NU dan Kemesraannya dengan Non-Muslim

917

Oleh: Hilmi Sirojul Fuadi

Barangkali tidak ada orang yang mengingkari bahwa kehidupan ini merupakan suatu realitas yang sangat plural. Semua orang sepakat bahwa keberagaman merupakan sunnatullah yang tak dapat ditolak maupun dihindari. Sejak terlahir ke bumi, manusia telah membawa keunikan dan perbedaannya sendiri-sendiri. Baik itu perbedaan dalam jenis kelamin, ras, suku, tanah air, atau bahkan agama serta keyakinan yang diwariskan dari orang tua dan lingkungannya. Hal mengenai perbedaan dan pluralitas ini juga didokumentasikan pada beberapa tempat di dalam Al-Qur’an.[1]

Misalnya saja di dalam QS. Al-Hujurat: 13, Allah Swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Wahai Manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dalam keadaan sama, dari satu asal: Adam dan Hawâ’. Lalu kalian Kami jadikan, dengan keturunan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal dan saling menolong. Sesungguhnya orang yang paling mulia derajatnya di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Allah sungguh Maha Mengetahui segala sesuatu dan Maha Mengenal, yang tiada suatu rahasia pun tersembunyi bagi-Nya.”[2]

Namun demikian, ayat Al-Qur’an di atas tidak lantas membuahkan kesepemahaman di antara umat Islam dalam menyikapi keragaman dan perbedaan. Khususnya di Indonesia, kaum muslim tak kunjung menemui kata sepakat dalam menentukan sikap ideal ketika menghadapi realitas yang plural dan beragam ini. Berbagai perdebatan mengenai keberagaman terus diputar dan diulang-ulang. Hingar-bingar perdebatan itu sampai menciptakan dengung dan bising tersendiri dalam kehidupan beragama kita sehari-hari. Seolah-olah, aktivitas memperdebatkan hal itu menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas keislaman kita.

Setidaknya terdapat dua gagasan besar yang secara vokal mengisi keriuhan perdebatan ini. Pada satu sisi, warga Nahdliyyin telah menunjukkan pandangannya yang jelas dalam menghadapi pluralitas. Mereka menyambut keragaman tersebut sebagai suatu anugerah yang selayaknya disyukuri. Oleh karenanya, mereka senantiasa bersikap ramah dan hangat terhadap pihak lain yang berbeda. Kalangan NU ini juga dikenal sebagai salah satu pejuang paling gigih dalam upaya mewujudkan perdamaian di antara seluruh umat manusia, tanpa memandang segala perbedaan yang melekat pada masing-masing individunya.

Berbagai gagasan dan terobosan yang semakin giat diluncurkan oleh NU akhir-akhir ini membuktikan keseriusannya dalam memperjuangkan perdamaian itu. Misalnya saja, melalui GP Ansor, seberkas gagasan yang bertajuk “Humanitarian Islam” dideklarasikan pada tahun 2017. Isi deklarasi itu pulalah yang kemudian selalu dikampanyekan oleh KH. Yahya Cholil Staquf, Katib ‘Aam PBNU, ketika beliau mengunjungi luar negeri dan bertemu dengan tokoh-tokoh penting dunia. Beliau bahkan sempat mengunjungi Israel untuk berpidato mengenai hal tersebut di depan tokoh dan komunitas Yahudi di sana. Selain itu, ia juga pernah diundang secara khusus oleh Wakil Presiden Amerika Serikat, Mike Pence, hanya karena sang wakil presiden tertarik dan ingin berdiskusi mengenai gagasan Humanitarian Islam. Peristiwa terbaru yang masih hangat, Gus Yahya beserta rombongan GP Ansor pada beberapa waktu yang lalu mengunjungi Vatikan dan bertemu dengan Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia. Dalam kesempatan itu, rombongan NU tersebut juga mengenalkan gagasan Humanitarian Islam kepada Sang Baba.

Selain memperkuat hubungan kolaboratifnya dengan berbagai lembaga dan tokoh Islam internasional[3], langkah-langkah diplomatis dengan kalangan non-muslim seperti di atas juga semakin gencar dilakukan oleh NU. Mereka berpandangan bahwa dunia saat ini sangat membutuhkan gagasan-gagasan menyegarkan di tengah kondisi hidup yang semakin rawan terpantik konflik atas nama agama. Di Indonesia sendiri, gebrakan dan gerakan NU dalam mengawal kesatuan dan harmoni sosial sudah tidak diragukan lagi. Dari aksi-aksinya di akar rumput hingga langkah-langkah politik yang bertujuan untuk menjaga dan mempererat kesatuan antar komponen bangsa telah dilakukan dengan tekun oleh NU.

Apa yang setia diperjuangkan oleh kaum Nahdliyyin ini tentu saja bukan tanpa kendala dan tantangan. Di luar sana, terdapat segelintir kalangan muslim yang cenderung lebih kaku dan keras dalam menyikapi pluralitas. Dengan sikap kerasnya itu, kelompok Islam seperti ini sangat rentan terlibat bentrokan. Pasalnya, mereka lebih menonjolkan sikap yang konfrontatif terhadap siapa saja yang berbeda dengannya. Bukan saja terhadap kalangan non-muslim yang secara jelas memang berbeda agama, bahkan terhadap sesama saudara muslim pun kelompok ini tak ragu menabuh konflik di saat terjadi perbedaan pendapat.

Dalam hal ini, kelompok Islam keras tersebut tentu saja bertentangan dengan NU. Mereka juga seringkali tidak sepakat dengan gagasan dan langkah-langkah yang NU perjuangkan. Bahkan, ketidaksetujuan mereka terhadap NU seringkali melahirkan hal-hal destruktif yang memicu konflik. Sebagai contoh, pada setiap momen di mana NU menunjukkan kemesraannya dengan kaum non-muslim, mereka sontak kegerahan melayangkan pengecaman. Sedetik kemudian, berbagai hujatan, cacian serta fitnah seakan diproduksi secara massal dan diarahkan khusus terhadap NU.

Kenyataan ini tentu saja sangat mengherankan. Sebab, agama Islam adalah agama yang mengajarkan prinsip-prinsip yang ramah dan toleran ketika memandang perbedaan. Islam juga mencontohkan sikap yang inklusif dan terbuka dalam menjalani kehidupan bersama dengan pihak lain yang berbeda. Hal ini bukanlah slogan belaka, bukan pula semacan siulan kosong yang dinyanyikan oleh segenap ulama dan cendekiawan muslim kekinian saja. Allah Swt. sendirilah yang menegaskan hal tersebut sampai berulang kali di dalam Al-Qur’an.[4] Sebagai misal, dapat kita jumpai di dalam QS. Al-Baqarah: 256:

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk suatu agama. Jalan kebenaran dan kesesatan telah jelas melalui tanda-tanda kekuasaan Allah yang menakjubkan. Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengingkari segala sesuatu yang mematikan akal dan memalingkannya dari kebenaran, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh pada penyebab terkuat untuk tidak terjerumus ke dalam kesesatan. Perumpamaannya seperti orang yang berpegangan pada tali yang kuat dan kokoh, sehingga tidak terjerumus ke dalam jurang. Allah Maha Mendengar apa yang kalian katakan, Maha Melihat apa yang kalian lakukan. Maka Dia pun akan membalasnya dengan yang setimpal.”[5]

Ayat di atas menegaskan bahwa Allah Swt. sama sekali tidak merestui unsur pemaksaan dalam misi dakwah yang dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw. Bahkan, meski keimanan dan kekufuran seseorang memang bergantung pada kuasa-Nya, namun Dia tetap memberikan kebebasan bagi manusia dalam menentukan keyakinan dan keimanan sesuai dengan kecenderungan hati masing-masing.[6] Allah Swt. juga sempat memberikan peringatan kepada Nabi Muhammad Saw. ketika beliau memiliki keinginan agar semua manusia dapat beriman.[7] Di dalam QS. Yunus: 99, Allah Swt. berfirman:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لآمَنَ مَنْ فِي الأرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

Artinya: “Kalaulah Allah menghendaki seluruh penduduk bumi ini beriman, niscaya semuanya akan beriman. Maka janganlah kamu merasa sedih melihat kekufuran orang-orang musyrik. Sebab, tidak ada keimanan kecuali atas dasar kesukarelaan hati. Karenanya, kamu tak bakal mampu memaksa mereka untuk patuh dan menerima kebenaran. Dari itu janganlah memaksa mereka untuk beriman, karena—sekuat apa pun usahamu—kamu tidak akan dapat melakukannya.”[8]

Oleh karena itu, sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat menjalankan interaksi yang sangat luwes dengan pihak-pihak lain yang berbeda. Dalam hubungan pergaulannya itu, beliau dan para sahabat bersikap sangat terbuka. Banyak sekali literatur hadis maupun sejarah yang menunjukkan hal tersebut. Pada suatu hadis, misalnya, dikisahkan bahwasanya beliau sampai berdiri memberikan penghormatan tatkala ada jenazah yang melewat di hadapannya. Ketika kemudian ada sahabat protes dan memberi tahu bahwa jenazah tersebut merupakan seorang Yahudi, beliau lantas menyergah, “Bukankah ia juga seorang manusia?!”[9]

Terdapat pula kisah lain yang datang dari ‘Umar bin al-Khaththab Ra., seorang tokoh sahabat yang dianggap paling tegas kepada kaum non-muslim. Ketika beliau menjabat sebagai Amirul Mukminin dan berhasil menaklukkan daerah Quds (Palestina), beliau memberikan jaminan keamanan serta kebebasan beragama kepada penduduk Ilea dan Ludd—yang merupakan penganut agama Nasrani. Dalam risalah yang dituliskannya, jaminan Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab Ra. itu meliputi keamanan fisik, harta dan tempat peribadatan (gereja dan salib) mereka.[10]

Selain kisah tersebut, ada juga kisah lain yang masih berkenaan dengan sahabat Umar Ra. Dalam kisah itu, diceritakan bahwasanya pada suatu saat Sang Amirul Mukminin sedang berada di sebuah gereja. Ketika waktu salat tiba, beliau meminta izin kepada uskup untuk terlebih dahulu melaksanakan salat. Sang uskup lalu meminta sahabat ‘Umar Ra. agar melaksanakan salat di dalam gereja saja, tepat di mana ia sedang berada. Namun, sahabat ‘Umar Ra. pun menolak dan memilih untuk salat di luar, di dekat pintu masuk gereja. Setelah selesai salat, ia pun berkata kepada uskup: “Seandainya saja aku salat di dalam gereja, kaum muslimin setelahku pasti akan merebut gereja ini. Mereka akan berkata: ‘Di tempat inilah ‘Umar pernah salat.’”[11]

Berbagai keterangan sejarah di atas—dan masih banyak lagi keterangan lain—membuktikan sikap ramah dan hangat yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad Saw. serta para sahabatnya terhadap kaum non-muslim. Cara beliau bergaul sungguh jauh dari kesan kaku dan keras. Hal itulah yang menjadi dasar bagi kalangan Nahdliyyin dalam melihat dan menyikapi perbedaan. Kaum NU meneladani sikap Nabi Muhammad Saw. serta model pergaulan yang telah dicontohkannya dalam menjalani kehidupan yang sangat plural ini.

Apa yang kemudian dewasa kini acap kali dipertontonkan oleh kelompok muslim yang keras tentu saja menjadi suatu paradoks. Sebab, sikap yang mereka tunjukkan itu telah menyalahi spirit damai dan menyejukkan yang dibawa oleh agama Islam. Seandainya selama ini mereka selalu mempertanyakan kemesraan NU dengan non-muslim, biarlah kali ini kita mengajukan pertanyan balik: Sebenarnya siapakah yang menjadi teladan mereka dalam berlaku kaku serta keras itu? Wallaahu a’lam.

*Penulis merupakan santri asal Jawa Barat. Saat ini, ia sedang melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar. Penulis juga merupakan anggota Div. Keilmuan dan Ideologi PC. GP. Ansor Mesir.


[1] Lihat juga QS. Hud: 118, QS. Yunus: 99.

[2] Terjemah oleh Prof. Dr. Quraish Shihab.

[3] Pada awal tahun 2017, Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj mengunjungi Al-Azhar dan bertemu dengan Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Ahmad Al-Thayyeb, untuk berdiskusi mengenai pandangan kebangsaan yang dimiliki oleh NU serta langkah-langkah yang telah dilakukannya. Syekh Ahmad Al-Thayyeb juga melakukan kunjungan balasan ke kantor PBNU, saat beliau melakukan safari ke Indonesia pada tahun 2018 lalu. NU juga telah melebarkan sayapnya dalam upaya menengahi konflik berkepanjangan yang terjadi di berbagai negara Islam di dunia. Bahkan, ulama di Afghanistan mendirikan organisasi NU tersendiri di sana, sebagai wujud dari kekaguman mereka terhadap apa yang telah dihasilkan oleh NU.

Keseriusan NU dalam hal ini juga dapat dilihat dari berbagai aktivitasnya yang lain. Sebut saja peran besar Al-Habib KH. Muhammad Luthfi bin Yahya, Rais ‘Aam Jatman NU, yang beberapa kali telah berhasil menggelar konferensi ulama sufi sedunia. Beliau bahkan disepakati menjadi pemimpin forum ulama tersebut. Selain dalam rangka menegaskan komitmen kebangsaan dan cinta tanah air, jaringan antar ulama sufi dan tarekat sedunia yang beliau gagas itu juga dirancang untuk membangkitkan kesadaran komunitas sufi di seluruh dunia agar berperan aktif dalam mewujudkan perdamaian serta mencegah konflik yang mungkin terjadi di berbagai negara tempatnya berada.

[4] Lihat juga QS. Al-Hajj: 40, QS. Al-Mumtahanah 7-8.

[5] Terjemah oleh Prof. Dr. Quraish Shihab.

[6] Lihat QS. Al-Kahfi: 29

[7] Lihat juga QS. Al-Ra’d: 31, QS. Al-Mudatstsir: 31, QS. Fathir: 8, QS. Al-Baqarah: 272, QS. Al-Syua’ra: 3, QS. Al-Qashas: 56, QS. Ali ‘Imran: 20 dan QS. Al-Ghasyiyah: 21-22.

[8] Terjemahan oleh Prof. Dr. Quraish Shihab.

[9] Hadis riwayat Imam Al-Bukhari dalam kitabnya Sahîh al-Bukhari. Lihat hadis nomor 1324, kitab Jenazah, cetakan Jam’iyyatul Maknaz.

[10] Lihat Târîkh al-Umam wa al-Muluk, Muhammad ibn Jarir Al-Thabari, hal. 449, vol. 2, cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah

[11] Lihat Târîkh Ibn Khaldun, ‘Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khaldun, hal. 225, vol. 2, cet. Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi