MENANGKAL KEBIADABAN MESIN PEMBUNUH

104

Oleh :A l-Zastrouw
Hari ini tragedi yang .memakan korban jiwa kembali dilakukan oleh orang-orang biadab terjadi di Surabaya. Belum seminggu lima nyawa bayangkara negara sirna penuh luka. Dianiaya secara keji dan biadab oleh mesin pembunuh berbentuk manusia. Ya, wujud mereka itu memang manusia, tapi hakekatnya mereka adalah mesin pembunuh yang tak punya rasa sehingga kebiadabannya melebihi hewan buas yang pernah ada. Racun dogma telah merusak pikiran mereka, membunuh rasa kemanusiaan dan menghancurkan seluruh akal budi, sehingga mereka tega melakukan pembunuhan keji pada sesama tanpa merasa berdosa.

Kejadian ini mengingatkan kita pada peristiwa pembantaian para kyai dan aparatur negara tahun 1948 yang dilakukan oleh PKI. Agus Sunyoto (1990) menyebutkan beberapa kyai pengasuh pondok pesantren, mursyid thareqah, para pejabat dan aparat negara; Bupati Magetan, polisi, patih, wedono, Kepala Pengadilan dibantai dan disiksa secara biadab oleh PKI kemudian mayatnya dimasukkan dalam. Bahkan ada diantaranya yang dikubur dalam sumur hidup-hidup setelah disiksa, sebagaimana yg dialami oleh KH. Moh. Sofwan.

Meski dengan baju ideologi yang berbeda namun keduanya memiliki kesamaan yaitu membunuh sesama manusia dengan cara keji dan biadab. Pada kasus pembantaian 1948 racun ideologi komunis telah menggerakkan orang PKI menjadi mesin pembunuh sedangkan pada pada kasus kerusuhan mako Bromob mesin pembunuh itu tercipta oleh virus radikal fundamentalis agama.

Membandingkan kedua kasus ini bisa dikatakan bahwa ideologi intoleran, merasa diri paling benar, baik yang bersumber dari pemahaman agama maupun yang anti agama sama-sama membahayakan kemanusiaan karena sama-sama bisa menciptakan manusia-manusia biadab yang menjadi mesin pembubuh secara keji.

Meski kaum agamawan menyangkal bahwa tindakan tersebut tidak ada kaitannya dengan agama tertentu (Islam) namun sangkalan ini sulit diterima karena saat membunuh mereka menggunakan simbol agama, dilakukan atas nama agama dan diyakini untuk kepentingan agama oleh para pelakunya. Bahkan saat melaksanakan oembunuhan dan melakukan kerusuhan mereka meneriakkan takbir dan mengutip ayat suci. Ini sama sulitnya dengan upaya untuk tidak mengkaitkan pembantaian 1948 dengan ideologi Komunis. Ini terjadi karena para pelaku pembantaian menggunakan simbol komunis, atas nama kebenaran ideologi Komunis dan untuk kepentingan Komunis.

Pemisahan tidakan biadab para teroris dengan Islam menjadi semakin sulit ketika masih ada rasa simpati dan pembelaan pada mereka atas nama agama. Misalnya dengan membuat asumsi dan justifikasi yang membenarkan tindakan mereka, baik secara samar-samar, terselubung maupun terang-terangan. Sikap seperti ini akan semakin mengokohkan pandangan ideologis para teroris. Mereka akan tetap merasa bahwa pandangan keagamaan yang dianutnya benar. Buktinya mereka masih mendapat simpati dan bahkan dianggap sebagai pahlawan, mujahid atau syahid ketika mereka gugur.

Pandangan seperti ini tidak saja akan menumbuhkan dan memperkuat ideologi intoleran yang menyebabkan seseorang menjadi mesin pembunuh sadis, lebih dari itu hal ini juga akan semakin memperkuat asumsi Islam sebagai agama kekerasan. Meski seribu kali bicara Islam tidak terkait dengan teroris, tetapi selagi para pelaku teror masih meneriakkan Allahu Akbar saat membantai, mengatas namakan Islam saat menyiksa dan masih ada yang menyebut mereka sebagai pahlawan dan pejuang Islam maka akan sulit menyangkal Islam sebagai agama kekerasan. Sebagaimana orang PKI yang mengelak dengan segala cara bahwa ideologi komunis adalah anti kekerasan, humanis dan senenisnya tapi ketika pengikutnya melakukan pembantaian sadis pada sesama manusia atas nama ideologi Komunis, maka tetap saja diasumsikan bahwa komunis adalah pembunuh dan pemberontak.

Jika Islam tidak ingin dikaitkan dengan tindakan teror dan pencipta mesin pembunuh maka ummat Islam harus berani membuang simpati pada kaum intoleran yang tega melakukan pembantaian sadis terhadap sesama manusia dengan meneriakkan Takbir dan mengutip ayat. Ummat Islam harus berani menyatakan bahwa mereka yang menyerang aparat negara dan pemerintah yang sah, mengancam kedaulatan negara adalah bughat yang layak diperangi, sekalupun mereka mengatas namakan Islam. Seperti yang dilakukan terhadap PKI dan pemberontak lainnya.

Tanpa ketegasan, radikalisme akan sulit diberantas. Dan mesin-mesin pembunuh sadis yg mengatasnamakan Tuhan dan kebenaran agama akan terus bermuncilam karena selaliu saja ada yg simpati dan menganngapnya sebagai pejuang, mujahid dan syahid. Saatnya bertindak tegas dan membuang rasa simpati pada mesin pembunuh sadis yg melakukan tindakan biadab dengan membajak agama.****Muhasabah Kebangsaan

MENANGKAL KEBIADABAN MESIN PEMBUNUH
Al-Zastrouw

Hari ini tragedi yang .memakan korban jiwa kembali dilakukan oleh orang-orang biadab terjadi di Surabaya. Belum seminggu lima nyawa bayangkara negara sirna penuh luka. Dianiaya secara keji dan biadab oleh mesin pembunuh berbentuk manusia. Ya, wujud mereka itu memang manusia, tapi hakekatnya mereka adalah mesin pembunuh yang tak punya rasa sehingga kebiadabannya melebihi hewan buas yang pernah ada. Racun dogma telah merusak pikiran mereka, membunuh rasa kemanusiaan dan menghancurkan seluruh akal budi, sehingga mereka tega melakukan pembunuhan keji pada sesama tanpa merasa berdosa.

Kejadian ini mengingatkan kita pada peristiwa pembantaian para kyai dan aparatur negara tahun 1948 yang dilakukan oleh PKI. Agus Sunyoto (1990) menyebutkan beberapa kyai pengasuh pondok pesantren, mursyid thareqah, para pejabat dan aparat negara; Bupati Magetan, polisi, patih, wedono, Kepala Pengadilan dibantai dan disiksa secara biadab oleh PKI kemudian mayatnya dimasukkan dalam. Bahkan ada diantaranya yang dikubur dalam sumur hidup-hidup setelah disiksa, sebagaimana yg dialami oleh KH. Moh. Sofwan.

Meski dengan baju ideologi yang berbeda namun keduanya memiliki kesamaan yaitu membunuh sesama manusia dengan cara keji dan biadab. Pada kasus pembantaian 1948 racun ideologi komunis telah menggerakkan orang PKI menjadi mesin pembunuh sedangkan pada pada kasus kerusuhan mako Bromob mesin pembunuh itu tercipta oleh virus radikal fundamentalis agama.

Membandingkan kedua kasus ini bisa dikatakan bahwa ideologi intoleran, merasa diri paling benar, baik yang bersumber dari pemahaman agama maupun yang anti agama sama-sama membahayakan kemanusiaan karena sama-sama bisa menciptakan manusia-manusia biadab yang menjadi mesin pembubuh secara keji.

Meski kaum agamawan menyangkal bahwa tindakan tersebut tidak ada kaitannya dengan agama tertentu (Islam) namun sangkalan ini sulit diterima karena saat membunuh mereka menggunakan simbol agama, dilakukan atas nama agama dan diyakini untuk kepentingan agama oleh para pelakunya. Bahkan saat melaksanakan oembunuhan dan melakukan kerusuhan mereka meneriakkan takbir dan mengutip ayat suci. Ini sama sulitnya dengan upaya untuk tidak mengkaitkan pembantaian 1948 dengan ideologi Komunis. Ini terjadi karena para pelaku pembantaian menggunakan simbol komunis, atas nama kebenaran ideologi Komunis dan untuk kepentingan Komunis.

Pemisahan tidakan biadab para teroris dengan Islam menjadi semakin sulit ketika masih ada rasa simpati dan pembelaan pada mereka atas nama agama. Misalnya dengan membuat asumsi dan justifikasi yang membenarkan tindakan mereka, baik secara samar-samar, terselubung maupun terang-terangan. Sikap seperti ini akan semakin mengokohkan pandangan ideologis para teroris. Mereka akan tetap merasa bahwa pandangan keagamaan yang dianutnya benar. Buktinya mereka masih mendapat simpati dan bahkan dianggap sebagai pahlawan, mujahid atau syahid ketika mereka gugur.

Pandangan seperti ini tidak saja akan menumbuhkan dan memperkuat ideologi intoleran yang menyebabkan seseorang menjadi mesin pembunuh sadis, lebih dari itu hal ini juga akan semakin memperkuat asumsi Islam sebagai agama kekerasan. Meski seribu kali bicara Islam tidak terkait dengan teroris, tetapi selagi para pelaku teror masih meneriakkan Allahu Akbar saat membantai, mengatas namakan Islam saat menyiksa dan masih ada yang menyebut mereka sebagai pahlawan dan pejuang Islam maka akan sulit menyangkal Islam sebagai agama kekerasan. Sebagaimana orang PKI yang mengelak dengan segala cara bahwa ideologi komunis adalah anti kekerasan, humanis dan senenisnya tapi ketika pengikutnya melakukan pembantaian sadis pada sesama manusia atas nama ideologi Komunis, maka tetap saja diasumsikan bahwa komunis adalah pembunuh dan pemberontak.

Jika Islam tidak ingin dikaitkan dengan tindakan teror dan pencipta mesin pembunuh maka ummat Islam harus berani membuang simpati pada kaum intoleran yang tega melakukan pembantaian sadis terhadap sesama manusia dengan meneriakkan Takbir dan mengutip ayat. Ummat Islam harus berani menyatakan bahwa mereka yang menyerang aparat negara dan pemerintah yang sah, mengancam kedaulatan negara adalah bughat yang layak diperangi, sekalupun mereka mengatas namakan Islam. Seperti yang dilakukan terhadap PKI dan pemberontak lainnya.

Tanpa ketegasan, radikalisme akan sulit diberantas. Dan mesin-mesin pembunuh sadis yg mengatasnamakan Tuhan dan kebenaran agama akan terus bermuncilam karena selaliu saja ada yg simpati dan menganngapnya sebagai pejuang, mujahid dan syahid. Saatnya bertindak tegas dan membuang rasa simpati pada mesin pembunuh sadis yg melakukan tindakan biadab dengan membajak agama.****