Media Sosial dan Kelompok Caci Maki

183

Oleh : TB. Seda Akhmad Ziyad, S.Pd.I
Entah sampai kapan caci-maki, cemooh, hinaan, dan ujaran kebencian di Medsos dalam berbagai bentuk bisa berhenti. Tak jarang nama-nama hewan di Kebon Binatang pun menghiasi dinding Facebook.

Bahkan, binatang yang tak berdosa pun sering disebut dalam berbagai konotasi “kebinatangan” kita sendiri. Cebong dan kampret menjadi nama alias dan identitas politik warga Indonesia.

Sungguh ini telah mencoreng wajah peradaban bangsa kita. Adab menjadi barang langka. Akhlak baik mahal harganya. Ikhtiar politik berubah menjadi ajang pembantaian dan pembunuhan karakter.

Cita-cita politik yang diperjuangkan seolah tiada harganya. Apa yang dilakukan lawan politik semua dianggap salah. Kritik destruktif justru mengkebiri makna demokrasi.

Kita seolah hidup di Republik Caci-Maki. Demokrasi harus dibayar mahal dengan kebuasan syahwat politik yang buta.

Mari sama-sama bercermin. Saatnya kita memerdekakan diri dari politik absurd caci-maki. Mari berkorban untuk makna demokrasi yang lebih baik.

Jadikan Media Sosial sebagai ajang silaturahmi, wahana berbagi kasih, simpati dan kepedulian.

Di negeri ini, sudah berabad-abad ikan kecil-kecil (teri) dibantai dan digoreng, tapi kita bisa diam menikmatinya. Di Republik ini, tissue kloset bertebaran di atas meja warung makan, kita juga tetap diam memakluminya.

Kita harus belajar dengan baik bahwa mie goreng tak perlu digoreng, tapi cukup direbus. Biarkan warna-warni kehidupan ini mencipta pelangi Indonesia.

Kita tak perlu mempersoalkan ikan teri itu beragama apa dan berjenis kelamin apa. Pastikan saja dengan halal untuk mendapatkannya.

Jangan pernah memaksakan caramu memasak mie goreng, tapi pastikan saja hidangan yang disuguhkan adalah halal, lezat dan disukai.

Kadang, kita perlu menikmati orkestra kehidupan dengan citra rasa masing-masing. Biarlah kebhinekaan mewarnai Nusantara, saling menghormati, saling menghargai.