Membela Ulama atau Membela Kebodohan

1285

Tanpa perlu basa-basi lagi, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi lebih sekian menit saat memulai tulisan ini, maka saya putuskan untuk langsung membicarakan pada hal inti.

Jika aksi sebelas Februari nanti benar-benar terjadi, saya menduga perasaan mereka yang terlibat dalam aksi tersebut luar biasa bangga. Tentu bukan tanpa alasan. Mereka bangga karena telah pergi jauh meninggalkan sanak saudara ke Jakarta dengan niat suci-bersih membela ulama. Siapa ulama yang dimaksud? Pertama tentu adalah Rizieq Syihab. Kedua mungkin adalah Munarman. Dan ketiga bisa jadi adalah Novel Bamukmin. Lalu bagaimana dengan K.H. Ma’ruf Amin? Perlukah saya memberikan penjelasan? Sedang berita beberapa hari lalu sudah sama-sama kita baca dan dengar bahwa K.H. Ma’ruf Amin, atas nama Rois ‘Am PBNU yang Minggu lalu sempat mereka bela karena dirasa telah dihina oleh Basuki T Purnama menyampaikan dan menghimbau agar warga Nahdliyin tidak ikut aksi 112.

Saya harus ‘nyemplung’ lagi dengan permasalahan yang sama membosankannya dengan kasus kopi sianida tahun lalu karena tidak membuat masyarakat berpikir namun malah membuat mereka berlomba mengedapankan egonya atau lebih parahnya lagi menjunjung tinggi hawa nafsu amarahnya. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan membela ulama? Apakah aksi tersebut benar-benar lahir karena cinta terhadap ulama? Atau apakah aksi tersebut justru hadir karena ketidaktahuan kita?

Saudaraku seiman dan sekeyakinan, tanya pada Habib Luthfi bagaimana caranya membuktikan kalau kita mencintai Rasul? Atau jika bertanya kepada Habib Luthfi dirasa terlalu sulit karena alasan malu atau jauh, tanya pada orang tua kita masing-masing bagaimana caranya mencintai dan menyayangi anaknya sendiri? Atau jika masih dirasa sulit, tanya saja pada rumput yang bergoyang.

Saudaraku, apakah cinta akan membawamu pada kebencian? Sejauh yang saya ketahui tentang bagaimana orang-orang memperlakukan seseorang yang dicintainya adalah dengan mengikuti apa yang disampaikan dan dilakukannya. Bahkan hal remeh-temeh sekali pun macam cara memegang mic akan mereka ikuti kalau-kalau yang dicintainya adalah seorang penyanyi. Apakah mungkin kita (yang katanya) mencintai Rasul memiliki laku yang sangat bertolak belakang dengan kesantunan dan keramah-tamahan Rasul? Kau pernah mendengar kisah seorang nenek tua buta yang terus-menerus mengumpat Rasul tapi Rasul tetap bersikeras menyuapinya setiap malam? Apakah dari kisah tersebut ada seseorang yang berkata Rasul membunuh nenek tidak tahu diri itu? Atau mungkin kau pernah mendengar cerita lain tentang kisah tadi ternyata Rasul menyuapinya dengan hati terpaksa? Cukup sampai di sana.

Benar saudaraku, membela ulama adalah tindakan yang benar. Tidak sekali pun saya menulis kalimat kalau membela ulama adalah hal yang dilarang. Dan membela ulama artinya mencintai ulama. Mencintai ulama sama dengan mencintai Rasul. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud cinta? Cinta tidak cukup sampai di mulut. Tapi cinta adalah seluruh yang kita kerjakan. Baik, mungkin masyarakat kita sedang dalam fase kebingungan dalam menentukan dan memilih akan kemana dan siapa yang harus kita ikuti.

Rasul mewanti-wanti pada umatnya kalau kelak akan ada 71 golongan yang berbeda-beda dan hanya satu dari mereka yang selamat. Kita mungkin tidak perlu tahu golongan apa saja yang dimaksud Rasul itu. Sebab memikirkan kamu seorang saja membuatku sakit, apa lagi jika harus memikirkan 71 golongan tersebut? Tapi jauh lebih penting daripada itu, sesederhana mungkin akan saya tawarkan sebuah pilihan, mengutip Arman Dhani dalam buku Dari Twitwar Ke Twitwar, apakah kita akan mengikuti dan bergabung dengan Islam versi Ja’far Umar Thalib yang siap berjihad melawan pluralisme dan keberagaman atau mengikuti dan bergabung dengan Islam versi Rasul yang diajarkan Allah dalam petikan Surah Al-Hujurat ayat 9 berikut:

Wa in thaifataani min al-mukminina ‘qtataluu fa-ashlihu bainahum

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.”

Sampai di situ, Saudaraku. Dan waktu sudah sampai di Subuh. Saya doakan aksi 112 yang akan berlangsung besok, jika memang benar akan terjadi, berjalan dengan lancar dan damai. Ini kulakukan semata-mata karena aku mencintaimu. Tapi betapa sakitnya hati ini kalau tahu ternyata cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Duh!

* Penulis adalah Muhammad Syamsul atau biasa dipanggil Kacung adalah penggagas Komunitas Catatan Kaki yang bergelut sebagai perpustakaan jalanan. Kader Pergerakan Adab dan Humaniora Cabang Kabupaten Bandung dan tukang buku.