pemimpin meskipun niat baik dan dapat dipahami dan dipuji, akan tetapi niat ini biasanya menjadikan pemimpin kurang efektif. Melupakan sifat-sifat manusiawi itu sendiri adalah kesalahan fatal pertama yang mungkin dibuat seseorang ketika memainkan peran sebagai pemimpin.

Seorang pemimpin yang efektif akan tetap membiarkan dirinya sendiri menjadi pribadi yang sejati. Rakyat sungguh-sungguh akan menghargai sifat manusiawi dan tidak berpura pura dari pemimpin mereka. Rakyat sering kali mengatakan, “pemimpin saya benar-benar manusia yang tulus”, atau “pemimpinku betul-betul pribadi yang menyenangkan”, bahkan kadang mereka berkata “pemimpin saya adalah orang-orang yang hebat, tentu saja mereka memiliki kelemahan sebagai mana orang biasa, tapi saya menyukai mereka apa adanya.”

Apa yang dikatakan rakyat kepada pemimpinya itu jelas bahwa mereka ingin pemimpin yang menjadi manusia bukan malaikat. Mereka menunjukan reaksi yang baik terhadap pemimpin sebagai manusia pribadi, tidak sebagai pemain sandiwara, berpura pura menjadi tokoh yang bukan diri sejatinya.

Lalu bagaimana kita dapat menjadi pribadi-pribadi manusia terhadap orang yang kita pimpin? Bagaimana pemimpin dapat mempertahankan sifat-sifat kepribadian mereka? Jawabannya adalah, untuk menjadi pemimpin yang efektif tidak mesti membuang sifat kemanusiaan. Cukup kita menerima diri kita sebagai seorang yang dapat memiliki perasaan positif maupun perasaan negatif terhadap orang yang dipimpin, bahkan kita tidak perlu bersikap konsisten untuk tetap menjadi pemimpin yang efektif. Kita tidak perlu berpura-pura untuk menerima dan mencintai orang yang dipimpin apabila kita benar-benar tidak merasakan demikian.

Akhirnya,seorang pemimpin tidak perlu membuat benteng dalam menghadapi orang yang dipimpin. Tapi sangatlah penting bagi kita belajar mengetahui apa yang sungguh-sungguh sedang kita rasakan.

Dari secuil pemikiran ini mudah mudahan kader ansor dapat menghindar dari sifat kepura-puraan, tetap menjadi manusia sesuai dengan kodratnya, senantiasa menjadi hamba yang tegas, bijaksana, santun namun tetap anggun untuk dijadikan sahabat.

Kang Didi NU di hati