Madrasah Diniyah Lembaga Kursus? Respon Kritis

81
Oleh Ruchman Basori
Satu hari setelah Presiden Joko Widodo membatalkan kebijakan Lima Hari Sekolah (LHS) atau Full Day School (FDS) yang melahirkan polemik dan kegelisahan dikalangan masyarakat, publik kembali dibikin kaget dengan pernyataan Yunahar Ilyas, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tabligh, yang menilai bahwa Madrasah Dinniyah yang dimulai pada sore hari berstatus layaknya kursus. Pernyataannya tersebut dimuat di salah satu media online nasional.
Media tersebut mengungkap: Sementara itu, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tabligh, Yunahar Ilyas, menilai madrasah diniyah yang dimulai pada sore hari berstatus layaknya kursus. Artinya pemerintah tidak boleh mengesampingkan perombakan sistem pendidikan hanya karena madrasah tersebut.
“Sebenarnya statusnya, mohon maaf, madrasah diniyah sore itu hanya kursus saja. Nanti kursus bahasa Inggris, matematika, dan lainnya yang mulai jam 14.00 juga menolak juga gara-gara Mendikbud. Itu namanya enggak fair, enggak ilmiah itu penolakannya,” kata Yunahar Ilyas.
Agak sulit dipahami pernyataan itu muncul dari seorang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pengurus MUI pusat, dan juga seorang guru besar. Bagi komunitas pendidikan keagamaan Islam khususnya Madrasah Diniyah itu sangat melukai perasaan kiai, ustadz dan santri yang selama ini eksis mengembangkan Madin sebagai lembaga pendidikan Islam strategis pembangun karakter dan akhlak, bukan lembaga kursus.
Keberadaan Madrasah Diniyah secara historis telah muncul sejak sebelum Indonesia merdeka. Tumbuh berkembang di kampung-kampung, rumah kiai, ustadz, pondok pesantren lalu melembaga dalam sebuah madrasah. Para sejarahwan telah mengakuinya melalui buku-buku sejarah pendidikan Islam. Penulis heran, seorang tokoh ormas terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama (NU) tidak memahami sejarah dengan baik.
Positioning Madrasah Diniyah sepanjang sejarah bangsa ini, yang telah menghubungkan antara tradisi keulamaan dan tradisi lokal Nusantara. Ideologi para santri terbangun dengan baik hasil dialektika antara Islam di satu sisi dan kepentingan bangsa di sisi lainnya. Bagi santri Madrasah Diniyah berjuang melawan penjajah mempertahankan NKRI adalah bagaian dari mengamalkan Islam. Apakah lembaga yang mendidik dan memompa semangat ber-Islam dan berkebangsaan hanya akan kita sebut layaknya lembaga kursus? Lagi-lagi hanya pas dialamatkan untuk mereka yang tidak memahami pendidikan dengan baik.
Posisi Madrasah Diniyah sebagai lembaga pendidikan, bukan lembaga kursus juga telah diatur dalam seperangkat regulasi di negeri ini. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pada Bagian Kesembilan mengatur tentang Pendidikan Keagamaan. Pasal 30 ayat (2) berbunyi Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Ayat (3). Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Dan ayat (4) menyebutkan Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Turunan dari UU Sisitem Pendidikan Nasional No. 20/2003 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyonotelah secara detail mengatur pendidikan keagamaan Islam yaitu Madrasah Diniyah. Sejak saat itu muncul istilah Pendidikan Diniyah Formal (PDF) yang saat ini ada di 13 Pondok Pesantren dan Pendidikan Diniyah Nonformal yaitu Madrasah Diniyah Takmiliyah.
Posisi Madrasah Diniyah tambah kuat lagi setelah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidkan Keagamaan Islam. Eksistensi MDT dengan demikian semakin mendapat tempat sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam yang sekaligus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Ini argumen yang sangat kuat bahwa Madrasah Diniyah adalah bukan lembaga kursus layaknya kursus Bahasa Inggris, Matematika, Komputer dan lain-lain.
Penolakan yang dilakukan oleh kalangan pendidikan keagamaan Islam bukan tanpa dasar, bukan asal beda, dan bukan juga didasari akan kebencian. Penolakan itu berangkat dari kenyataan historis, ideologis dan sekaligus politik kebangsaan bahwa entititas MDT harus dilindungi karena telah secara nyata berkontribusi besar pada pembinaan akhlakul karimah, moral dan karakter anak bangsa.
Kenapa MDT bukan lembaga kursus dapat dilihat pada kelembagaan yang mapan, terstruktur, berjenjang dan berdimensi jangka panjang. Data EMIS Kementerian Agama 2016 menyebutkan jumlah Madrasah Diniyah Takmiliyah se-Indonesia 76.566 buah, memiliki 6.000.062 santri dan 443.842 ustadz. Kalau MDT lembaga kursus apakah akan mempunyai kelembagaan yang begitu massif berada di kampung dan desa diseluruh Indonesia dan mempunyai kurikulum yang mapan?
Mendidik bukan melatih
Penulis bergembira Presiden Jokowi akan bertekad memperkuat Madrasah Diniyah guna mengembangkan pendidikan karakter, daripada sekadar FDS atau lima hari sekolah (LHS). Karena substansi MDT adalah mendidik agar anak bangsa mempunyai keimanan dan ketaqwaan kuat, tumbuh sebagai pribadi muslim yang taat dan komitmen pada nilai-nilai kebangsaan.
Sangat tidak bisa dipahami argumen yang mengatakan bahwa Madin adalah lembaga kursus. Karena lembaga kursus adalah transfer pengetahuan saja dan melatih peserta didik agar mempunyai ketrampilan pada bidang yang dikursuskan. Kursus Bahasa Inggris adalah transfer sejumlah pengetahuan kosakata dan bagaimana melatih agar peserta kursus mahir berbicara dengan Bahasa Inggris. Namun kalau lembaga pendidikan semacam Madin mempunyai tugas maha berat yaitu mendidik tidak sekadar belajar apalagi hanya berlatih. Ada transfer of knowledge (pengetahuan dan pengalaman) juga transfer of value (pemindahan nilai-nilai).
Karenanya seorang Pakar Pendidikan, Ahmad D. Marimba mendefinisikan pendidikan adalah bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh pendidik kepada peserta didik dengan tujuan membentuk kepribadian yang utama secara jasmani dan rohani. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 memberikan pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi di dalam diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Jangan sampai hanya karena Yunahar Ilyas membela kebijakan LHS Mendikbud lalu mengabaikan prinsip-prinsip substantif pendidikan nasional. Kita harus akui bahwa Mendikbud sedang gelisah sebagaimana komponen bangsa lain akan melemahnya karakter bangsa. Penolakan LHS sekali lagi bukan persoalan konflik antara NU dan Muhammdiyah tetapi merupakan persoalan bangsa yang tidak ingin akhlaknya tergerus, kebangsaannya hilang dan partisipasi anak bangsa dalam pendidikan hancur.
Sekali lagi dilihat dari perspektif sejarah bangsa, regulasi pendidikan, kelembagaan, orientasi pendidikan dan falsafah pendidikan, Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan bukan lembaga kursus. Madin telah tumbuh dan berkembang secara mandiri dari oleh dan untuk masyarakat tanpa membebani negara, karenanya menempatkan Madin ditempat yang mulia adalah keniscayaan dan bukan kesalahan.***
Penulis adalah Ketua Bidang Organisasi Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah dan Ketua Bidang Kaderisasi Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor.
Sumber : www.nu.or.id/post/read/79083/madrasah-diniyah-lembaga-kursus-respon-kritis