Memahami Fatwa dan Ijtihad Manhaji Kyai Muda Ansor (Rijalul Ansor)

963

إختلاف الأمة رحمة
“Perbedaan itu merupakan belas kasih Tuhan”

“Kenapa NU kok suka ikhtilaf? Jangankan antar Kyai NU atau antar pengurus dan lembaganya, antara Rois Syuriah dan ketua Tanfidziyah aja kadang beda pendapat? Kok terkesan seakan akan NU itu tidak bisa bersatu, ya?” Tanya salah satu kawan saya. Saya pun menjawab ..

“Justru berbeda itulah karakter NU yang menunjukkan ijtihad di NU itu hidup dan pemikiran NU itu dinamis. Sehingga berbeda itu dianggap biasa oleh para kyai NU karena berbeda dimaknai sebagai nikmat dan Rahmat, bukan sebagai adzab seperti anggapan org Islam sebelah. Makanya kyai kyai NU lebih suka ‘Bahsul Masail’ yang hasilnya seringkali ikhtilaf”.

“Lha hikmahnya apa?”

“Lha kan dengan adanya dua atau lebih pendapat sampean kan tinggal pilih mana yang menurut sampean benar, baik dan maslahah bagi umat, karena berbeda urusan furu’iyah itu lumrah dan dibenarkan Islam”

“Tapi kan umat jadi bingung, Gus?!”

“Apa sampean gak mbayangin kalo di Islam hanya ada madhab Syafi’i? Betapa ribet ketika kita towaf di Masjidil haram harus bolak balik wudlu sebab laki perempuan campur jadi satu? Untung ada madhab Maliki yg memberi solusi bahwa menyentuh bukan mahram tidak membatalkan wudhu”

“Apa sampean juga pernah bayangin jika kyai kyai NU satu suara menyatakan bahwa bunga bank haram? Betapa seluruh rakyat Indonesia jadi berdosa semua karena uang yang beredar riba semua? Kalo dosa semua, terus sorga apa mau dimonopoli oleh para ‘bakul sorga’ itu?”

Hanya orang gak faham Islam saja yang menolak eksistensi Islam sebagai agama yang “sholihun li kulli makan wa zaman”? Agama yang relevan dengan berbagai ruang dan waktu. Karena Islam memang didesain Tuhan untuk menjadi jawaban bagi berbagai persoalan manusia, dimanapun dan kapanpun mereka berada.

Karena itulah Islam menggalakkan ijtihad kepada para ulama yang mampu melakukan agar Islam dapat dihadirkan sebagai agama yang dinamis dan solutif bagi berbagai persoalan keumatan, kapanpun dan dimanapun.

Logika mudahnya; bagaimana mungkin ayat al-Quran yg berjumlah 6600 ayat lebih dan hadis Rasulullah dalam ‘kutub as-sittah’ yang terbatas itu akan mampu menembus dimensi ruang sosial manusia yang terus berkembang dan tanpa batas?

Al-Quran pun jika hanya difahami pada tekstualitasnya saja seperti diyakini Khalid Basalamah, Firanda Andirja, Alfian Tanjung, Syekh A.Sukino, Bahtiar Nasir dan kaum Wahabi lainnya jelas justru hanya akan mengakibatkan Islam kehilangan dinamika dan eksistensinya sebagai solusi bagi umat manusia.

Islam seakan hanya ibarat mobil Holden tua nan antik yang tak siap ditandingkan dengan mobil Lamborgini-Ferrari masa kini, meski mungkin sama-sama mahal harganya.

Islam nusantara (aswaja NU) adalah salah satunya produk dinamika Islam yang dihadirkan oleh para ulama sejak wali songo, KH. Hasyim Asyari, KH. Wahab Hasbullah, hingga KH. Sahal Mahfudz, Gus Dur, Mbah Maimun Zubair dan Gus Mus sekarang ini.

Itu sebabnya meski yang menjadi rujukan beliau-beliau tetap al-Quran, as-Sunnah, dan turots kitab kuning ulama salaf sehingga beliau-beliau selalu menggalakkan bahsul masail untuk mencari landasan fiqih qoulinya, namun para ulama nusantara itu tidak melulu bersikap kaku dan doktriner dlm menyikapi hasilnya.

Karena beliau-beliau meyakini bahwa dalam rangka meraih “Islam yang benar, baik, dan maslahah” memerlukan ikhtiar logika tinggi dan ijtihad tiada henti. Agar hasil ijtihad itu benar menurut syariat, baik dilaksanakan oleh umat dan maslahat untuk diterapkan kapanpun di setiap saat.

Kenapa kyai NU tidak suka jenggotan dan berpakaian jubah kenabian sebagai simbol Islam seperti dicontohkan Nabi? Kenapa pula beliau-beliau membolehkan bu nyainya memakai kerudung kebaya yang menurut ujaran ‘kitab kuning’, jangankan wajah, suara saja sudah dianggap aurot? Namun justru beliau-beliau menggalakkan Muslimat dan Fatayat menjadi wadah kaum perempuan Aswaja dalam meraih kemaslahatan dunia dan kebaikan di akhirat.

Apa pula yang dijadikan rujukan Kyai Hasyim mengeluarkan resolusi jihad 22 Okt 1945 padahal negeri ini bukan Negara Islam? NKRI pun dianggap harga mati, sehingga jangankan PKI, system khilafah pun diijtihadi lebih baik enyah dari bumi pertiwi, karena Pancasila dianggap sebagai prinsip Negara yang paling maslahat dan paling sakti.

Kyai Wahab Hasbullah pun membuat kaidah fiqih yang tidak mungkin kita temukan teksnya di dalam Quran, hadis maupun kitab kuning; “hubbul wathan minal iman”, bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman?

Inilah fiqih manhaji Islam Nusantara yang ditampilkan oleh para ulama di Nusantara sejak wali songo hingga saat ini. Karena Islam (nusantara) itu dinamis dan solutif, tidak kaku dan rigid asalkan umat Islam mampu cerdas menangkap maksud ijtihad para kyai yang alim alim itu, serta bijak dalam menyikapi.

Justru sikap rigid dalam melihat doktrin agama seperti ditampakkan oleh para ulama audisi media massa dan medsos itu hanya akan melahirkan keluhan dan amarah umat tanpa mampu memberi solusi yang benar dan tepat akibat mandegnya pemikiran.

Dalam fiqih bersosial pun, lihatlah Apakah ulama NU pernah menganggab orang non Muslim di Indonesia sebagai kafir dzimmi, kafir mustaman dll. seperti ujaran kitab kuning mereka? Tidak! Justru beliau-beliau berijtihad dan menfatwakan bahwa orang non Muslim di Indonesia adalah saudara sebangsa dan setanah air yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga Negara. Sehingga mereka pun memiliki hak sosial dan hak politik yang sama demi memajukan Negara.

Itu sebabnya beliau-beliau mengajak kita hidup rukun dan damai dengan siapa saja mereka meski beda agama, ras dan bangsa. Urusan pilihan, serahkan saja pada hak konstitusi masing masing pemilih tanpa intervensi dan politisasi agama.

Apakah kyai-kyai NU juga pernah menginstruksikan kita untuk menistakan siapa saja yang dianggap telah menistakan agama? Tidak! Justru kyai NU mengajak kita untuk memuliakan siapapun manusia dan menjauhi sikap nista dan hina, lebih-lebih kepada mereka yang telah dipilih Allah untuk menjadi penguasa seraya berdoa dan tawakkal dengan mengucap:

قل اللهم مالك الملك تؤتي الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء وتعز من تشاء وتذل من تشاء بيدك الخير إنك على كل شيء قدير (آل عمران؛ 26)

“Katakanlah (Muhammad) Ya Allah Sang Penguasa dari penguasa, engkaulah yang memberikan kekuasaan kepada orang yang engkau kehendaki, dan engkau pula yang mengambil kekuasaan dari orang yang engkau hadapi. Engkaulah yang berhak memuliakan orang yang engkau kehendaki dan engkau pula yang berhak untuk menistakan orang yang engkau kehendaki, (bukan kami). Di kehendakMu lah segala kebaikan, karena sesungguhnya Engkau Maha Berkuasa terhadap segala sesuatu”

“Yang menghina agamamu tidak bisa merusak agamamu. Tapi yang bisa merusak agamamu justru perilakumu yang bertentangan dengan ajaran agamamu” Kata Gus Mus

Maka menilik prinsip fiqih bersosial yang digariskan Imam as-Syatibi dalam manhaj Maqoshidus Syari’ah, moral Islam dalam bidang sosial itu harus diorientasikan pada tiga hal;

  1. Iqomatul ‘adalah (menegakkan keadilan)
    2. Tahqiqul mashlalah (merealisasikan kemaslahatan)
    3. Tahdzibul fard (menjunjung hak hak kemanusiaan)

Maka ketika opini kebenaran tentang Islam telah dimonopoli oleh kelompok Islam tertentu, sudah menjadi kewajiban ulama muda Ansor (Rijalul Ansor) untuk berijtihad demi membela tegaknya keadilan sosial bagi setiap warga negara Indonesia, menjaga keamanan dan stabilitas NKRI sebagai kemaslahatan utama, serta berikhtiar dijunjungnya hak-hak kemanusiaan tiap warga negara apapun ras, suku dan agamanya. Karena pembelaan itu merupakan bagian utama dari pembelaan terhadap Islam sbg agama.

Ketika Islam telah digunakan sebagai alat politik dan disandera oleh kelompok tertentu untuk meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, sudah menjadi kewajiban Rijalul Ansor untuk berikhtiar demi mengembalikan Islam pd koridornya sebagai pengontrol moral umat dan moral bangsa.

Ketika mereka berkoar-koar membela Islam, namun tidak pernah berfikir jauh terhadap dampak yang ditimbulkan akibat tindakan itu terhadap stabilitas NKRI dan akhirnya melanggar hak konstitusional warga negara, maka sudah menjadi kewajiban Ansor berjihad untuk membela.

Dan ketika hak hak sosial dan hak agama sebagian umat Islam pun terkorbankan akibat agitasi agama yang dimonopoli oleh kelompok tertentu maka sudah kewajiban Ansor untuk membelanya demi untuk mengembalikan citra Islam sebagai agama yang melindungi siapapun mereka yang didhalimi oleh kepentingan dan disandera oleh doktrin sempit beragama.

Karena kedhaliman, apapun bentuknya tetaplah keharaman yang tidak bisa ditolerir oleh Tuhan, meski kedhaliman itu dengan mengatasnamakan Islam dan Tuhan.

Pada sisi lain Rijalul Ansor juga hanya ingin menampakkan bahwa Islam itu dinamis dan memberi solusi pada umat manusia, karena ijtihad merupakan hal yang sah dan digalakkan oleh agama, sesuai dengan ajaran al-Quran, as-Sunnah dan juga pesan-pesan moral ulama salaf dlm turots kitab kuningnya.

Salam perdamaian

  1. Abu Yazid AM, MA
    Wakil sekretaris PP. Rijalul Ansor