Ngrasani’ Pancasila di Lailatul Kopdar Jamaah Kopdariyah

37

‘Ngrasani’ Pancasila di Lailatul Kopdar Jamaah Kopdariyah

Ditulis Oleh : Vinanda Febriani

Jamaah Kopdariyah kembali menyelenggarakan kopdar netizen pada Sabtu malam, (02 Juni 2018) berlokasi di kediaman Sekdes Bulurejo, Nepak, Mertoyudan, Magelang. Pada Lailatul Kopdar kali ini, Jamaah Kopdariyah ‘Ngrasani Pancasila’ dengan diskusi santai dan duduk melingkar yang menggambarkan bahwa dalam bermasyarakat, posisi kita adalah sama. Ketika melingkar, tidak ada pangkal dan ujung, semuanya adalah sama. Begitulah seharusnya kehidupan dalam bermasyarakat ‘melingkar’, sederajad, tidak perduli pangkat, ketemu bareng, guyon bareng, ngopi bareng. Tidak ada yang memisahkan, sebab semua adalah bersaudara.

Pada tulisan kali ini, saya akan lumayan banyak menceritakan perihal Lailatul Kopdar Jamaah Kopdariyah yang ‘Ngrasani’ Pancasila.

Kenapa harus Ngrasani Pancasila?

Awalnya saya sendiri bingung dengan tema yang diusung pada Lailatul Kopdar ini. Sebab, akan ada tiga arti berbeda dalam kata ‘Ngrasani’, yakni mencicipi, ngglendengi (bergunjing) dan merasa. Untuk malam hari ini, saya memilih mengartikan ‘Ngrasani’ sebagai merasa, merasa sejauh apa Pancasila itu terbentuk dalam pribadi kita sendiri, sejauh mana perilaku-perilaku kita sesuai dengan Pancasila. Mari kita bahas pelan-pelan.

Sila pertama Pancasila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Disampaikan oleh Kh. Ahmad Labib Asrori.

Sila pertama ini merupakan sila yang paling lama diperdebatkan dalam sidang BPUPKI-PPKI hingga PIAGAM JAKARTA. Ada sebuah realita sejarah yang menyatakan bahwa di NKRI ini mayoritas penduduknya beragama Islam, para pendiri bangsa pun mayoritas beragama Islam. Sehingga, perumus Pancasila merasa memiliki hak untuk mencantumkan dan memberlakukan ‘Syariat Islam’ di negara Indonesia. Inilah yang harus kita pelajari, betapa para founding fathers bangsa ini yang mayoritas beragama Islam, dengan kebesaran hatinya rela mengganti sila yang menyebutkan ‘syariat’ yang mana identik dengan agama Islam demi kesatuan dan persatuan Bangsa.

Orang yang bertuhan pasti memiliki rasa kemanusiaan. Salah satu cara berkemanusiaan yang baik adalah dengan memberlakukan toleransi. Sebagaimana di contohkan oleh Sayyidina Ali, menantu Rosulullah SAW. Suatu ketika Sayyidina Ali berjalan hendak shalat berjamaah di masjid. Di pertengahan jalan, beliau bertemu dengan seorang yang sudah tua renta. Apa yang terjadi? Sayyidina Ali tidak berani menyelip orang tua tersebut. Padahal jika tidak menyelip, Sayyidina Ali akan terlambat shalat berjamaah di masjid. Sayyidina Ali dengan penuh kesabarannya berjalan di belakang orang tua tersebut yang pada awalnya beliau kira akan sama-sama berjalan menuju Masjid. Akan tetapi sesampainya di depan masjid, ternyata orang tua tersebut bukanlah seorang Muslim, melainkan seorang Yahudi. Sayyidina Ali menghormati orang tersebut karena umurnya yang sudah tua.

Begitulah seharusnya kita hidup dalam bernegara, menghargai sesama, menghormati yang lebih tua, mencintai yang lebih muda dan merangkul seluruh elemen bangsa. Supaya dapat hidup aman, damai, tenteram dalam bernegara dan dapat menjalankan ajaran-ajaran agama tanpa ada permusuhan dan dendam atasnama ‘agama’.

Sila kedua ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’.
Disampaikan oleh Irfi Maslachatul Ummah, Mahasiswi Universitas Negeri Tidar (UNTID) prodi Agroteknologi semster 8.

Menurut KBBI, Kemanusiaan berasal dari kata ‘manusia’, yakni suatu makhluk berakal budi, Adil berarti tidak memihak, sedangkan beradab adalah berakhlak atau beretika. Menjadi manusia harus berakhlak dan beretika. Imam Al-Ghazali mengatakan ‘Al Insanu Hayawanun Natiq’ atau manusia adalah hewan (makhluk) yang berakal. Jika dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak menggunakan akalnya, maka bisa saja disebut bahwa manusia tersebut adalah bagian dari hewan. Dalam kemanusiaan, kita harus bersikap adil dan beradab.

Ada sebuah cerita teladan dari Gus Dur. Suatu ketika Gus Dur sewaktu masih mondok di Pesanten Tegalrejo, beliau menjadi salah satu pengurus keamanan pondok. Di masjdi pondok, ada sebuah bedug besar yang tutupnya terbuat dari kulit sapi asli. Setiap harinya tutup bedug tersebut ada yang melubangi. Sehingga pada suatu ketika, gusdur geram karena belum menemukan pelaku namun tutup bedug yang terbuat dari kulit sapi sudah berlubang. Hingga pada saat sudah menemukan pelaku, Gusdur bertanya, “Mengapa kamu melubangi kulit (bedug) ini?,” pelaku itu pun menjawab, “Kulit-kulit bedug yang saya lubangi ini setiap hari saya bawa pulang untuk di masak. Sebab saya tidak punya apa-apa untuk di masak,”. Mendengar jawaban itu, Gusdur tertawa seraya berkata, “Ternyata kamu segitunya, tidak punya apa-apa lantas memasak kulit sapi”. Kemudian Gusdur menghukumnya dengan hukuman yang sangat ringan, sebab orang itu mencuri karena dalam keadaan sangat membutuhkan. Begitulah adil yang di contohkan Gusdur dalam kemanusiaan.
Seberapa adil dan beradabkah kemanusiaaj kita selama ini?

Sila ke tiga “Persatuan Indonesia”.
Disampaikan oleh AKBP Hari Purnomo, SIK. SH. Kapolres Kabupaten Magelang.

Akhir-akhir ini persatuan dan keaatuan bangsa Indonesia sedang diuji. Banyak oknum yang ingin memecah belah kesatuan dan persatuan Bangsa. Pada zaman kolonial, perdagangan di Indonesia dijajah oleh VOC yang kemudian menyebarluaskan istilah Devide at empera atau yang biasa kita kenal dengan istilah Politik pecah belah yang hingga saat ini masih terus menggema di Indonesia.

Saat ini, tidak ada pilihan lain selain merapatkan barisan untuk bersatu melawan pihak-pihak yang ingin memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa. Seperti halnya aksi terorisme yang terjadi belakangan di Indonesia. Mereka berusaha sekuat mungkin ingin menghancurkan kesatuan dan persatuan bangsa dengan cara ‘berjihad’ ala mereka yang bagi kita itu adalah sebuah tindakan jahat dan kejam karena melukali dan bahkan membunuh nyawa diri sendiri dan manusia lain. Namun, pantaslah kita ambil hikmah dari adanya teroris di Indonesia ini karena dapat menjadi ajang bersatu dan melawan siapapun yang hendak memecah belah bangsa dan bahkan ingin mengganti atau menggeser Pancasila di Indonesia.

Kita semua harus bersatu tanpa pandang ras, etnis, suku, budaya, bahasa, agama, jabatan, kekuasaan dan perbedaan lain yang mestilah ada di tiap-tiap pribadi manusia.

Paham-paham radikal yang sudah banyak tersebar di pendidikan formal, universitas, masjid-masjid dan di masyarakat haruslah kita lawan demi persatuan dan kesatuan bangsa. Paham radikal menjadi awal terbentuknya aksi-aksi terorisme. Teroris pasti berpaham radikal, namun tidak semua yang berpaham radikal adalah teroris, hanya saja paham radikal memiliki peluang besar untuk menjadi teroris karena ajarannya yang sangat kaku dan keras. Paham-paham radikal dan terorisme ini sudah ada di Indonesia sejak zaman pemerintahan Soekarno. Namun ketika pemerintahan Soeharto,mereka bergerak secara transparan, diam-diam. Dan pada masa sekarang ini, terorisme mulai berkembang dengan bebas, dengan dalih ‘demokrasi’ namun nyatanya mereka membunuh ‘demokrasi’, memaksakan semua orang untuk sama, sependapat, sealiran, sejalan bahkan seagama dengannya, selain itu dianggap salah.

Sila ke empat ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad, kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’.
Disampaikan oleh Paulus Agung Pramudyanto.

Ada beberapa kata kunci dalam sila ke-4 ini. Yakni ‘hikmad kebijaksanaan’, seseorang yang menjadi pemimpin haruslah orang yang sudah berada di tataran tertingi, bukan lagi berada di tataran syari’at, akan tetapi sudah berada pada tataran makrifat. Kemudian permusyawaratan perwakilan, musyawarah atau mufakat adalah cara yang sudah ada di Nusantara. Sejak zaman dahulu, masyarakat nusantara memiliki ciri khas tradisi yang sangat mengedukasi, yakni gotong-royong tanpa perduli segala perbedaan yang ada di tiap-tiap individunya.

Ada sebuah cerita, di luar pulau Jawa. Zaman dahulu ketika suatu desa akan mengirim seseorang untuk belajar di Jawa, desa tersebut mengadakan musyawarah terlebih dahulu. Mereka berkumpul dalam suatu tempat, bermufakat untuk menentukan siapa yang layak dikirimkan ke Jawa untuk mengenyam pendidikan di sana. Sebab bagi mereka, mengenyam pendidikan di Jawa adalah sebuah keistimewaan tersendiri. Akhirnya, jika sudah sepakat siapa yang akan dikirim ke Jawa, mereka saling bergotong royong untuk membantu dalam hal biaya, transportasi dan lain sebagainya. Sawah, ladang dijual untuk mengirimkan seseorang tersebut belajar di Jawa. Dengan harapan ketika lulus nanti, seorang tersebut bisa membangun desa dan mensejahterakan desa. Itulah yang dinamakan perwakilan.
Apakah kita sudah bisa menerapkan sila ke-4 ini? mari sejenak kita renungkan.

Sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Disampaikan oleh Mbilung Sarawita.

Keadilan, adil. Dalam Pancasila, kata adil disebutkan dua kali, yakni pada sila ke-2 dan ke-5. Itu berarti, keadilan merupakan sesuatu hal sangat penting yang dijunjung tinggi oleh Bangsa Indonesia.

Keadilan sosial yang dibahas pada materi sila ke-5 ini adalah keadilan dalam bidang pemerintahan. Misalnya saja dalam penempatan APBN/APBD. Contoh konkretnya adalah pemberian bantuan raskin. Jika bantuan tersebut tidak sampai tepat sasaran, maka perlu dipertanyakan ‘keadilan sosial’ pemerintah dalam menangani hal itu. Kita bisa menilai di daerah kita sendiri apakah ‘keadilan sosial’ sudah dijalankan secara merata oleh pemerintah daerah?. Masih ada beberapa raskin yang ‘nyasar’ kepada orang-orang yang dipandang mampu untuk membeli beras. Prinsip keadilan sosial harus diterapkan sejak dini sekecil apapun karena nantinya akan berdampak besar bagi kemaslahatan umat bernegara di Indonesia.
Sudahkah kita berbuat adil untuk sesama?

Dalam 5 sila Pancasila terssbut jika kita sadari, sila satu sama lain saling mengisi, menguatkan dab saling berhubungan. Ke-5 sila Pancasla merupakan pedoman nilai dasar dalam bermasyarakat, beragama, berbangsa maupun bernegara. Pancasila sesuai dengan syariat agama apapun, terutama Islam. 5 ajaran Pancasila yang harus kita tanam dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah bertuhan (Sila 1), berperi kemanusiaan (sila 2), bersatu (sila 3), berperi kerakyatan (sila 4), berlaku adil (sila 5) intisari Pancasila tersebut ada dan diajarkan dalam agama dan kepercayaan apapun.

Saya ingin kembali mengutip tulisan yang saya baca di buku Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, pendeketan Fikih dalam Politik, karya M Ali Haidar, “Hakekatnya orang berasas Pancasila karena kepercayaannya keoada Tuhan yang Maha Esa, sedang orang berakidah Islam adalah sebagai tindakan nyata mengkongkretkan Pancasila dalam salah satu bidang kehidupan bangsa, yaitu kehidupan beragama. Hubungan antara agama dan Pancsila adalah hubungan yang saling mengisi”. (Wahid, “Kata Pengantar”, dalam Sitompu, NU dan Pancasila, (Jakarta: Sinar Harapan, 1989), halaman 9-18.

Jadi dengan ‘Ngrasani Pancasila’ ini, sejauh mana ‘ke-Pancasila-an’ kita? Mari kita renungkan bersama.

Hidup berPancasila itu indah.
Salam Pancasila !
Mari terus tebarkan kebaikan, taburkan cinta kasih dan berbagi karunia. Kedamaian untuk semua insan.

Vinanda Febriani.
Siswi kelas XI di MA Ma’arif Borobudur, Magelang.
Netizen Jamaah Kopdariyah Magelang Raya.

Ditulis dengan rasa penuh kesadaran berPancala dan penuh rasa Cinta.
Borobudur. Minggu, 03 Juni 2018.