Lalu Bagaimana Dengan Ide Khilafah?

391


Oleh : Ulil Abshar Abdalla

Setelah menulis catatan kemaren tentang Tiga Sikap Atas Kitab Suci, banyak kalangan yang senang karena saya telah bergerak ke “tengah”. Saya senang karena banyak yang senang, karena menyenangkan orang jelas membawa pahala.

Lalu ada yang bertanya kepada saya, Apakah dengan demikian Mas Ulil setuju dengan konsep khilafah yang dibawa HTI? Apakah Mas Ulil akan mendukung negara khilafah?

Sikap saya soal ide khilafah tidak berubah: Saya menolak institusi khilafah sebagaimana pernah ada pada masa lampau untuk dihadirkan kembali di masa sekarang secara harafiah. Zaman sudah berubah, dan kita, umat Islam, harus mengembangkan sistem politik yang sesuai dengan konteks zaman ini, tanpa meninggalkan nilai-nilai universal Islam.

Dengan segala kekurangannya, sistem negara nasional (nation state) dan demokrasi bisa dipakai sebagai “wasilah” atau alat untuk memajukan kepentingan umat Islam serta kepentingan seluruh warga negara.

Meskipun demikian, kita tak bisa memandang demokrasi sebagai sistem yang “taken for granted”. Demokrasi bukanlah sistem yang telah selesai, tetapi “unfinished project” yang harus terus-menerus mengalami penyempurnaan. Di sinilah wawasan etis Islam bisa memberikan masukan untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem yang mendekati wawasan moral-etis Islam.

Umat Islam terikat kontrak kebangsaan untuk menjaga NKRI sebagai wadah politik untuk menampung aspirasi semua warga negara. Dalam kerangka ajaran Islam, negara nasional Indonesia bukanlah negara yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Bentuk negara khilafah adalah hasil dari fase sejarah Islam di masa lampau. Ia, sebagai lembaga dan aransemen politik, sangat terikat dengan zamannya. Belum tentu, ketika zaman berlalu, aransemen politik ini masih bisa diterapkan. Tetapi semangat dan wawasan moral etis yang melandasi negara khilafah, terutama kekhilafahan di era al-khulafa’ al-rashidun, harus terus kita lanjutkan.

Semangat negara “al-khilafah al-rashidah” yang paling menonjol adalah tegaknya keadilan, kesalehan, kehidupan yang bermoral, kuatnya etos ketakwaan (God-centredness), solidaritas sosial yang melintasi batas-batas sempit kesukuan. Semangat ini masih bisa kita teruskan hingga sekarang dalam wadah negara demokrasi modern.

Dengan kata lain, pandangan saya soal khilafah tidak bergeser. Saya menolak ide ini. Jika pun ada yang bisa kita terima dari gagasan itu, paling jauh adalah spiritnya saja (ruh al-khilafah wa qimatuha al-kulliyyah). Spirit konsep “khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah” (selain hal-hal yang telah saya sebut di atas) adalah negara yang menegakkan keadilan dan melindungi semua warga negara tanpa memandang afiliasi keagamaan, kesukuan, warna kulit, dsb.

Spirit semacam ini tentu kita bisa diterima. Tetapi spirit khilafah bisa diwujudkan melalui negara demokrasi modern yang berlandaskan pada asas-asas keadilan, kebebasan, dan perlindungan atas minoritas.

Sekian.