Milenial dan Propaganda Ideologi

322

Milenial dan Propaganda Ideologi

Bandung, Pengurus Pusat Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia (PP IMIKI) menggelar Diskusi Publik dengan tema yang diangkat “Milenial dan Propaganda Ideologi”, bertempat di Gedung Bandung Creative City Forum (BCCF), pada Senin (26/08/2019).

Dalam kegiatan tersebut hadir beberapa narasumber yang ahli serta menguasai kajian tersebut dengan berbagai macam perspektif seperti, Muradi Direktur Pusat Studi Keamanan Nasional Fisip Unpad, Karuniana Dianta Sebayang Pengamat Sosial Ekonomi, Deni Ahmad Haidar Ketua PW Ansor Jawa Barat, dan Mahbub Ketua Umum PP IMIKI.

Pada kesempatan tersebut, Muradi memaparkan bahwa fenomena munculnya ideologi-ideologi yang dianggap publik atau pemerintah sebagai ancaman terhadap Ideoligi Pancasila sebagai ideologi negara, sebagai bagian dari fenomena historis yang setiap pergantian rezim senantiasa ada, beliau menambahkan bahwa fenomena raka-raki “radikal kanan-radikal kiri atau eka-eki”ekstrim kanan-ekstrim kiri, tidak hanya terjadi di Indonesia sebagai perongrong Ideologi Pancasila, tapi hampir terjadi diseluruh dunia termasuk di negara-negara maju.

Sementara itu, Dianta Sebayang juga mengingatkan kepada generasi milenial tentang propaganda pemikiran tertentu yang kerapkali hadir dalam aspek politik dan juga aktivitas ekonomi.
“Sebagai generasi muda, kita perlu bijak menyikapi proses kehidupan demokrasi, terlebih kampanye dan propaganda dalam dinamika politik yang dapat memecah persatuan dan keutuhan bangsa. Beliau menambahkan bahwa aktifias-aktifitas kampanye atau propaganda tentang ideoligi-ideologi tersebut tidak kurang dan tidak lebih sebagai bentuk pernikahan sirih antara kapitalisme dengan “Agamaisme” yg berakhir pada perebutan kekuasaan, pangsa pasar, ataupun kebudayaan.

Narasumber selanjutnya yang juga merupakan Ketua PP IMIKI menjelaskan asal muasal konsep Propaganda, Millenials, serta Ideoligi dari sudut pandang akademik dalam diskursus Ilmu komunikasi dan Politik, seperti bagaimana pola Josep Goebles tokoh Propaganda nya Hitler era Nazi di Jerman atau juga dalam The Art Of War nya Tsun Zhu era kekaisaran China Klasik. Selain itu dalam paparannya juga dijelaskan bagaimana peran dan posisi IMIKI yang bisa dikatakan memiliki loyalitas ganda antara peran akademik yang diemban dikampus serta Profesionalitas dalam mnjalankan organisasi yang hubungannya dengan komitmen kebangsaan.

Terakhir adalah pemaparan dari kang Deni Ahmad Haidar yang secara Komprehensif membedah bagaimana cara hidup ber-Indonesia dan beragama yang membahagiakan tanpa harus ribet dan saling menegasikan. Dalam paparannya beliau menjelaskan bahwa sesungguhnya berpancasila sudah menjalankan kehidupan berislam/beragama tanpa perlu diberi atribut “syariah”.persoalan agama dan negara dianggap sudah selesai, bahkan hari ini ideoligi-ideoligi besar dunia sudah saling kawin silang antara satu dan lainnya, walaupun dalam aspek penerapannya memang masih jauh dari kata sempurna. Sebetulya itulah yang menjadi tantangan bagaimana menambal kebolongan serta menginsyafi diskursus tentang pancasila agar tetap hidup terutama dikalangan akademisi tanpa harus mengganti pancasila sebagai sebuah “ushul” dalam hidup berbangsa dan bernegara kita di Indonesia tegasnya.

Kajian ini lebih menarik ketika banyak pertanyaan dari audiens yang tertarik dan ingin memperdalam mengenai bagaimana posisi Pancasila dengan dinamika diskursus Ruang publi baru/medsos, kemudian labelisasi “syariah” seperti wisata halal, NKRI bersyariah, serta isu paket nasionalisme dan internasionalisme sebagai wujud dari Pancasila yang Inklusif, moderat dan Kosmopolitan.

-NJ