Memaknai Tahun Baru Islam di Tengah Ancaman Perang Saudara

67

Memaknai Tahun Baru Islam di Tengah Ancaman Perang Saudara

Tahun Baru Islam 1439 H dirayakan di tengah kondisi kehidupan yang karut-marut di berbagai bidang kehidupan. Ternyata tahun baru Islam kemarin belum bisa dimaknai dengan baik. Kekisruhan, kezaliman, ujaran kebencian, hoaks, fitnah dll masih merejalela. Lebih-lebih tahun baru Islam sekarang dihadapkan dengan ketakutan-ketakutan sosial yang tidak berdasar, soal isu-isu murahan PKI, Cina dan lain sejenisnya.

Presiden Joko Widodo sedang dihadapkan tantangan berat, justru dari rakyatnya sendiri. Bersyukurlah kita punya Presiden yang begitu tangguh dan adaftif, selain rajin blusukan dan membangun. Lawatannya ke sejumlah Pesantren, lembaga-lembaga, daerah-daerah dan bahkan luar negeri menunjukkan bahwa Presiden kita begitu komitmen merajut kebersamaan. Komitmennya dalam membangun insfrastruktur di berbagai daerah patut dibangggakan.

Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1439 H/2017 M harus kita maknai. Ini momentum agar kita kembali tegak dan bangkit dari kejumudan; dari kegelapan menuju cahaya; dari kekisruhan menuju transformasi sosial. Upaya-upaya konstruktif bersama yang mengarah pada kemajuan bangsa. Termasuk penegasan tentang mengilhami Islam yang berpandangan jauh ke depan.

Kita harus waspada agar kita tidak diadu domba. Isu-isu murahan soal PKI, Cina dan semacamnya disengaja digoreng sedemikian rupa agar emosi dan amuk kemarahan kita terpancing dan lalu kita terlibat perang saudara. Kita, sesama warga negara, saling menaruh kebencian, saling menjatuhkan, fitnah memfitnah, menyebar berita bohong.

Bagaimana bisa, beberapa teman, tetangga naun jauh di sana, mereka sedang mengais rezeki di perantauan, mereka yang wawasan agamanya awam, tiba-tiba berubah menjadi ‘Islami’ atau mendadak Islam, terlibat aksi demi aksi berbasis kebencian SARA, ikut pengajian-pengajian ideologi radikal dan terprovokasi isu PKI, Cina dan semacamnya.

Kondisi semacam ini sungguh mengkhawatirkan. Apalagi masih banyak orang-orang dengan mental ‘Saracen’ yang bergentayangan di media sosial. Mereka para antek Sarecen, baik yang basis kelompok maupun individu, perkembangannya semakin signifikan. Mereka yang tugasnya memprovokasi publik media sosial dengan berita-berita bohong.

Tidak ada jalan lain, dalam momen tahun baru Islam ini, kita harus mengembalikan makna Islam pada hakikatnya. Islam sebagai agama rahmatan lil’alamiin, agama yang merahmati, bukan membenci, agama yang merangkul bukan memukul, agama yang menyayangi bukan memprovokasi, agama yang mempersatukan bukan yang mencerai-beraikan.

Kita juga harus waspada memilih ulama dan pengajian. Kita memang butuh belajar tentang wawasan keislaman tetapi jangan sampai kehilangan prinsip, agar kita tidak jatuh ke dalam lubang pemahaman keislaman yang radikal. Pekik takbir disalahgunakan, menebar kebencian kepada saudara kita non-Muslim, meneriakkkan ujaran-ujaran SARA dan lain sebagainya.

Bangsa kita harus bisa memetik pelajaran dari bangsa-bangsa lain di Timur-Tengah seperti Suriah, Palestina, Irak, Yaman dan lain sebagainya. Bangsa mereka hancur karena terprovokasi ujaran kebencian dan hoaks. Emosi dan kemarahan begitu mudah tersulut, masing-masing merasa paling benar, akhirnya yang menjadi korban adalah warga sipil. Sekali lagi musuh kita bukan PKI, Cina, Arab Saudi, Syiah, Ahmadiyah dll, musuh terbesar kita justru diri kita sendiri.

Wallaahu a’lam

Mamang M Haerudin (Aa)
GP Ansor Kabupaten Cirebon

Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 20 September 2017, 08.45 WIB