Mengawal Solidaritas Kebangsaan

125

Mengawal Solidaritas Kebangsaan (Ukhuwah Al-Wathaniyah)

Akhir-akhir ini tiang penyangga bangsa kita sedang mengalami guncangan. Meskipun skalanya tidak besar, guncangan ini cukup mengganggu bangunan solidaritas kebangsaan kita. Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai empat tiang penyangga paling berharga bangsa kita, keberadaannya sedang digoyahkan, sehingga menimbulkan goncangan yang kontra-produktif. Fatalnya, gangguan demi gangguan itu dilakukan oleh sesama umat yang mengaku beragama Islam.

Realitas memprihatinkan itu setali tiga uang dengan merebaknya penyebaran hoaks, ujaran kebencian, fitnah dan polisisasi agama. Identitas kemusliman dan simbol-simbol Islam telah disalahgunakan fungsinya. Yang paling memprihatinkan–puncaknya–adalah ketika ayat-ayat suci Al-Qur’an digunakan untuk membenci umat agama lain dan melampiaskan nafsu politik praktis (politik identitas). Tidak aneh jika kemudian dinamika kehidupan bangsa kita cenderung mengarah pada radikalisme.

Melihat bahaya yang mengarah pada radikalisme, sudah saatnya kita, sebagai bagian dari gerbong Islam moderat, Nahdlatul Ulama, GP Ansor, tidak boleh tinggal diam. Dan tulisan ini merupakan bagian dari upaya tegas kita dalam upaya melawan radikalisme dan intoleransi. Tulisan sederhana ini menjadi salah satu bagian paling penting dalam bentuk jihad literasi, sebab budaya literasi inilah yang dewasa ini sedang mengalami kemunduran, hampir di antara kita sekalian, meninggalkan jihad literasi ini.

Posisi GP Ansor
GP Ansor harus selalu berada di garda terdepan dalam mengawal solidaritas kebangsaan (Ukhuwah Al-Wathaniyah). Sebab salah satu alasan paling utama mengapa GP Ansor dibentuk adalah tidak lain untuk menunjukkan komitmen kebangsaan kepada Indonesia tercinta. Untuk itulah jangan tanya kalau ada siapa atau kelompok manapun yang mencoba mengoyak solidaritas kebangsaan di Indonesia, GP Ansor dan Banser adalah lawannya.

GP Ansor selalu siap menjaga NKRI. Merawat keberagaman dengan inklusif dan partisipatif. GP Ansor membuka jalinan solidaritas dengan agama apapun. Salah satu wujudnya adalah GP Ansor selalu siap mengawal kenyamanan beribadah umat agama apapun di luar Islam. GP Ansor juga selalu terus berpartisipasi dalam menyemai harmonisasi sosial yang berspiritkan Islam Nusantara. Para pemuda dalam wadah GP Ansor menjadi pelopor kebangkitan para pemuda penolong bangsa.

GP Ansor tidak boleh lengah. Para pengganggu NKRI masih ada di negeri ini. Mereka siap bertarung kapan saja secara tiba-tiba. Karena itu penguatan-penguatan internal kader perlu ditingkatkan. Dewasa ini mereka sedang getol-getolnya meracuni umat dengan sejumlah propaganda berbalut syariat Islam. Sampai puncak propagandanya adalah mengganti NKRI dengan Negara Islam/Khilafah Islamiyah. Ormas-ormas pengusung Negara Islam inilah yang sangat membahayakan.

Jihad Politik Kebangsaan
Paska Pilkada DKI Jakarta, para gembong Islam radikal semakin menemukan momennya. Mereka telah berhasil melampiaskan nafsunya dengan argumen bahwa memilih pemimpin non Muslim itu haram, sehingga jelaslah bahwa mereka telah terjebak dalam kebencian berbasiskan sentimen agama. Kita harus belajar dari pengalaman pahit paska Pilkada DKI Jakarta. Pengalaman ini sekaligus membuktikan bahwa kita masih kekurangan sosok-sosok pemuda bermental negarawan yang siap membasmi korupsi dan intoleransi.

Yang kita ilhami bukanlah politik praktik, politik mahar dan politik transaksional. Nahdliyin yang masuk dalam jajaran GP Ansor harus melek politik kebangsaan. Kita harus pro-aktif dalam membumikan politik kebangsaan yang rahmatan lil’alamin. Harus ada pemuda yang konsisten di internal GP Ansor, selain harus ada juga pemuda yang terjun dalam dunia partai politik. Upaya ini tidak lain agar aspirasi dari bawah dapat tersalurkan dengan tepat melalui kader GP Ansor.

GP Ansor memang tidak boleh berpolitik praktis secara organisasi. Tetapi kadernya secara pribadi harus ada yang jago dalam berpolitik, baik dalam kancah Kabupaten/Kota, Provinsi maupun pusat. Ihwal teladan dalam pengejawantahan politik kebangsaan, kita tidak usah bersusah payah, sejak dulu para ulama dan kiai NU telah banyak menorehkan pengabdian dan jihadnya pada bangsa ini dengan luar biasa. Sebut saja Al-Maghfurlah Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Al-Maghfurlah KH. Wahab Hasbullah dan Al-Maghfurlah KH. Abdurrahman Wahid.

Jihad Pemberdayaan Ekonomi
Satu hal yang masih menjadi kelemahan kita di NU dan GP Ansor adalah pemberdayaan ekonomi. Maka sudah tidak ada waktu bagi kita untuk berleha-leha, membiarkan kemiskinan dan pengangguran yang dewasa ini justru menimpa para pemuda di seluruh penjuru bangsa. Berjihad dalam pemberdayaan ekonomi memang tidak mudah tetapi persoalan harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Para pemuda GP Ansor dan Banser harus mandiri dan berjiwa wirausaha.

Sebab Islam adalah agama yang seimbang agar umatnya bisa menegakkan hablum minallah dan hablum minan nas, istikamah dalam beribadah dan mandiri dalam bermuamalah. Jangan mau menjadi pemuda bermental miskin. Ya kemiskinan itu soal mental. Orang yang uangnya banyak tetapi jiwanya miskin, ia akan menjadi orang yang pelit dan tak punya kepedulian sosial. Sudah saatnya para pemuda GP Ansor dapat menjalankan organisasi dengan proses yang sabar dan tekun.

Dalam konteks Kabupaten Cirebon, PC GP Ansor harus berupaya membumikan jihad pemberdayaan ekonomi, minimal di 40 kecamatan, satu kecamatan satu wirausaha dan bahkan targetnya harus bisa meluarkan virus pemberdayaan ekonomi di 400-an Desa. Kalau jihad keagamaan GP Ansor dibarengi dengan jihad politik kebangsaan dan jihad pemberdayaan ekonomi maka yakin bahwa para pemuda Indonesia akan bangkit, sebagaimana bangkitnya para ulama dan Islam Nusantara. Semoga.

Wallaahu a’lam
Mamang Haerudin

Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 1 April 2018, 02.28 WIB

Disampaikan dalam acara “Kongkow Ansor” bersama GP Ansor Kabupaten Cirebon, pada Kamis, 5 April 2018