MEMBANGUN PESANTREN BERBASIS MULTIPLE INTELLEGENCE

1703

Oleh : Dr. Yusep Solihudien M.Ag.*

Pesantren merupakan model pendidikan khas yang paling tua di Indonesia. Eksistensi pesantren dalam medinamisir kehidupan berbangsa dan bernegara senantiasa memberikan kontribusi yang significan bagi lahir, tumbuh, dan berkembangnya bangsa. Pada era penjajahan, peranan pesantren sangat viltal dalam mengantarkan Negara Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Teriakan takbir para pejuan yang dipimpin para ulama untuk menghalau penjajah, seolah menjadi “motor” dan ruh bagi lahirnya kemerdekaan bangsa.

Pasca kemerdekaan, Pesantren terbelah menjadi bebereapa karakteristik yang berbeda satu sama lain. Namun pesantren tetap memperthankan kekhasan, yaitu ulama, tasawuf, hadits, ilmu kalam, dan bahas arab, pembinaan ibafdah dan amalan-amalan lainnya serta kepatuhan yang tulus dan tunduk terhadap fatwa ulama. Gelombang arus modernisasi yang begitu dahsyat dan deras telah menimbulkan beberapa respon kalangan pesantren terhadap dunia luar dirinya. Variasi implementasi karakteristik pesantren terbelah menjadi beberapa tipologi antara lain, pertama, Pesantren yang tetap mempertahankan ciri-ciri tradisionalnya secara murni. Kedua, Pesantren yang melakukan modernisasi-modernisasi dan sinergi program kepesantrenan dengan perkembangan modern. Ketiga, pesantren yang berubah mengikuti system persekolahan formal serta menghilangkan kekhasan pesantren secara total.

Nampaknya gelombang social budaya yang sangat cepat harus diikuti pula dengan adanya penambahan desain program kepesantrenan yang mampu menjawab tantangan zaman yang membekali para alumninya agar bias eksis dalam pertarungan hegemoni modernitas. Karena itu yang paling mendasar adalah bagaiman pesantren mempertahankan kekhasannya yang mendasar, yang menjadi “modal kekuatannya”. Beberapa hal yang harus dipertahankan itu antara lain Pertama, menyangkut leadership keulamaan kharakteristik, yang dengan ini diharapkan mampu meresapkan nilai-nilai moral kepada para santrinya. Kedua, kurikulum bidang kajian keislaman dalam bidang fiqih, tasawuf, kalam, hadits, tafsir, dan tata bahasa dan sastra Arab, adalah sesuatu khasanah pemikiran Islam yang murni serta harus terus menerus dipertahankan.

Ketiga, pola hubungan santri dan dalam penerapan disiplin ibadah mahdah yang terjalin di Asrama harus terus dipertahankan. Hal lain yang harus dipupuk terus adalah jiwa-jiwa ruh pesantren. DR. Armai Arif memberikan uraian tentang jiwa-jiwa Pesantren yang harus dipertahankan antara lain; (1) Jiwa keikhlasan, (2) Jiwa kesederhanaan tetapi agung, (3) Jiwa ukhuwah Islamiyah yang demokratis, (4) Jiwa kemandirian, (5) Jiwa bebas memilih jalan hidup. Desain dasar program kepesantrenan ini telah sejak lama membalut kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kekuatan lain yang dimiliki oleh pesantren adalah kemandirian yang sangat tinggi. Ia senantiasa hidup karena ada unsure yang saling menopang antara Pembina pesantren dan lingkungan masyarakat, sehingga tercipta ikatan yang kuat antara pesantren dan lingkungan social lingkungan komunitas masyarakat pesantren. Atas dasar kemandirian pesantren ini, Martin Van Bruinessen meyakini bahwa dalam siri pesantren terkandung potensi yang cukup kuat alam mewujudkan masyarakat sipil (civil society).

Dalam konteks ini pun Abdurrahman Wahid pun menganalisis kekuatan yang dimiliki Pesantren, bahwa dalam kondisi social politik menegara dan menghegemoni oleh wacana kemodernan pesantren dengan ciri-ciri dasariyahnya memiliki potensi yang kuat untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama kepada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibilitasnya pesantren dapat mengambil peran secara significan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting social budaya, bahkan politik dan ideology Negara sekalipun.

Oleh karena itu isu-isu eksternal yang paling dahsyat yang harus direspon oleh pesantren harus disikapi oleh Pesantren antara lain, perkembangan ekonomi dan kemodernan dunia teknologi informasi serta limbah negative globalisasi informasi. Isu ekonomi mengemuka, karena situasi hidup menuntut seseorang untuk mempunyai pendapatan yang baik untuk bekal kehidupannya. Alumni yang telah menamatkan belajar di Pesantren terhegemoni dan tertantang untuk mampu mandiri menghasilkan pendapatan bagi bekal kehidupannya. Isu perkembangan teknologi informasi mengemuka karena dunia IPTEK informasi bias menjadi alat cepat untuk mengakses informasi dan menjadi media dakwah. Hal lain bahwa limbah negative globalisasi menghasilkan penyakit mental kepada ummat antara lain, konsumenisme, hedonism, pragmatism, sekulerisme, dan materialisme. Kondisi ini bias menjadi alat untuk mentherapi penyakit mental ummat dalam menjalankan misi dakwah para alumni pesantren.

Konsekuensi dari keadaan tersebut menuntut pesantren untuk membekali santrinya dengan berbagai bekal untuk menghadapi tiga isu sentral eksternal tersebut. Salah satunya, pesantren harus mengembangkan program-program yang begitu mendasar dari potensi santrinya. Pesantren bias mengembangkan program untuk melesatkan variasi kecerdasan yang dimiliki para santrinya. Program ini berasal dari apa yang dicetuskan oleh Howard Gardner dalam bukunya Frames of Mind yang mengembangkan ada tujuh jenis kecerdasan. Tujuh jenis kecerdasan ini akan bermuara pada aneka ragamnya profesi dalam kehidupan.

Pertama, kecerdasan linguistic, pesantren bias mengembangkan kemampuan berpikir para santri dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang kompleks. Wujud profesi dari jenis kecerdasan ini yaitu, para pengarang buku, penyair, jurnalis, pembaca berita, presenter, pembicara, dan sebagainya.

Kedua, kecerdasan logika-matematika, kemampuan dalam menghitung, mengukur dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesisi. Pesantren bias mengasah kecerdasan logis matematis ini kepada para santri yang mempunyai potensi jenis kecerdasan seperti ini. Wujud profesi dengan jenis kecerdasan seperti ini yaitu, para ilmuwan, ahli matematika, akuntan, insinyur, pemprogram computer, dan lain-lain.

Keempat, kecerdasan kinestik – tubuh, pesantren dapat mengembangkan potesi-potensi jasmani para santri melalui program pembinaan olahraga. Wujud dari jenis kecerdasan ini adalah menjadi atlit olahraga. Kelima, kecerdasan music, pesantren dapat mengembangkan program-program yang dapat mengasah skil bermusik para santrinya. Wujud dari profesi jenis kecerdasan ini yaitu kedepan misalnya dalam diri composer, musisi, pembuat alat music, dan konduktor.

Keenam, kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Wujud dari jenis kecerdasan ini adalah sebagai guru, artis, dan politisi yang sukses. Ketujuh, kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan untuk membuat persefsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan seperti itu dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang, wujud dengan kecerdasan dengan jenis  ini yaitu ahli ilmu agama, ahli psikologi, dan ahli filsafat. Alangkah baik pula, para santri dikenalkan dengan teknologi computer untuk bekal-bekal dakwah di era globalisasi.

Tentu saja program pengembangan tujuh jenis kecerdasan ini sangat deitentukan oleh visi yang dimiliki para ulama sebagai pimpinan pesantren. Ditopang pula dengan managemen pesantren yang agak terbuka dan modern, serta yang paling penting adanya dukungan dana yang kuat dan mandiri sehingga pesantren bisa menjadi rumah yang mampu melesatkan berbagai aneka kecerdasan tersebut. Sehingga dari rahim pesantren muncul aneka jenis profesi para alumni, ada yang menjadi artis, penyair, politisi, ilmuwan, atlit professional, penulis, budayawan, musisi, dokter, dan lain-lain. Kita jangan terlalu berharap bahwa semua santri kelak akan menjadi ulama semuanya, namun kita harus real melihat bahwa setiap orang memiliki potensi-potensi kecerdasan yang berbeda satu sama lain.

Para alumni memiliki pondasi kecerdasan spiritual, ditopang kecerdasan emosional dan dihiasi wawasan keislaman serta dibalut dengan kecerdasan teknis prosfektif ekonomi, yang bias menjadi bekal bagi kehidupan alumni kelak. Semua alumni pesantren dalam aneka profesi merupakan aset kekuatan yang dapat dihimpun untuk memajukan pesantren. Insya Allah kehidupan para alumni menjadi professional di bidangnya, namun tetap menampilkan aura kepesantrenan yang kental seperti akhlak karimah dan ketajaman social yang tinggi, serta tetap melakukan misi dakwah rahmatan lil ‘alamiin. Semuanya berpulang kepada para pengelola pesantren, akankah berubah atau bertahan dalam ketradisionalannya, masing-masing mempunyai konsekuensi. Alangkah lebih baik dan bijak kalau pesantren segera melakuakn perubahan untuk menghadapi zaman yang terus berubah. Bukankah Nabi mengatakan, “Didiklah putra-putra kamu karena sesungguhnya ia akan dihidupkan di suatu zaman yang berbeda dengan kamu.” Nabi pun memiliki semangat untuk menghadapi tanda-tanda zaman, bagaimana dengan kita?

 

*Pengagum Ponpes dan Penais Kemenag Purwakarta