Nahdliyin Cirebon Menolak Bachtiar Nasir

240

Nahdliyin Cirebon Menolak Bachtiar Nasir

Pemerintah Kota Cirebon bersama LPTQ-nya berencana menggelar Musabaqah Tilawatil Qur’an yang ke-50 yang akan dimulai pada 19 Oktober 2017. Dan cukup mengagetkan pihak penyelenggara mengundang Bachtiar Nasir, salah seorang dai nasional, inisiator aksi 212 dan Sekjen MIUMI.

Informasi tersebut cepat menyebar di media sosial. Sontak membuat publik–terutama warga Nahdlatul Ulama dan pesantren–bertanya-tanya dan geram, mengapa yang diundang Bachtiar Nasir? Apakah tidak ada dai nasional lain, selian dia?

Bagi yang tidak memahami siapa Bachtiar Nasir dan ideologi keislamannya, sebagian di antara kita mungkin akan berbalik aneh, mengapa warga NU dan pesantren mempersoalkan Bachtiar Nasir? Bukankah kita harus terbuka dan belajar dari siapapun? Kok seolah-olah warga NU dan pesantren membenci Bachtiar Nasir? Bukankah Bachtiar Nasir itu beragama Islam? Dan pertanyaan sejenis.

Begitulah, dan berdasarkan informasi ter-up date bahwa PCNU Kota dan Kabupaten Cirebon beserta Banom-banomnya bersepakat menolak Bachtiar Nasir untuk dihadirkan dalam acara pembukaan MTQ Kota Cirebon yang ke-50. Bahkan kesepakatan PCNU ini sudah menembus Walikota, Nasrudin Azis, agar rencana mendatangkan Bachtiar Nasir digagalkan.

Perlu saya jelaskan dengan runut bahwa Cirebon adalah kota wali. Bumi berkah, warisan para wali. Terutama Sunan Gunungjati. Kota dan Kabupaten Cirebon juga kota santri. Tradisi keislamannya merupakan tradisi keislaman yang sejak dulu didakwahkan para Walisongo. Dakwah Islam yang mampu mengolaborasikan spirit keislaman dan keindonesiaan. Bahwa tradisi leluhur Cirebon spiritnya senafas dengan ajaran Islam.

Kita harus belajar Islam dengan tekun dan sabar. Belajar Islam perlu waktu dan proses yang tidak sebentar. Belajar Islam lah seperti para santri belajar Islam di pesantren. Termasuk, kita jangan terjebak mendalami Islam hanya dengan simbol: pakaian serba tertutup dan panjang, jidat hitam, celana cingkrang, membawa tasbih di tangan dan lain sejenisnya.

Islam bukan sekadar ibadah ritual; shalat, puasa dan lainnya, tetapi juga lebih penting dari itu bahwa Islam adalah agama budaya dan peradaban. Bagaimana Islam bisa menjadi spirit kemajuan umat. Jangan sampai Islam dijadikan spirit untuk menonjolkan politik identitas dan menyalahgunakan agama dengan politik.

Islam Indonesia, Islam Nusantara, Islam budaya, Islam pesantren; itulah spirit Islam yang harus kita pedomani. Orang awam sering mengelak, bukankah Islam itu satu; Islamnya Nabi Muhammad saw.,? Mengapa Islam harus dikotak-kotakan? Harus saya jelaskan. Islam, pasca Nabi saw., dan para sahabat wafat, Islam memang terkotak-kotak ke dalam banyak sekte; Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Syiah dan lain-lain.

Walhasil, keberagaman sekte Islam bukanlah halangan, sebab kita punya konsensus bersama. Ia adalah titik temu keberagaman yang ada. Yang dimaksud konsensus bersama kita di Indonesia adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Konsep Islam seperti inilah yang tidak diilhami oleh Bachtiar Nasir dan dai-dai radikal sejenis.

Wallaahu a’lam

Mamang M Haerudin (Aa)
GP Ansor Kabupaten Cirebon

Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 13 Oktober 2017, 21.29 WIB