Mengarifi Kehidupan dengan Kejujuran

51

Mengarifi Kehidupan dengan Kejujuran

Kehidupan di dunia ini sangat dinamis. Terus bergerak sangat cepat. Lalu dalam proses yang dinamis itu ada banyak peristiwa demi peristiwa, masalah demi masalah, tantangan demi tantangan dan lain sebagainya yang sering kali membuat kita bersemangat, termotivasi atau malah sebaliknya menjadi pesimis, menderita. Semua itu sunnatullah, bagian dari skenario Allah untuk manusia dan kehidupannya. Untuk itu pertanyaannya adalah sedang berada di posisi mana kita sekarang?

Bahkan sudah kita ketahui bersama, bahwa zaman kita hidup ini adalah zaman di mana hidup penuh dengan persaingan yang tidak sehat, saling jegal, kejahatan di mana-mana, kemaksiatan dan kezaliman. Kita harus bisa belajar dari setiap peristiwa yang kita lalui ini. Jangan sampai hidup kita hanya seperti angin lalu. Terlibat kesibukan beraktivitas yang kemudian terjebak pada hal-hal semu. Jangan sampai kualitas iman dan akhlak kita malah menurun. Tidak aneh jika kemudian kita sulit untuk bisa mengarifi kehidupan.

Kenapa? Karena yang sekarang sedang hilang adalah kejujuran. Orang sudah pandai berbohong dengan sistematis dan berjemaah. Tanpa malu-malu dan dilakukan secara terbuka. Kebohongan sebagai lawan dari kejujuran sekarang sedang menjangkiti banyak orang di manapun ia berada. Benar, yang hilang dari kita itu kejujuran. Orang sekolah dan kuliah tidak jujur, bekerja tidak jujur, dan apapun profesinya dilakukan dengan tidak jujur.

Lalu buat apa kita hidup tapi tidak jujur? Kita banyak harta pun buat apa kalau harta itu didapat dari cara yang tidak jujur? Hidup bermewah-mewahan tapi sejatinya itu adalah biang malapetaka. Punya jabatan tinggi tapi hasil dari menyuap. Punya anak buah yang selalu siap diperintah tetapi bukan karena bijaksana, melainkan karena semua dapat dibeli dengan uang. Termasuk orang yang lalai dalam beribadah. Sehingga akhirnya pantas saja hidupnya tidak tenang dan apalagi berkah.

Setelah direnungkan, dipelajari dan seterusnya, kearifan hidup hanya dapat diikhtiari dan digapai dengan kejujuran. Tanpa kejujuran, hidup kita tidak akan tenang. Hari-hari kita terasa sempit, karena akan selalu merasa dihantui oleh rasa takut dan bersalah. Dunia terasa sumpek. Makan tidak nafsu, pergi rekreasi pun tidak membuat pikiran menjadi segar dan upaya apapun untuk menghibur diri, dipastikan akan berujung sia-sia.

Kejujuran itu melegakan. Kejujuran itu sumber kemenangan sejati. Betapapun sulit menerapkan kejujuran, tetapi asalkan komitmen kita kuat untuk terus melatih diri, lambat-laun kita akan bisa merasakan betapa nikmat hidup dalam kejujuran. Orang dengan level kejujuran, biasanya ia akan menjadi arif. Memandang dunia tidak jomplang. Ia akan selalu mampu menangkap makna dari setiap peristiwa yang dihadapi. Kejeliannya dalam menangkap makna hidup inilah yang menjadi modal utama hidup bahagia betapapun tanpa atau belum dikaruniai kekayaan yang banyak.

Hidup dalam kejujuran seperti hidup yang mendapat tuntunan langsung dari Tuhan. Sebab kejujuran akan sulit diejawantahkan tanpa ada kepasrahan kepada Tuhan. Orang jujur adalah orang yang berserah diri dari apapun takdir Tuhan. Ia selalu punya banyak cara untuk menyesuaikan kondisi dengan takdir yang Tuhan berikan. Bukan malah sebaliknya, membelot atau melawan skenario Tuhan. Karena orang–yang sedang belajar–jujur sudah tidak punya rasa takut kepada sesama manusia sebab keyakinannya akan penjagaan Tuhan selalu kuat.

Sampai-sampai kemudian jika ada orang jujur dicurangi atau dijahati orang lain, ia tidak risau, ia tidak takut karena ia yakin Allah adalah solusi terbaik untuk melawan orang-orang curang dan jahat. Sampai kapanpun, orang jujur akan selalu menang. Ini garis fitrah dan sunnatullah. Yang dimaksud menang adalah menang di mata Allah, kemenangan yang bisa berupa kekalahan di mata manusia. Di atas kertas dan realitas kita bisa jadi kalah karena kita teguh dengan kejujuran, tetapi yakinlah dan buktikan saja, cepat atau lambat kejahatan dan kebohongan pasti akan kalah.

Wallaahu a’lam

Mamang M Haerudin (Aa)
GP Ansor Kabupaten Cirebon

Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 22 Februari 2018, 13.14 WIB