LDNU, Psikologi Dakwah dan Pesan Kesalingan

88

LDNU, Psikologi Dakwah dan Pesan Kesalingan

 

Hari ini, Senin 23 Januari 2018, saya kembali diundang oleh salah satu majelis taklim ibu-ibu untuk menyampaikan mauizah hasanah. Terkadang di Desa, lain waktu di daerah kota. Memang, pengajian ibu-ibu dalam wadah majelis taklim sedang menjadi kecenderungan, bak jamur di musim hujan. Di satu sisi, secara kuantitas bisa membanggakan, bahwa kesadaran masyarakat untuk menimba ilmu mengalami peningkatan pesat.

Namun di sisi lain, peningkatan kuantitas masyarakat yang berkumpul dalam wadah majelis taklim akan menjadi bahaya tersendiri apabila tidak diimbangi dengan kualitas dai-dai yang mumpuni. Bukan barang aneh, jika dewasa ini, para juru dakwah menjadi–semacam–profesi yang menggiurkan. Puncaknya ketika dai-dai tersebut tidak diimbangi dengan kualitas dan perspektif yang adil. Menjamurlah dai-dai Wahabi yang radikal, merusak tradisi keislaman ala Indonesia.

Para dai-dai Wahabi radikal memang militan. Mereka jemput bola, menawarkan diri menjadi juru dakwah, bahkan sampai rela tidak ‘dibayar.’ Sementara kita, kelompok Muslim moderat acuh tak acuh, sibuk dalam mengurusi aktivitas pribadi dan terjebak hedonisme. Akibatnya kita baru menyesal, apabila dai-dai Wahabi radikal mencuri kantong-kantong dakwah: televisi nasional, kantor-kantor pemerintahan, bank, hotel, lapas, rumah sakit, masjid, majelis taklim dan tempat lainnya.

Salah satu keunggulan dai-dai Wahabi radikal adalah kemampuan mereka meracik bahasa-bahasa dakwah yang membumi, mudah dipahami dan membolak-balikkan jiwa para jemaah. Mereka berhasil menyentuh hal mendasar, jantung dakwah yakni psikologi dakwah, menyentuk perasaan dan jiwa para jemaah. Perihal ini yang sering kali alpa dari para dai-dai moderat.

Sayang sekali para jemaah dalam majelis taklim yang skalanya kecil maupun besar sampai disusupi para dai Wahabi radikal. Harapan saya tertuju pada Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama. LDNU perlu menggenjot kinerja dakwahnya. Termasuk progresivitas dakwah ala generasi mellenial, dakwah zaman now. Selain berdakwah melalui ceramah, juga melalui media sosial (Facebook, Youtube, dll), televisi lokal dan nasional, melalui tulisan dan lain sebagainya.

Mengingat jemaahnya adalah perempuan, maka pesan-pesan kesalingan, kesetaraan dan keadilan dalam Islam harus diutamakan. Bahwa perempuan dan laki-laki, istri dan suami sama-sama dimuliakan oleh Islam. Istri dan suami harus saling berbagi peran. Memberikan perspektif kepada para jemaah untuk konteks perdesaan maupun perkotaan. Bahkan bisa jadi ada beberapa hal yang membedakan bagaimana cara kita memberikan ceramah di Desa dan kota. Tingkat pendidikan, budaya, dan latar belakang sosial lainnya.

Tetapi yang pasti pesan-pesan kesalingan dalam Islam sangat dibutuhkan para jemaah yang notabene para ibu. Mereka yang menjadi ibu rumah tangga, menjadi perempuan karir dan aktivitas seabrek lainnya, sangat perlu pencerahan dalam menghadapi masalah demi masalah. Saya sendiri senang bisa silaturahim, bertatap muka, berbagi pengalaman, begitupun ilmu yang pernah didapat. Dari mereka saya belajar mendengar dan menyimak. Ketika di antara mereka mengeluh, menangis dan mengungkapkan kegelisahan hatinya.

Saya juga pada awalnya cukup kaget, ketika para ibu-ibu masih bisa tertawa dengan asyik, karena diselingi candaan, sampai menangis karena mereka merasa apa yang disimak sesuai dengan apa yang dialami. Lebih dari itu, pengajian semacam ini digunakan untuk membantu orang yang membutuhkan, anak yang putus sekolah, memperkuat jalinan rumah tangga, bekal mendidik anak dan lain sebagainya.

Wallaahu a’lam

Mamang M Haerudin (Aa)
GP Ansor Kabupaten Cirebon

KUA Kecamatan Karangwareng, 23 Januari 2018, 11.00 WIB