Moderasi Islam dan Inklusivitas Beragama : Muhamad Ridwan Effendi

720

Oleh : Muhamad Ridwan Effendi

Dalam beberapa waktu belakangan, isu fundamental yang dihadapi masyarakat berhubungan erat dengan pertanyaan dasar tentang bagaimana seseorang berurusan dengan perbedaan dan keanekaragaman dalam beragama. Dengan adanya perbedaan keyakinannya itu, senantiasa mengundang perselisihan dan kebencian mendalam yang dilandaskan pada agama, sehingga peran agama tak lebih sebagai bagian dari permasalahan ketimbang sebagai pemecahannya. Agama lebih menyumbang pada pertumpahan darah dan perpecahan ketimbang pengkondisian yang positif bagi masyarakat untuk urusan dengan keberlainan pihak lain. Tentunya, pandangan semacam ini akan menuntut lahirnya konflik horisontal umat beragama untuk saling curiga dan intoleran.

Keberagaman dalam beragama merupakan fenomena nyata yang tak perlu dilawan karenanya hal ini sunatullah. Berbagai upaya baik teoritis maupun praktis telah banyak dikemukakan oleh mereka yang peduli terhadap kerukunan umat dalam beragama, tentunya untuk menjawab tantangan sikap destruktif kelompok masyarakat yang secara fundamental-radikal telah menyuguhkan disharmonisasi umat dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Salah satu di antaranya yang paling keras gemanya, adalah upaya untuk menciptakan suasana dialog antarumat beragama.

Salah satu syarat keberhasilan suatu dialog adalah semangat saling menghormati dan bukan saling menaklukkan. Yakni pertama, adalah khilaf (Ikhtilaf) yakni perbedaan pendapat yang dilakukan melalui jadal hasan (adu argumentasi yang baik) sebagaimana dalam Q.S. Hud: 118

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat,

dan yang kedua adalah syiqaq, yakni perbedaan yang mengarah kepada permusuhan, ini dapat kita lihat dalam Q.S. al-Nisa : 35

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Namun dalam perkembangan akhir-akhir ini menunjukan bahwa keinginan meraih kehidupan damai tenteram antar ummat beragama tak sunyi dari rintangan-rintangan besar. Rintangan ini antara lain adalah tampilnya individu atau kelompok yang membawa gerakan-gerakan radikal yang menganut pandangan agama yang dimilikinya sebagai satu-satunya agama yang mutlak kebenarannya. Dengan adanya pandangan seperti itu akan memunculkan konflik baru dalam kehidupan beragama sehingga kedamaian antar umat sulit dipertemukan.

Sebut saja gerakan radikalisme yang secara populer saat ini menunjuk kepada ekstremisme politik dalam aneka ragam bentuknya, atau usaha untuk mengubah orde sosial-politik secara drastis dan ekstrem. Maka tak heran, sikap dan pandangan politik dan beragama semacam ini sering kali menjadi tuduhan yang dilontarkan oleh sebagian orientalis bahwa islam adalah agama “pedang” yang senantasa menganjurkan aksi-aksi radikal pada umumnya. Adanya pandangan negatif terhadap agama Islam semacam ini tentunya tidak dilepaskan dari sikap beragama umat Islam yang mesti direvitalisasi dan nantinya akan mendorong adanya resolusi konflik dalam beragama.

Tampaknya fenomena kekerasan ini tidak terbatas pada kurun waktu tertentu. Pada masa kini yang ditandai dengan meluasnya anjuran sikap moderasi, toleransi dan saling pengerian antar dan intern umat beragama kekerasan atas nama agama tetap sulit untuk dibendung. Di bumi Indonesia, apa yang diharapkan dari pemuka agama tidak lain adalah mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran keagamaan yang dapat mengacu ke arah radikalisme. Dalam ormas Islam Nahdlautul Ulama (baca; NU) misalnya, anjuran untuk membumikan konsep moderasi di tanah nusantara ini merupakan resolusi jihad dalam rangka sebagai upaya untuk menghindari sikap ekstrem atau berlebihan dalam kedua sisinya, guna menciptakan masyarakat penengah dan adil, atau dalam bahasa al-Quran Ummatan wasathan, sebagaimana Allah berfirman dalam Q.s. al-Baqarah : 143:

Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”

Sejak lahirnya agama di permukaan bumi ini, berbagai penyakit sosial seperti halnya radikalisme dan intoleransi beragama merupakan salah satu garapan utama dari ajaran agama itu senidri. Untuk itu, tentu saja bagi kaum agamawan, terapi yang paling ampuh adalah kembali kepada nilai-nilai agama. Namun mereka yang tidak, atau belum, meyakini keampuhan peran agama, selalu mencari jalan keluar lain untuk mengatasi penyakit ini.

Namun dewasa ini, penyakit sosial tersebut menunjukan angka yang mengerikan dan memaksa para pengambil keputusan, akademisi, dan para pekerja sosial yang semula enggan berpaling kepada faktor agama, bergegas mengakui peran agama sebagai intergrasi umat dan bangsa. Salah satunya Indonesia, Negeri yang sejak dahulu sudah indah, damai dan kaya ini dapat menjadi cermin dunia dalam hal harmonisasi umat beragama di dunia melalui ideologi negaranya yakni Pancasila. Karena di dalam pancasila itu sendiri terkandung makna inklusivitas beragama. Secara umum Islam menuntut umatnya agar senantiasa menjaga keharmonisan dalam menjalankan kehidupan beragamanya tanpa terkceuali di Indoesia. Sebagaimana Allah SWT menggambarkannya dalam ayat berikut ini.

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(Q.S. Al-Baqarah: 62)

Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”(Q.S.Al-Imran: 85)

Saudara persaudaraan, toleransi, kelapangan, kesucian, dan kesederhanaan dalam beragama merupakan harapan setiap ummat beragama. Untuk dapat mewujudkannya itu perlu sebuah komitmen hati dengan segala kemampuan untuk bagaimana membuka frame berpikir agar tidak terjemak dalam sikap ekslufvisme beragama yang akan menggiring ummat pada stagnasi pemikiran dan memunculkan gerakan-gerakan chauvinism dan berujung pada radikalisme keagamaan.

Sikap keterbukaan akan pluralisme (Keragaman) umat dalam beragama merupakan sikap kunci pembuka kedamaian dalam beragama, tanpa membuat kegaduhan atau mencampuradukan ajaran atau yang lebih dikenal dengan sinkretisme agama, umat agama akan lebih humanis dalam menyikapi persoalan kehidupan sosial terutama yang bersangkut paut dengan nilai agama itu sendiri.

Melalui hubungan baik dengan kekuatan yang diyakini oleh setiap kaum agamawan, setiap manusia akan merasa tenang dan damai. Kecemasan munculnya konflik dapat dikurangai dengan sikap inklusivitas dan moderasi beragama. Dan untuk itu kenapa manusia beragama, tiada lain adalah untuk mendapatkan ketenangan batin dalam menjalankan roda kehidupan yang memilki tingkat kompleksitas. Manusia sebagai makhluk yang senantiasa dilingkupi rasa cemas dan penuh harap, sejatinya membutuhkan suatu kekuatan yang dapat menggiringnya pada kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan, yakni Tuhan sebagai tujuan akhir dari manusia.

Sedemikian tingginya Tuhan memberikan kemerdekaan kepada manusia untuk beragama, ini dapat terlihat dalam Q.s. al-Kaafirun ayat keenam yang menyebutkan bahwa

“…untukmu agamamu, untukku agamaku…”,

Hal ini merupakan pertanda bahwa Tuhan telah menjaga nilai dari masing-masing agama dan manusia dengan akal dan hatinya berhak untuk beragama menurut keyakinannya dengan maksud beribadah semata-mata karena Tuhan yang satu.***