Komodifikasi Agama & Realitas Politik Indonesia; Refleksi Pemilu 2019 : Muhamad Ridwan Effendi

241

Oleh : Muhamad Ridwan Effendi

Pada rentang awal tahun 2018 sampai pertengahan 2019 kemarin, Indonesia tengah disibukan dengan hajat demokrasi 5 (lima) tahunan, yakni pemilihan umum mulai dari pemilu kepala daerah (baca; Pigub dan Pilbup/ Pilwalkot) yang berlangsung di beberapa daerah di Indonesia sampai pada pemilu presiden-wakil presiden yang cukup fenomenal dengan dikotomi masyarakat yang berjuluk “cebong dan kampret” dan banyak menyedot perhatian masyarakat tak terkecuali masyarakat Internasional. Salah satu lokus dan fokus yang cukup menarik perhatian publik tersebut dalah wacana agama yang dijadikan sebagai komoditas politik yang seksi dan menarik untuk dijadikan “alat baku hantam” dalam perhelatan demokrasi tersebut.

Pasalnya, agama yang bukan hanya sekedar memiliki nilai sakralitas, dan dibawanya ke panggung politik praktis hanya demi kepentingan pragmatis kelompok tertentu yang semata-mata untuk menggiring opini publik dengan maksud mencari simpatik dan suara hati rakyat. Jelas hal semacam ini bukanlah merupakan isu yang baru dalam realitas perjalanan politik di Indonesia, akan tetapi karena agama memiliki nilai esoteris yang menjadi daya magnet tersendiri, maka senantiasa agama mampu di framing sehingga mengundang gejala-gejala baru yang bersinggungan dengannya.

Betapapun agama dan politik memiliki wilayah kerja masing-masing, tetapi keduanya hidup dalam sosio-kultur masyarakat yang menjadikan keduanya sebagai bagian yang sulit untuk dipisahkan. Dalam pengalaman sejarah bangsa Indonesia, sekali-kali pernah kita jumpai adanya ketidakharmonisan antara berbagai kegiatan budaya manusiawi yang terjadi dalam sosio-kultur masyarakatnya. Bahkan sebaliknya, sering kali terjadi pertarungan terus menerus antara berbagai kekuatan yang saling bertentangan. Misalnya pemikiran ilmiah bertentangan dan mendepak pemikiran mistis, begitu pun ketika mencapai puncak etis dan teoritisnya, agama perlu mempertahankan kemurnian cita-citanya, menentang sesuatu yang bukan terlahir dari rahimnya, termasuk politik dan khayalan berupa mitologi.

Antagonisme semacam ini tidak seutuhnya dapat dibenarkan, karena bagi sebagian pendapat menyatakan bahwa sejatinya agama merupakan hal yang senantiasa bersentuhan dengan persoalan lingkungan social yang seharusnya menjadikan apa yang ada di luar dirinya sebagai bagian integral dari suatu agama. Demikian agama tidak lagi menjadi persoalan privasi yang hanya sekedar melakukan proses ritual secara transenden-vertikal semata, tetapi diperlukan persinggungannya dengan dunia sosial termasuk dalam persoalan politik berdasar pada ritus-ritus horisontal yang bersifat imanen.

Selama persentuhannya dengan politik, agama senantiasa mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini terbukti dari banyaknya orang-orang atau masyarakat yang beragama terlepas agama apa yang mereka anut atau percayai menurut keyakinannya itu. Semisal di Indonesia, agama Islam menjadi agama mayoritas penduduknya. Tentu hal semacam ini tidak dapat dilepaskan dari besarnya pengaruh yang diberikan Islam bagi bangsa Indonesia, dan juga proses transformasi politik dalam memasyarakatkan Islam di tanah Indonesia ini. Akan tetapi apakah keuntungan yang didapatkan agama dalam memainkan percaturan politik tersebut berdampak nyata pada perilaku politik seseorang dalam menjadikan agama sebagai basis atau spirit perubahan sosial dengan jalan untuk mendapatkan keinginan bagi para pemangku kepentingan politik ?. Jelas ini mesti mendapat pertanggungjawabannya.

Serangkaian aksi-aksi dan/ atau demonstrasi yang telah terjadi belakangan ini dengan membawa atribut agama adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dielakan bahwa agama memiliki peran dan kedudukan yang penting dalam kaitannya dengan negara. Seakan-akan peristiwa tersebut menyegarkan kembali imajinasi politik bangsa Indonesia, bahwa gerakan Islam di Indonesia saat ini masih menunjukkan eksistensinya, sekalipun berada pada posisi yang tertekan dalam kursi parlemen partai politik. Termasuk yang maujud ke dalam rentetan aksi massa yang terjadi di tengah kondisi politik bangsa saat ini yang tengah menuju pada tingkat kedewasaan berpolitik.

Salah satu hal yang menjadi alasan munculnya gerakan-gerakan sosial ini ialah ketika identitas keagamaan mereka terusik, kemudian emosinya dengan mudah dan cepat terbakar dengan aksi turun mengaliri jalanan bersama ribuan masa sebagai bentuk respon atas tuntutan yang mereka gaungkan.

Guncangan rangkaian aksi demontrai masyarakat berlabelkan agama telah membuat banyak kalangan harus saling bertemu, berunding dan menegosiasikan kesepakatan, mulai dari soal aksi harus berjalan damai, tentang tuntutan hukum atas penyelanggaran pemiluyang dianggap curang, hingga ditangkapnya sejumlah orang yang kena tuduhan makar. Hal ini yang kemudian mendorong para petinggi tokoh nasional, pemuka agama dan masyarakat berdialog dalam rangka mengurangi kemungkinan ketegangan yang bakal terjadi dalam perhelatan politik pemilu yang telah berlangsung kemarin. Sementara itu, poin penting dari pertemuan dan dialog tersebut, adanya spekulasi kemungkinan akan kekhawatiran lahirnya “Arab Spring”, ini merujuk pada demonstrasi besar yang berlangsung di Timur Tengah yang mampu menurunkan rezim penguasa. Sedangkan analis lain mengingatkan kemungkinan “aksi berlabelkan agama” tersebut disusupi oleh para simpatisan ISIS dan teroris.

Identitas politik yang kini terjadi di Indonesia menemukan suasana baru yang bertarung dan beradu kekuatan dengan memanfaatkan aksi massa. Bahkan banyak analisis yang melihat ini sebagai gerakan yang harus diakui hasil dari kumpulan situasi konflik sosial yang kompleks. Hal ini bisa saja disebabkan karena telah meningkatnya intoleransi dan ekstrimisme agama yang dibiarkan merajalela, dengan asumsi ketakutan akan “Islamic backlash” (pukulan balik dari kekuatan Islam). Atau sebagaimana yang diargumentasikan oleh ahli lain, bahwa aksi demonstrasi dengan membawa label agama hanyalah kasus elit politik yang memobilisasi massa sebagai bagian dari strategi menjelang pemilihan umum tersebut.

Dapat kita sadari betul, bahwa pilar kekuatan yang terjadi pada serangkaian peristiwa aksi demonstrasi yangtelah terjadi beberapa waktu ke belakan menjadi diperhitungkan ketika aparat mulai berusaha menegoisasi bahkan mencegah mobilisasi melalui berbagai cara. Larangan dari ulama maupun pimpinan ormas ternyata tak cukup manjur, bahkan himbauan dan larangan dari pemimpin negara juga tak mempan. Larangan tak hanya berhasil ditangkis, tetapi juga meningkatkan antusiasme massa untuk ikut terlibat. Lautan massa pada aksi demonstrasi tersebut telah menciptakan banyak kisah “ajaib” yang mampu mempererat keyakinan atas apa yang mereka harapkan. Harapan pada pemerintah untuk mendengar aspirasi mereka agar dapat menegakkan supremasi hukum yang dianggapna telah pincang. Meskipun yang paling membuat takjub bukan kepalang tidak lain adalah munculnya keyakinan baru bahwa kekuatan massa yang terjadi saat aksi demonstras tersebut tidak sekecil yang diduga. Ibarat ranting yang kini berusaha membuat pohon dengan melipat gandakan kesadaran atas keunggulan kelompok agama tertentu dan bahkan mempercayai agama sebagai perekat NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang semenjak dulu tetap bersaing dengan banyak ide-ide politik lainnya.

Kecenderungan kultural dari motif tersebut sering dieksploitasi oleh kalangan elite politik dan tokoh agama tertentu yang terlibat dalam perhelatan politik praktis pada serangkain pemilu kemarin. Maka tidaklah mengherankan ketika banyaknya kegiatan keagamaan yang bernuansa politik diadakan pada menjelang pemilihan hanya sekedar untuk menarik simpati suara masyarakat beagama sebagai pemilih, seperti pada kegiatan peringatan hari besar keagamaan, aktivitas pengajian dan sebagainya.

Keterlibatan elite politik dalam memainkan peran agama dirasa mampu meningkatkan popularitas, serta akseptabilitas atau kelayakan untuk diterima dengan cara menyentuh sisi emosional umat beragama dengan maksud agar apa yang diinginkan dapat terwujud. Strategi semacam ini dinilai ampuh untuk mendongkrak suara pemilih yang dalam kategori belum rasional, karena masyarakat Indoensia sebagai pemilih dinilai masih memiliki sensitivitas agama, sehingga mudah diajak jika menggunakan isu-isu yang berkaitan dengan agama.

Sebagai masyarakat yang beragama, masyarakat Indonesia tidak dapat melepasakan segala bentuk perilakunya dari baju kebesaran yang disebut dengan “agama”. Meminjam istilah Muammar Qadhafi yang dikutip oleh Endang Mintarja, bahwa peranan agama dalam kehidupan bernegara dapat menjadi landasan hukum nasional. Senada dengan ungkapan tersebut Benton Johnson, mengatakan bahwa hal semacam ini sebagai pertanda bangkitnya kesadaran kolektif masyarakat akan arti penting agama dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik Negara itu, karena agama dianggap dapat memberikan motivasi, dorongan dan stimulan bagi perubahan sosial yang diharapkan. Demikian pula jika dipandang secara sosiologis, kadar keberagamaan masyarakat memiliki pengaruh pada perilaku politik masyarakat yang berbeda dengan masyarakat lainnya, karena semakin agama itu diyakini oleh penganutnya, maka karakter seseorang akan “berwarna agama” lebih kental.

Hubungan antar variabel politik dan agama inilah yang kemudian menjadi perhatian publik, karena banyak variabel agama dan politik ini secara bersama-sama diperankan oleh sejumlah tokoh dan pemuka agama. Ketika hubungan keduanya terjadi dalam masyarakat yang memiliki sensitifitas agamanya tinggi, maka suhu politik menjadi semakin panas. Sejumlah kasus yang berkaitan dengan fenomena pemanfaatan agama sebagai saluran potensial dakwah politik yang diperankan para tokoh agama. Persoalan yang berkenaan dengan person sosial politik pemuka agama tersebut dapat menjadikan isu agama sebagai salah satu bentuk saluran potensial komunikasi politik.

Berdasarkan kasus politik identitas yang telah terjadi sepanjang tahun 2019 di atas, jika dicermati sikap keagamaan yang dilakukan para demonstran, dapat disimpulkan bahwa sikap dari organisasi ini termasuk bersikap prasangka (prejudice) atas situasi politik yang seakan-akan memberi banyak peluang dan harapan bagi lahirnya figur-figur agamwan yang diharapkan sekaligus tampilnya gagasan agama seperti yang diingankan. Dalam hal ini, paling tidak ada dua pandangan besar yang tidak saja berbeda, tetapi juga bertolak belakang. Pertama pandangan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari masalah-masalah keduniaan, apakah itu sosial-budaya, ekonomi, maupun politik, dan yang kedua adalah pandangan bahwa bukan saja agama itu berbeda dengan persoalan keduniaan, tetapi antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali, dan karenanya harus dipisahkan.***