Memaknakan Kembali Inovasi Teknologi dan Kebudayaan dalam Membangun Peradaban Indonesia

135

Eko Fajar Setiawan, S.T. Anggota Koalisi Seni Indonesia / KMNU ITB

Bandung-Kita berada di era revolusi industri 4.0, dimana semua aspek mengandalkan teknologi. Teknologi sebagai modal / kapital, tentunya akan membawa sisi positif dan negatif, seperti mata pisau. Peran teknologi akan bernilai positif, apabila teknologi mampu mengangkat kebutuhan atau potensi lokal sedangkan teknologi yang bernilai negatif, akan hadir dengan pemaksaan dan gap dengan kondisi yang ada di suatu wilayah. Hal itu harus kita refleksikan agar bijak ketika akan menerapkan teknologi.

Di sisi lain, kita sebagai warga negara juga memiliki peran ganda sebagai insan pembangunan (smart citizen) dan insan madani (makhluk sosial). Yuval Noah Harari, dalam buku Homodeus (2015) menyatakan bahwa insan di dunia ini disatukan atas nama bangsa, agama dan uang (hubungan transaksi) sehingga manusia adalah makhluk paling sempurna di muka bumi, yang dapat saling mengkonsolidasikan satu-sama lain yang melahirkan kekuatan. Sebagai suatu bangsa yang beragama dan menjunjung prinsip demokrasi berekonomi, kita perlu memanfaatkan modal sosial ini dengan baik untuk kemajuan peradaban atau pembangunan. Dengan tantangan dan kondisi demikian, kita perlu belajar dua (2) yakni tentang kebudayaan dan kemajuan teknologi/ inovasi sebagai respon atas kondisi sekitar. Y. Noah Harari, selanjutnya dalam buku 21st Century (2016) mengungkap bahwa di masa yang akan datang, akan banyak sekali pekerjaan (profesi) hari ini yang akan lenyap dan tergantikan oleh beberapa profesi di masa yang akan datang. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa teknologi akan menentukan kemajuan dunia sehingga manusia bisa saja terancam eksistensinya. Penulis pun memandang, jika semua kegiatan manusia sudah bisa tergantikan oleh robot di masa yang akan datang, jika pekerjaan hitung-menghitung sudah tergantikan oleh mesin-mesin algoritma hitungan yang canggih (mesin AI/ artificial intellegence), lalu apa beda manusia dengan robot ? 

Ihwal eksistensi manusia dan teknologi, dalam pekerjaan sehari-hari memang dapat tergantikan. Namun apakah suatu teknologi atau mesin AI itu akan pasti memiliki rasa/ cinta/ empati terhadap makhluk rekayasa lainnya? Belum tentu! Dalam satu sesi diskusi di ajang Pekan Kebudayaan Nasional 2019, salah satu narasumber, Irendra Radjawali menyatakan bahwa keberadaan teknologi ciptaan manusia itu sendiri akan diragukan apakah, hasil dari tiap produk buatan mereka akan pasti memiliki kecocokan rasa di lidah antar orang yang berbeda benua? Apakah masing-masing robot pengganti manusia akan pasti memiliki rasa dan keunikan? Justru, menurutnya, robot tidak akan memiliki sensitivitas dalam berbagai hal, yang hubungannya antar manusia. Ia mati, dan tidak memiliki empati, wujud toleransi, nilai nilai cinta dan lain-lain menyangkut kecerdasan emosional (EQ). Paling bahaya, menurut Radjawali, adalah ketika robot begitu mengatur pola hidup kita hari ini seolah-olah kita tak ada beda dengan robot ciptaan mereka. Mesin algoritma itulah yang sengaja dipermainkan oleh para rekayasa, dalam memengaruhi hubungan antar dan intramanusia itu sendiri. Manusia jadi individualis dan tidak membutuhkan kelompok! 

Maka itu, sebagai makhluk sosial yang memiliki tanggung jawab besar terhadap ekosistem dan eksistensi manusia di muka bumi ini. Salah satu wujud paling besar kontribusi kita hari ini, adalah mempelajari dan merefleksikan diri kebudayaan nasional yang ada sejak nenek moyang hari ini dengan tanpa menyampingkan unsur “teknologi dan perubahan” dalam proses pembangunan atau peradaban manusia. Kedua hal itu, perlu kita ejawantahkan dalam berbagai urusan atau sektor pembangunan dengan tetap melibatkan kesadaran kolektif guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. 

Hari ini, kita telah memiliki Indeks Pemajuan kebudayaan nasional (IPK). IPK mencerminkan sudah seberapa banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah/ masyarakat daerah dalam memajukan kebudayaan , tidak hanya pada urusan banyaknya acara festival atau kebudayaan. Berbicara kebudayaan juga itu sangat luas, dapat bersifat tangible (benda) atau intangible (tak benda). Secara umum, dimensi IPK di antaranya dimensi ekonomi budaya, dimensi pendidikan, dimensi ketahanan sosial-budaya, dimensi warisan budaya, dimensi kebebasan berekspresi, dimensi budaya literasi dan dimensi kesetaraan gender. Dari data yang dikumpulkan oleh BPS, IPK nasional terbaik adalah propinsi DIY dan terendah adalah propinsi Papua. Sementara, Jawa Barat berada di urutan ke lima belas (15) dari tiga puluh empat propinsi se Indonesia.