Menjawab Kerancuan Metode Berpikir Mereka Yang Anti Maulidan

339

Menjawab Kerancuan Metode Berpikir Mereka Yang Anti Maulidan
Oleh: Aang Asy’ari, Lc, MSI

Setiap memasuki bulan Rabi’ul Awwal, mayoritas muslim di seluruh dunia
ramai mengadakan acara maulidan sebagai bentuk rasa syukur atas
dilahirkan nabi Muhammad SAW. Namun bisa dipastikan pula setiap bulan
Rabi’ul Awwal muncul kelompok-kelompok yang memandang nyinyir tradisi
maulidan dan memvonisnya sebagai perilaku sesat dan menyesatkan.
Mereka menyerangnya dengan dalil dan logika yang seolah-olah
argumentatif tapi sebetulnya sangat lemah. Diantara argumen yang
sering dikemukakan adalah:

Perayaan maulidan tidak pernah dilakukan oleh Nabi, para sahabat, juga
tidak pernah dilakukan oleh tabi’in. Seandainya perayaan maulid Nabi
memang mengandung nilai kebaikan niscaya Nabi, para sahabat dan para
tabi’in akan berinisiatif melaksanakannya jauh sebelum kita.

Bantahan Ahlus Sunnah wal Jama’ah al-Asy’ariyyah:
Ada kisah yang hampir sama dengan persoalan ini sekaligus kisah ini
menjelaskan bahwa pernyataan dari mereka yang anti maulidan tidak
berdasarkan logika yang kuat.
Singkat cerita, suatu ketika sayyidina Umar memberikan saran kepada
Sayyidina Abu Bakar tentang pentingnya kodifikasi al-Qur’an setelah
banyak sahabat yang hapal al-Qur’an terbunuh. Merespon saran sayyidina
Umar, Sahabat Abu Bakar menjawab “Bagaimana mungkin aku akan melakukan
satu ketetapan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?”
Kemudian Sayyidina Umar menjawab, “Demi Allah SWT, ide ini –kodifikasi
al-Qur’an- adalah baik, membawa kemaslahatan” (HR. al Bukhari).

Dari kisah singkat ini bisa diambil kesimpulan, sahabat Umar
berkeyakinan yang kemudian diaminin oleh sahabat Abu Bakar, bahwa
segala sesuatu yang mengandung nilai kebaikan, hendaknya dilakukan,
meskipun Rasulullah SAW dan para sahabat dan tabi’in tidak pernah
mengerjakannya. Tradisi memperingati maulid jelas sebuah kebaikan
karena di dalamnya terdapat banyak kebaikan: ada shalawatan, sedekah,
merekatkan tali ukhuwah, mengkaji biografi Rasulullah SAW dll. Semua
umat Islam pasti sepakat bahwa semua yang disebut itu baik dan sangat
dianjurkan dalam Islam.

Mereka yang anti maulidan berkata:
Dalam perayaan maulid Nabi ada kesan merendahkan pribad Nabi Muhammad
SAW, karena peringatan maulidan hanya dibatasi satu hari saja dalam
satu tahun.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah al-Asy’ariyyah menjawab:
Pertanyaan ini menunjukkan kedangkalan cara berpikir. Yang benar kami
tidak pernah membatasi memuji dan mengagungkan Rasulullah SAW hanya
pada hari kelahirannya saja.. Hanya saja volume dan kuantitas juga
kualitas ta’dhim syukuran kami, lebih ditingkatkan lagi ketika
bertepatan dengan hari kelahirannya. Mengingat momen itu adalah momen
yang sangat agung.

Logika padanannya adalah kita juga tidak akan berani kurang ajar
kepada baginda Rasulullah SAW dengan mengatakan bahwa Nabi
mengkhususkan bersyukur kepada Allah SWT atas kelahirannya hanya pada
hari Senin saja dengan cara berpuasa setiap hari senin.  Kita pasti
akan mengatakan bahwa setiap hari senin, Rasulullah SAW meningkat
volume bersyukurnya kepada Allah SWT sebagai bentu syukur atas
dilahirkannya beliau.

Mereka yang anti maulidan juga sering berkata :
Bagaimana kalian tega merayakan maulid Nabi pada tanggal 12 Rabi’ul
Awal, padahal pada tanggal yang sama Rasulullah SAW wafat?

Ahlus Sunnah wal Jama’ah al-Asy’ariyyah menjawab:
Hari kelahiran dengan hari kematian yang jatuh pada hari yang sama
tidak menafikan kemuliaan hari kelahirannya. Hal tersebut berlaku bagi
siapa saja termasuk kepada Baginda Rasulullah SAW. Bukankah dalam
kitab Sunan An-Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya hari
yang paling mulia adalah hari Jumat. Pada hari itu Adam diciptakan dan
dicabut nyawanya (wafat). Hadis ini dengan sangat gamblang menjelaskan
justru letak kemulian hari Jum’at akibat dihidupkan Nabi Adam AS oleh
Allah SWT dan pada hari yang sama beliau wafat.

Sebagai penutup cukuplah para ulama ahlus sunnah wal jama’ah, dari
mulai pakar tafsir, hadis, fiqh dll sebagai pelita kita dalam
kebolehan melaksanan peringatan maulidan. Diantaranya:

1.Al-Hafidz Imam Suyuthi dalam karyanya Husnul Maqshad fi ‘Aml
al-Maulid Karya Imam Suyuthi, h. 4). Al-Hafidz adalah gelar
intelektual bagi ulama yang hapal minimal seratus ribu (100.000) hadis
baik sanad maupun matannya.
2.Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalany komentator terbaik kita Sahih Bukhori
3.Dan masih banyak lagi ulama terkemuka baik dahulu maupun
kontemporer: sebut saja misalnya Imam Nawawi (komentator terbaik kitab
Sahih Muslim), Syaikh al-Bhuthiy, Syaikh Wahbah Zuhayli, Syaikh Ali,
Jum’at, Habib Umar bin Hafidz bahkan Syaikh Ibnu Taymiah dalam salah
satu karya terbaiknya, kitab ” (Iqtidla’ as Shirat al Mustaqim
II/126). Semua ulama rabbani ini membolehkan acara maulidan. Wallahu
‘alam.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Aswaja Center Kuningan