PEMILU KABUPATEN BANDUNG DAN KRITIK PROGRESIF ATAS PENDEKATAN PERSONALISTIK

380

PEMILU KABUPATEN BANDUNG
DAN
KRITIK PROGRESIF ATAS PENDEKATAN PERSONALISTIK

KPU akan menetapkan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bandung dibulan September, laga dalam pemilu tersebut tidak hanya mempertontokan berbagai intrik dan politik dagang sapi yang telanjang. Kandidat yang pada akhirnya lolos verifikasi dan ditetapkan sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bandung seperti telah banyak di ulas di kalangan masyarakat juga memiliki rekam jejak yang kurang baik, sebab perjalanan karier para calon kurang dikenal masyarakat dalam aspek kepemerintahan. Namun demikian, analisis person yang hanya mempertimbangkan rekam jejak atau latar belakang calon hanya memberi sebagian gambaran mengenai jalannya bagaimana kekuasaan politik kedepan.

Menurut saya, sumber kegaduhan tatanan politik saat ini tidak pernah bisa dipersonifikasi seperti era orde baru yang dapat dengan mudah menunjuk Suharto. Dengan demikian pula sikap politik tidak bisa ditentukan semata-mata berdasarkan pertimbangan secara personalistik, termasuk diantaranya dengan berlomba-lomba membuat justtifikasi baru mengoreksi pra-standarisasi moral. Agenda politik yang didominasi oleh kepentingan predatoris, kompradoris, penjahat kekayaan alam, perampok sumber daya ekonomi dan politik akumulasi dinasti dan non-dinasti, pada faktanya menghindangkan segala kemungkinan utopis segar terhadap rakyat.

Menguatnya kekecewaan rakyat atas situasi politik dikabupaten Bandung, menjadi momentum yang tepat bagi pergerakan progresif memperkuat konsolidasi menentang aliansi dan kepentingan-kepentingan predatoris itu dengan mengkampanyekan pemboikotan pemilu, berpartisipasi dengan memilih salah satu calon tanpa dukungan pergerakan progresif sama halnya dengan menyerahan diri terserap dalam predatoris, yang pada akhirnya sekedar menjadi pembenar tatanan politik yang banal. Namun, pemboikotan pemilu kabupaten Bandung melalui tidak memilih atau membikin surat suara tidak sah atau selalu dikenal dengan istilah golongan putih meski ditujukan untuk ekspresi kekecewaan kepada para kontestan politik, pemboikotan pemilu juga upaya memerdekaan diri dari predatorisme politik. Sebab, politik yang berkualitas dan memuaskan hasrat rakyat hanya mungkin bisa di capai jika mengupayakan step by step mengurangi derajat predator dengan mengkonsolidir, memobilisasi masa, mengorganisir dan memperkuat pergerkan dan perjuangan progresif, Bukan dengan mewakafkan diri kepada kelompok predatoris atau berteriak melegitimasi aliansi para badut berwajah humanis dalam kompetisi electoral.

Tidak adanya kontrol terhadap dominasi dan resistensi kepentingan predatoris sumber daya untuk akumulasi privat serta lemahnya pergerakan kritis transformatif adalah arus utama menguatnya kontinum disintegrasi politik, lemahnya pergerakan kritis tansformatif juga membuat semakin bebasnya persengkokolan politisi-birokrat-pengusaha merampok sumber daya untuk akumulasi privat, menjadikan korupsi, money politik dan manipulasi hukum sebagai norma. Tatanan politik ini juga memberi jalan pintas yang ditempuh oleh aliansi politisi-birokrasi-pengusaha memobilasi suara dalam kompetisi electoral serta instrumen yang lainya untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan memproduksi politik yang predatoris.

Meluasnya kekecewaan rakyat kabupaten Bandung juga, ini merupakan peluang untuk mengkonsolidasikan gerakan pemboikotan pemilu melaui kertas suara putih, tetapi bukan seperti yang telah dilakukan arif budiman tahun 1070-an, semata mata sebagai penolakan terhadap penyelenggaraan pemilu yang manipulative.

Gerakan kertas suara putih juga harus diperluas, bukan sekedar merespon kekecewaan karena kandidat yang berlaga sama-sama kurang baik, gerakan ini juga dapat di reorganisasi sebagai perlawanan terhadap dominasi jaringan dan relasi kepentingan predatoris yang tidak hanya menghasilkan kandidat yang kurang baik, tapi juga membikin sabaik apapun kandidat yang kontes dipilkada kabupaten 2020 akan memiliki ruang yang terbatas dalam memenangkan kaum yang terpinggirkan, tertindas dan termarginalkan. Kemudian, pergerkan dan perjuangan ini juga dapat di reorganisasi sebagai alternative pilihan politik, terutama kepada rakyat jelata yang merasakan kekecewaan secara langsung sebagai korban dari bangunan politik yang predatoris. Kertas suara putih adalah momentum awal dari perjuangan panjang untuk mengkampanyekan subjek politik serta mereorganisasi politik menjadi lebih progresif dan transformative.
Analogi Penulis
Mungkin Analogi yang tepat untuk penulis bagaikan seorang komponis yang mencoba memanfaatkan berbagai beat dari aneka ragam band pengetahuan yang berbeda, satu tipe maupun kontroversial, karena penulis yakin bahwa semua beat dan band tersebut, pada hakikatnya, tunduk pada suatu irama universal, yaitu irama yang mencoba memahami politik dengan baik dan progresif.

Fahmi Nurfathul Alim H.S.H
Pengurus Cabang PMII Kabupaten Bandung