MENJANGKAU YANG BELUM TERLAYANI (Refleksi Hari Amal Bakti Kementerian Agama ke-72)

37

MENJANGKAU YANG BELUM TERLAYANI
(Refleksi Hari Amal Bakti Kementerian Agama ke-72)

Kementerian Agama kini memasuki usianya yang ke-72. Lahir lima bulan setelah Indonesia merdeka, tepatnya 3 Januari 1946. Usia yang relatif dewasa dan matang, jika dibandingkan dengan usia manusia. Perjalanan sejarah, dinamika gerak langkah organisasi dan ikhtiarnya memberikan manfaat untuk anak bangsa terus dilakukan.

Sejalan dengan usianya yang ke 72, Kementerian Agama telah berjibun menorehkan sejumlah karya dan prestasi. Dalam hal tata kelola pemerintahan, mendapat opini hasil audit BPK dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan kenaikan indeks penilaian reformasi birokrasi. Di bidang pelayanan haji, indeks kepuasan jemaah haji terus meningkat. lndeks kerukunan beragama berada dalam angka positif. Begitu pula dengan pelayanan nikah di KUA. Juga kenaikan pada standar mutu pendidikan agama dan keagamaan di tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi.

Selain itu, Kementerian Agama dinilai sebagai penyumbang PNBP terbesar, pelapor LHKPN terbanyak serta beberapa penghargaan lainnya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi anti rasuah ini memberikan dua penghargaan dalam rangkaian Hari Antikorupsi se-dunia (Hakordia) 2017, yaitu lembaga dengan Tingkat Kepatuhan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) Terbaik dan Lembaga dengan Sistem Pengendalian Gratifikasi Terbaik 2017. lni menunjukkan bahwa kementerian ini telah mampu bertransformasi melalui sistem yang lebih baik.

Di bawah Menteri Lukman Hakim Saifuddin (LHS), Kementerian Agama telah membuktikan diri sebagai lembaga yang terus berbenah dan memperbaiki performa sebagai kementerian yang bertekad menjadi percontohan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan melayani (good governence). Ini patut didukung dan menjadi komitmen bersama seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan mottonya ikhlas beramal.

Tulisan ini akan membahas sekilas bagaimana Kementrian Agama sebagai lembaga yang mengakar di masyarakat mempunyai komitmen tinggi untuk melayani kelompok masyarakat yang belum terlayani di bidang pendidikan agama dan keagamaan secara optimal. Hal ini sebagai refleksi mendalam atas peran negara hadir, peduli terhadap kelompok yang lemah (mustadh’afin).

Berbagai capaian program telah dirasakan langsung oleh masyarakat pengguna (user) pendidikan Islam. Di bidang Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, sederet program telah dinikmati civitas academika, seperti pembangunan fisik sarana dan prasarana PTKI, UIN, IAIN dan STAIN melalui dana Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Pemberian Beasiswa 5000 Doktor, Beasiswa Affirmasi Pendidikan Tinggi Islam (Adiktis) di Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) dan Beasiswa Bidikmisi. Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB), Beasiswa S1 ke Jepang, beasiswa tahfidz quran kerjasama Turki dengan Kementerian Agama dan berbagai bantuan peningkatan mutu untuk siswa, santri dan mahasiswa menambah panjang daftar khidmah Kementerian Agama ditengah-tengah masyarakat.

Selain itu adalah kebijakan transformasi kelembagaan dari STAIN menjadi IAIN dan IAIN menjadi UIN telah membuka akses seluas-seluasnya kepada anak bangsa untuk meperdalam ilmu-ilmu ke-Islaman, sains, teknologi dan humaniora. Di bidang pondok pesantren ditandai dengan masuknya Ma’had Aly dalam Undang Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 tahun 2014, Muadalah Pesantren dan dibukanya Pendidikan Diniyah Formal.

Kebijakan itu patut diapresiasi mengingat mengakuan (reconisi) pemerintah mutlak diperlukan, kepada para santri untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan sesama pelajar di tanah air. Kemauan kuat pemerintah akan menambah rasa percaya akan kehadiran negara dalam setiap hajat pendidikan waganya. Karena itu akan membantu mempercepat tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UUSPN Nomor 20/2003)

Keberpihakan

Tema-tema keberpihakan (affirmasi) nampaknya masih relevan dilakukan oleh Kementerian Agama sampai saat ini, terutama untuk anak bangsa yang mempunyai keterbatasan ekonomi, akses, modal dan lemah akses terhadap kebijakan. Umumnya secara politik mereka kurang terperatikan, apalagi secara ekonomi dan sosial.

Keberpihakan Kementerian Agama atas kelompok yang kurang mampu juga dibuktikan dengan adanya program Beasiswa Affirmasi Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Adiktis) untuk Daerah 3T. Program ini bertujuan agar anak-anak yang berasal dari daerah 3T bisa megenyam pendidikan tinggi dengan baik sama dengan anak-anak di daerah yang berada di kota dan kuat akses. Sementara ini mereka mengabil studi pada ilmu-ilmu keislaman seperti tarbiyah, syariah, bahasa arab dan ekonomi syariah diperguruan tinggi yang ditunjuk oleh Kementerian Agama di Pulau Jawa.

Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Amandemen UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) dan (2) menegaskankan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Amanat UUD tersebut diturunkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.

Masyarakat kaya-miskin, kota-desa harus mendapatkan perlakuan yang adil dalam pendidikan, karena itu menjadi kewajiban pemerintah. Jangan sampai ada istilah “orang miskin di larang sekolah”, karena pendidikan itu mahal dan tak terjangkau oleh kalangan masyarakat kurang mampu.

Komitmen Kementerian Agama tidak berhenti di situ, tetapi muncul program yang diperuntukan bagi pengembangan mahasiswa, seperti bantuan Tahfidz Al-Quran, bantuan prestasi akademik, bantuan pemagangan mahasiswa dan bantuan lembaga kemshasiswaan. Agar mereka mempunyai pemahaman ke-Islaman yang moderat, terbuka dan toleran, cerdas dan kritis, professional, dan mmepunyai kepekaan nurani pada masyarakat.

Pemerintah melalui Kementerian Agama RI telah dan sedang memberikan Beasiswa Bidikmisi. Dimulai pada tahun 2011 sampai 2017 dengan total mahasiswa berjumlah 28.166 orang dengan perincian, mahasiswa yang berasal dari PTKIN (UIN, IAIN dan STAIN) berjumlah 26.944 orang dan PTKIS sejumlah 1.220 orang. Jumlah yang ada masih sangat sedikit, jika dibandingkan dengan yang diberikan kepada mahasiswa PTU dibawah Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

Mereka mendapatkan beasiswa full study selama 4 tahun. Jumlah mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi namun memiliki berprestasi saat di bangku SLTA yang beruntung mendapatkan Bidikmisi, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, yaitu: Tahun 2011 (2.020 orang), 2012 (2.100 orang), 2013 (2.876 orang), dan 2014 (2.220 orang). Mulai tahun 2015 Bidikmisi sudah merambah ke PTKIS. 2015 untuk PTKIN berjumlah 4.780 dan PTKIS 220 orang. Tahun 2016 PTKI berjumlah 6.750 dan PTKIS 500 orang. Sedangkan pada tahun 2017 ini untuk PTKIN berjumlah 6.200 dan PTKIS 500 orang. Total anggaran yang telah disalurkan berjumlah Rp. 214.692.000.000,-

Walau belum sesuai dengan harapan publik, tetapi setidaknya telah membuktikan bahwa negara hadir untuk kalangan yang kurang mampu untuk melanjutkan studi di bangku kuliah. Lemah ekonomi, lemah akses, lemah modal yang menyebabkan mereka tidak mampu studi menjadi sarjana.

Menjaungkau Santri

Disadari tidak semua santri pondok pesantren akan menjadi kyai (ahli agama), kata KH. A. Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur, Putra Hadratus Syaih Hasyim Asy’ari. Karenanya perlu diberikan pelajaran al-Jabar (Matematika), Sejarah, Ilmu Bumi, Bahasa Belanda dan ketrampilan sebagai bekal di kehidupannya kelak. Hal inilah yang menjadi salah satu pemikiran berdirinya Madrasah Nidzamiyah di Pesantren Tebuireng sekitar tahun 1930-an yang di inisiasi Kyai Wahid Hasyim bersama Kyai Ilyas.

Harapan para kyai agar alumninya kelak siap pakai dan menjadi manusia-manusia yang dibutuhkan oleh masyarakat, sebagaimana langkah yang dilakukan oleh KH. A. Wahid Hasyim bersama Kyai Ilyas tersebut, seolah terwujud dalam konteks negara dengan munculnya Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB). Kementerian Agama RI menjalin kerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia, seperti IPB, ITS, UNAIR, UGM, ITB dan UI serta beberapa UIN untuk mengkuliahkan santri pesantren mengambil studi sans dan teknologi serta Islamic studies.

Sebuah kenyataan bahwa akses ke perguruan tinggi bagi santri yang umumnya berasal dari ekonomi lemah (mustadh’afin) masih sangat terbatas. Ditambah dengan kondisi pendidikan di pesantren dan madrasah yang kurang beruntung, mendapatkan keadilan perlakuan, keadilan anggaran dan keadilan fasilitas serta keadilan di mata undang-undang menjadikan kaum santri agak lamban merespon sains dan teknologi.

Buah dari komitmen Kementerian Agama RI terhadap santri-santri yang kurang mampu itu, kini kurang lebih 4.000 santri yang berasal dari 782 pondok pesantren se-Indonesia bisa kuliah pada perguruan tinggi bermutu. Tidak kurang dari 40-67 milyar dana negara dikeluarkan untuk kepentingan beasiswa santri. Ini langkah besar sepanjang Indonesia merdeka perhatian negara atas para santri pesantren yang kini mencapai 4 juta santri dengan 29.000 pondok pesantren tersebar dari Sabang hingga Merauke.

Melalui PBSB, Kementerian Agama tidak sekedar menjadikan mahasiswa yang cerdas intelektualnya, tetapi juga orang-orang yang tajam keberpihakan mereka pada kelompok-kelompok yang lemah yang berpadu dengan kemampuan profesionalnya. Almarhum Prof. H.A Qadri Azizi Mantan Dirjen Kelembagaan Islam (sekarang Pendidikan Islam) menyebutnya mereka santri PBSB akan dicetak menjadi inventor, inovator dan creator dalam mengarungi bahtera kehidupannya.

Menjangkau yang belum terlayani menjadi penting disaat Kementrian Agama memperingati hari lahirnya yang ke-72. Hari Amal Bakti menjadi momen penting untuk refleksi mendalam atas perjalanan kiprah dan perannya sambil melakukan proyeksi medan juang dan medan khidmah kepada bangsa dan negara. Negara harus hadir kepada kelompok yang membutuhkan harus terus disuarakan agar negeri ini naik kelas menjadi negeri yang baldatun thayyibatun warabbun ghofur. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Lapangan Banteng, 3 Januari 2017

Ruchman Basori (Kepala Seksi Kemahasiswaan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaa Islam Ditjen Pendidikan Islam Kemnterian Agama RI)