Menolak HTI, Menjaga Gereja

531

Oleh : Kurnia P. Kusumah
Bagaimana bisa GP Ansor menolak Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), nota-bene sesama muslim yang lagi berdakwah; tapi malah menjaga gereja setiap tahun pada perayaan Natal. Tampak aneh, muslim menolak dakwah Islamiyah, sebaliknya malah memantapkan kekafiran orang-orang kafir. Membela kafir, menolak dakwah. Begitulah stigma yang dialamatkan kepada anak-anak muda NU itu saat ini.

Tulisan berikut mencoba memahami dari perpektif dua arah yang berlawanan; Ansor maupun HTI. Bukan untuk pemihakan; karena pemihakan sepenuhnya ditangan pembaca. Namun, ada hal-hal yang perlu dielaborasi; paradigma gerakan NU maupun HTI, sesungguhnya memiliki kesamaan.

Setelah saya amati, HT bermazhab firkah; Islam Sunni, bermazhab fiqih; Syafii, bermazhab aqidah; Ashari. (Lihat: Dawlah Al-Islamyyah, Islamic State, Al-Azhar University, Kairo, 1953). Mazhab ini sama-sama dimiliki NU. Jadi, secara paham keIslaman tidak ada perbedaan. Namun, karena perbedaan ijtihad politik “siyasiy”, maka terjadilah benturan di lapangan.

Atas perbedaan politik inilah, sekali lagi hanya politik, keadaannya seperti bensin siap disulut pemantik, sehingga bisa terbakar. Hal ini tentu menguntungkan pihak ketiga yang tidak ingin negeri ini aman dan damai.

HT bukan bagian dari ISIS di Suriah, juga bukan bagian dari Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. HT didirikan Taqiyudin An-Nabhani (1934), berpusat di Palestina adalah gerakan sempalan dari IM besutan Hassan Al-Banna. Taqiyudin menolak model gerakan Hassan Al-Banna karena dipandang akomodatif terhadap nasionalisme.

HT adalah gerakan politik dari entitas muslim, murni politik. HT amat jarang, bahkan tidak pernah bicara tentang ajakan meng-Islamkan orang-orang kafir. Bahkan, mereka tidak membeda-bedakan aliran-aliran atau firqah-firqah keagamaan didalam Islam. Bagi HT perbedaan mazhab tidak penting, yang penting adalah kesatuan (unity) demi tercapainya satu pemerintahan global dibawah satu komando, Khalifah. Ini sebuah revivalisme sekaligus taktik agar HT diterima oleh seluruh umat Islam di dunia.

HT adalah gerakan ideologi alternatif. Perjuangan HT sebenarnya hanya ingin terciptanya masyarakat dunia yang adil, sejahtera dan makmur, tanpa intimidasi; bebas kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, dlsbnya. Makanya, musuh utama HT sebenarnya adalah penyebab terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat dunia, yaitu; kapitalisme global, liberalisme, komunisme, dan sekularisme.

Sebagai konsekuensi menetapkan musuh pokok, maka secara otomatis hadir musuh “ikutan” yang menyebabkan langgengnya ideologi bermasalah diatas, yaitu; demokrasi, nation-state, dan nasionalisme. Menurut HT, ketiga “isme” ikutan tadi bukan berasal dari Islam tapi dari barat, dan karena itu harus dihancurkan.

Berbeda dengan HTI, NU mengambil ijtihad politik yang akomodatif dengan demokrasi, nation-state dan nasionalisme. Bahkan ikut ambil bagian mendirikan NKRI berdasarkan Pancasila, seraya melegitimasi, bahwa Pancasila adalah bentuk “final” bernegara.

Banyak kalangan melihat jika tidak ada NU, maka NKRI hanya tinggal nama. Hanya NU, sebagai entitas keagamaan yang bekerja sendirian menjaga NKRI sepenuh hati, tanpa pamrih. Mengapa hanya NU? Karena ormas lain tidak memiliki “perangkat” memahami keIslaman, bahwa nasionalisme adalah bagian dari ajaran Islam.

Disinilah titik persoalan krusial; yang satu menolak nasionalisme, yang satu lain menjaga nasionalisme habis-habisan. Jika menyoal kapitalisme global, liberalisme, komunisme; bukan hanya HT, itu merupakan musuh NU juga. Namun NU tidak melihat setiap ideologi barat adalah buruk dan dipandang tidak sesuai dengan Islam. Bagi NU, demokrasi dan nasionalisme adalah produk barat yang bisa diterima Islam.

Bagi NU tidak mungkin melenyapkan Pancasila, karena Pancasila sudah akomodatif terhadap syariat Islam. Sebaliknya, bagi HTI, Pancasila dianggap menghambat bagi tegaknya syariat Islam. Lebih dari itu, Pancasila merupakan batu sandungan bersemainya konsep khilafah. Di titik inilah kebuntuan sikap HTI dan NU.

Sementara itu, bagaimana bisa Ansor menjaga gereja? Hal mana didalam gereja itu berisi orang-orang kafir? Inilah yang dimaksud nasionalisme yang berke-Tuhanan. Dalam acara yang digelar PB NU, 2001, seorang kader Ansor bertanya kepada Gus Dur, apa hukumnya dalam Islam menjaga gereja? Pada masa itu, isu bom teroris menjadi fenomenal; kader-kader Ansor mulai menjaga gereja-gereja dari ancaman bom. GusDur menjawab, lakukan saja pengamananmu, sebagaimana kamu mengamankan “manusia” yang membutuhkan keamanan jiwa.

Inilah inti ajaran Islam tentang kemanusiaan. Bahwa menolong sesama manusia hukumnya wajib, ketika manusia itu membutuhkan pertolongan karena terancam jiwa. Jangankan manusia, binatang seperti anjing harus ditolong dari ancaman kematian. Jadi, Ansor menjaga gereja adalah demi persaudaraan sesama manusia satu bangsa dan satu tanah air; itupun merupakan bagian dari ajaran Islam.

Kembali ke HTI, jika masalahnya pada nasionalisme, bisakah HTI mengambil falsafah luhur orang-orang Padang; dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Terima saja Pancasila sebagai azas organisasi untuk mengambil hati para petinggi negara. Kemudian bahu-membahu melawan musuh bersama-sama diluar sana, dan di dalam negeri juga.

Tapi, konsep khilafah yang diusung berubah maknanya tidak dalam bentuk revivalisme, seperti masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Tapi, khalifah dalam makna seperti dalam Al-Quran; setiap manusia adalah khalifah (pemimpin) dimuka bumi, dan akan diminta pertanggung-jawabannya kelak dihadapan Allah SWT.

Wallohualam Bisshowab.

* *

Lampiran;

Empat Pilar Konsep Khilafah;

1, Kedaulatan ditangan Tuhan, bukan ditangan rakyat. Tetapkan syariat Islam sebagai undang-undang negara, bukan undang-undang jahiliyah seperti sekarang.

2, Lengserkan penguasa kaum pemodal yang ada sekarang diganti dengan kekuasaan ditangan umat Islam.

3, Hancurkan sekat-sekat nasionalisme
dengan membentuk satu otoritas tunggal dibawah khalifah

4, Khalifah diberikan kewenangan mutlak menentukan pilihan hukum mana yang dipandang paling mendekati keadilan.

(Pidato Ketua Hizbut Tahrir Indonesia, Apel Akbar, Gelora Bung Karno, 2007).

Empat Pilar Konsep Negara Bangsa, Pancasila;

1, Kedaulatan ditangan rakyat, yang dijiwai prinsip Ke-Tuhanan, sebagaimana tertuang dalam sila pertama Pancasila. Undang-undang ditetapkan berdasarkan nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan teks-teks agama.

2, Penguasa ditentukan oleh hasil pemilihan umum dari perolehan suara terbanyak dalam pemilu.

3, Nasionalisme adalah bentuk rasa syukur atas rahmat Tuhan; bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal demi menentukan nasib sendiri.

4, Negara berdasarkan hukum dan perundang-undangan, hal mana hukum itu untuk menciptakan rasa keadilan di masyarakat.

(Disadur dari berbagai sumber)