Membela Negara Tidak Membela Alqur’an?

920

Membela Negara Tidak Membela Alqur’an?

Oleh: Taufiq Rahman*

KEMUNDURAN peradaban mulai terjadi, saling mencemooh antar sesama mulai memeluk dinding-dinding tubuh kehidupan dan jantung hati manusia, bahkan kerap memutuskan tali persahabatan sesama muslim,ummat beragama dan persahabatan atas nama satu bangsas yang telah diwariskan indah dalam teks-teks dasar Negara dan pilar-pilar hidup berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia tercinta.

Muncul pandangan, ketika dinamika politik negeri ini sedang memanas, isu Sara ditebar dimana-mana menjadikan banyak orang terkontaminasi dan mulai mempertanyakan kembali hukumnya mencintai Negara dan menjaga keutuhannya. Bahkan lebih radikal membela Negara saat ini kerap disebut tidak membela Alqu’an yang mulia (Alkarim).

Alqur’an adalah hudan linnasi(petunjuk ummat manusia) yang diturunkan Allah SWT kepada Rosulullah Muhammad SAW demi kebahagiaan di dunia dan diakhirat kelak. Tentu dalam memahami pesan yang terkandung didalamnya memiki perbedaan interpretasi atau tafsir, diantaranya perbedaan dari 4 imam madzhab sebagai ulama yang disepakati oleh seluruh muslimin di dunia yang beraliran Ahlusunnah Waljamaah. Akan tetapi, seperti Imam Malik Bin Anas penulis kitab hadis Almuwatha’, Imam Abu Hanifah, Imam Assyafi’i penulis musnad Assyafi’i dan Imam Ahmad Bin Hambal penulis musnad Ahmad telah bersepakat bahwa tidak elok membunuh sesamanya dan menebar fitnah-fitnah yang tidak berdasar, hanya karena berbeda pandangan dan berbeda agama.

Untuk itu, wajib hukumnya bagi orang yang tidak mampu berijtihad menggali hukum dari Alqur’an untuk mengikuti imam madzhab, karena hal itu sudah menjadi kesepakatan para ulama terkemuka diseluruh dunia. Terhadap kewajiban tidak memisahkan agama dan Negara dan harus dibawa dan dipegang teguh secara beriringan, Muhammad Iqbal sang penyair dan pemikir terkemuka India mendeskripsikan, Islam yang notabene minoritas di tempat tinggalnya menjadikan pemeluk Hindu India melakukan tindakan diskriminatif, sehingga perjuangan atas kesetaraan dan kesamaan hak tidak memandang ras suku dan agama adalah mutlak perlu.

Untuk itulah, Iqbal memastikan tidak dibenarkan menjadikan Alqur’an hanya diyakini berisi peraturan perundang-undangan Islam, karena hal tersebut akan menjadikan kemunduran peradaban Islam itu sendiri. Apalagi, memahami Alqur’an secara literat dan tekstual saja tanpa melihat roh atau maqhasid al-syar’iahdari ayat-ayat tersebut. Akibatnya ummat Islam tidak bisa menjabarkan dengan baik pesan-pesan yang dikandung Alqur’an.

Sejatinya Alqur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif, termasuk tidak menjadikan manusia hanya memandang kebutuhan dan modal akhirat saja sementara disisi bersamaan, meninggalkan problem yang terjadi di masyarakatnya, untuk itulah aturan pancasila UUD dan aturan konstitusi Negara dibuat dengan tanpa mengabaikan substansi ajaran agama yang mengutamaan kesetaraan antar sesama manusia. WC Smith dalam buku pemikiran politik Islam mengutip pandangan Muhammad Iqbal bahwa jika terdapat kekalahan generasi dalam Islam dimana muslimnya statis tidak lebih baik atau layak memimpin Negara dibandingkan non muslim yang dinamis.

Menurut Iqbal Alqur’an sangat memandang perlu menyatkukan antara Agama dengan Negara. Karena, faktanya dalam sejarah Yahudi dan Kristen pada masa silam telah gagal menuntun ummat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Agama Yahudi diantaranya karena mereka terlalu mementingkan legalitas formal petaruran-peraturan Negara, adapun kegagalan Kristen masa lampau adalah karena terlalu mengutamakan aspek spiritual dan ritual saja, akan tetapi tidak berhasil memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan Negara, undang-undang dan organisasi kenegaraan.

Nah diatas kegagalan dua agama inilah Alqur’an hadir dan berdiri ditengah-tengah dan sama-sama mementingkan kehidupan dunia agar tetap aman dan teratur untuk kebaikan menyampaikan pesan-pesan agama. Keberadaan agama sejatinya adalah untuk mengembangkan aspek spititual atau Islam dengan materiil atau Negara. Akan tetapi harus dicatat Iqbal dalam bukunyathe reconstruction halaman 154 menyebutkan, Negara juga harus mampu menjabarkan prinsip-prinsip tauhid yang mengacu pada persamaan, kesetiakawanan dan kebebasan.

Bukan hanya Iqbal rasanya yang mengemukakan gagasan dalam buku-bukunya tentang pentingnya penyatuan antara agama dan Negara. Abu Hasan Almawardi dalam Kitab Alakhkam Alsulthaniyah halaman 3 menyatakan, pemerintahan dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian, gunanya adalah demi memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia.

Demikian juga Imam Alghozali menyatakan, agama dan pemerintahan merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan, akan tetapi bukan menjadikan pemerintahan hanya untuk satu agama saja seperti wajib mengusung Negara Islam. Karena, bagi Imam Alghozali agama memberi fondasi sementara khilafah(pemerintahan) menjadi penjaganya. Untuk itulah mengapa peletak pertama kemerdekaan republik Ini Hadrotusyaikh KH Hasyim Asy’ari dalam maqolahnya menyebutkan khubbul wathan minal iman (Cinta kepada tanah air adalah sebagian dari pada iman).

Untuk itu, Islam dengan sumber utamanya Alqur’an sebenarnya telah memberikan nilai-nilai dinamisme tersebut dalam bagi ummatnya, nilai-nilai ajaran tersebut harus mampu digali dan dikembangkan secara serius oleh ummat Islam untuk dijadikan pedoman dalam mengarahkan perubahan itu. Kuncinya adalah mengadakan pendekatan rasional terhadap Alqur’an dan mendalami semangat yang dikandungnya, bukan menjadikannya sebagai buku peraturan perundang-undangan yang kaku dan statis.

Menjadi Islam kamil (sempurna) yang menjadi pesan agama juga menjadi alasannya mengapa harus mengkaji segala yang ada disekitar kita, dinamika masyarakatnya dan memberikan solusi atas persoalan tersebut, bukan memperkeruh dengan memberikan hujatan atas dasar kebencian kepada sesama muslim dan antar umat beragama. Kemampuan mengelola potensi individu sehingga tercipta menjadi manusia yang sempurna adalah yang bermanfaat untuk manusia yang lain bukan sebaliknya, memberikan penghakiman pada seseorang secara sepihak dan mengabaikan aturan hukum yang berlaku di Negeri ini.

Karenanya dalam Hadis Rosulullah Muhammad SAW bersabda Khoirunnasi Anfa’uhul Linnasi (Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat untuk manusia yang lainnya. Manusia sempurna sejatinya ia yang mampu menguasai lingkungannya dan menyerap ajaran Allah SWT dalam firman-firmanNYa, hal inilah bagian dari realisasi hadis takhhallaqu Bi akhlaqi Allah (ciptakanlah di dalam dirimu akhlak “sifat-sifat” Allah SWT).

Selain itu untuk memperoleh tingkatan insan sempurna, manusia harus melalui tiga tahap pendidikan yaitu ketaatan kepada hukum (Agma dan Negara), pengendalian diri dan kekhalifahan ilahiyah.  Ketaatan kepada hukum bukan berarti karena konsekwensi hukum tersebut, akan tetapi lahir dari kesadaran, bahwa Islam tidak dilahirkan untuk memerangi atau mengkafirkan sesamanya dan menjustifikasi secara subyektif seseorang atas dasar kebencian. Ketaatan itulah yang kemudian akan mengarahkan manusia pada pengendalian diri sehingga tercipta kesempurnaan menjadi wakil Tuhan di dunia(khalifatullah Fi al-ardh).

Meskipun begitu, manusia sempurna tidak akan berarti apa-apa kalau keberadaannya hanya mementingkan diri sendiri, kemudian mengabaikan segala hal yang terjadi di masyarakat yang berpotensi mengancam ketertiban dan kemajuan. Ia haruslah bekerjasama dengan manusia-manusia yang lainnya karena manusia sempurna justeru dapat mewujudkan potensi dirinya secara baik dan maksimal hanya dalam sebuah masyarakat, bukan hanya bertarung dalam wacana tanpa aksi nyata.

Hal itulah yang juga digambarkan oleh Filsuf Brazil Paulo Freire tentang teori konsientisasi atau membangun kesadaran, dimana tidak hanya berhenti pada ruang refleksi saja, akan tetapi harus merembes pada aksi nyata yang akan selalu direfleksikan sebagai proses timbal balik yang terus menerus.

Selain itu prinsip memanusiakan manusia juga menjadi peninggalan penting Freire dengan konsep dialogik yang diusungnya. Karena sebaliknya tindakan anti dialogik yang sering digemborkan kelompok minoritas di Indonesia bertujuan untuk melakukan penjajahan terhadap budayanya dengan memaksakan pandangan-pandangan hidup dan menghambat kreativitas masyarakat. Prinsipnya menurut Freire, dialog harus pula bersandar pada cinta kasih yang mendalam terhadap dunia dan manusianya.

Maka sangat tidak pantas jika mencintai Negara disebut melawan agama apalagi Alquran, adanya pihak-pihak yang menebar fitnah tidak berdasar dipastikan akan menemukan sempitnya ruang gerak mereka. Hal itu bisa didasarkan pada keyakinan manusia muslim Indonesia akan meyakini qaidah fiqh terkenal bahwa manusia hanya bisa menghukumi orang lain hanya berdasarkan fakta lahir saja, karena hanya Allah SWT semata yang mengetahui hal-hal yang tak kasat mata.

Nabi Muhammad SAW menurut KH Husein Muhammad dalam bukunya Toleransi Islam Hidup Damai dalam Masyarakat Plural adalah pribadi mulia yang paling memahami realitas masyarakat yang plural dan beragam, memiliki keyakinan suku dan bangsa dan bahasa yang berbeda-beda, karena itu ketika ia tinggal di Madinah beliau mengajarkan prinsip-prinsip hidup bersama, prinsip-prinsip itulah yang kemudian dituangkan dalam piagam madinah yang berisi kontrak sosial antara anggota masyarakatnya yang plural itu. Sehingga mencintai Negara dan bangsa yang didalamnya terdapat ragam manusia dan kekayaan budayanya perlu dijaga kesatuan dan persatuannya, tanpa sedikitpun boleh menyakitinya apalagi melakukan tindakan yang diluar batas kewajaran seperti melakukan teror, mengumbar fitnah, memfitnah ulama yang membela Negara dan menuduh yang cinta Negara adalah mereka yang tidak mengakui Alqur’an dan Islam.

Sebagai Penutup Buku Dialog Tasawuf Kyai Said (KH Said Aqiel Sirodj), tentu sangat representatif dimana mantan Sekreatis PMII Rayon Krapyak Yogyakarta yang kini menjadi Ketua Umum PBNU itu menuliskan, bahwa perang-perang diseluruh penjuru dunia yang mengatasnamakan agama sejatinya adalah karena intrik politik kelompok tertentu menggunakan agama, sehingga kerap menjadikan Islam sebagai cara menarik simpati agar misinya tercapai, mengharamkan hormat kepada bendera merah putih mengafirkan seenaknya dengan dalil yang ditafsirkan sesuai kepentingannya, termasuk kini kebinekaan dan dasar negara Pancasila berusaha diciderai dengan mengusung khilafah Islamiah dan yang lainnya.

Upaya merobek-robek semboyan Bhineka Tunggal Ika tidak terlepas dari pemahaman yang belum tuntas tentang makna hidup dan kehidupan. Pemahaman nilai-nilai eksoteris dan ajaran formal agama yang hanya dan terlalu mengutamakan simbol-simbol dari pada esensi merupakan salah satu kendala bagi implementasi semboyan berbeda-beda tetapi tetap satu jua tersebut. Begitu juga munculnya politik yang sarat kepentingan pribadi dan golongan sebagai sarana pemuas hawa nafsu belaka. Sejarah mencatat, intrik-intrik tersebut cepat atau lambat menceburkan kedalam kehidupan yang serba tidak menentu. Karena itu adalah suatu keharusan untuk mengimplementasikan secara kongkrit Bhineka Tunggal Ika bagi kelanjutan dan kejayaan bangsa Indonesia. Wallahu A’lam.

 

*Penulis adalah Ketua Umum PC PMII Indramayu 2009-2010 dan Redaktur Politik dalam salah satu group media masa nasional