Kisah Inspratif ; Indahnya Memiliki Tetangga Non Muslim

1231

Oleh: Ade Mahmudin

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan masuk Surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Muslim no. 73).

Hadits tersebut mengingatkan kita bagaimana menjaga kerukunan ditengah-tengah kehidupan soial di masyarakat, terutama kepada tetangga. Betapa pentingnya bagi kita untuk menjaga ketertiban dan kerukunan sesama tetangga untuk saling menjaga keamanan dan tidak saling mengganggu satu sama lainnya.

Oleh karena itu, tak ada satupun alasan bagi kita untuk membuat rasa tidak aman kepada tetangganya, meski terdapat beberapa perbedaan seperti suku, ras, budaya, bahkan keyakinan sekalipun. Tanpa melihat segala perbedaan itu, kerukunan harus menjadi tujuan dan konsesus bersama sebagai warga negara yang baik.

Dalam kisah ini, saya mencoba menjelaskan bagaimana gambaran kehidupan yang rukun ditengah-tengah perbedaan keyakinan itu, termasuk memiliki tetangga yang berbeda keyakinan dan kepercayaan tanpa harus mendikotomi status sosial keagamaannya. Mungkin keluarga terebut, satu-satunya keluarga yang ber KTP Agama Kristiani di desa saya. Rumahnya percis di depan rumah saya di Kampung Kacepet, RT 009, RW 004, Desa Simpar, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang.

Adalah keluarga Pak Sueb dan Ibu Konah. Kelurga tersebut termasuk keluarga Kristiani Protestan yang taat. Setiap hari Minggu, keluarga terebut tak luput dari menjalankan ibadahnya di Gereja Pantekosta yang ada di Kota Pagaden Subang atau sekitar satu kilometer dari rumahnya.

Keluarga terebut memliki tujuh orang anak, yakni Usa, Robet, Ricka, Rudi, Ayub, Hana Kristiana dan Yahya Yohanes. Bersama anak-anaknya itulah, saya hidup berdampingan dan menjadi teman bermain, terutama bersama Hana dan Yahya karena hampir seumuran.

Lebih daripada itu, Ibu Konah juga selalu menjaga keharmonisan dalam bertetangga sebagaimana kebiasaan ibu-ibu di kampung berkumpul dan berinteraksi. Bahkan ketika ada salah satu tetangga yang sedang memiliki hajat, semua tak luput dari upaya gotong royong untuk membantunya.

Bahkan, dalam menjaga kerukunan beragama itu, tergambar jelas jika musim hari besar keagamaan tiba. Sebut saja jika hari lebaran Idul Fitri, keluarga tersebut turut berbaur dengan masyarakat lainnya sekedar untuk mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri dan minta dimaafkan jika terdapat kesalahan. Uniknya lagi, terkadang salah satu keluarga tersebut turut berbaur mengikuti ritual keagamaan seperti tahlilan dan marhabanan yang diselenggarakan oleh salah satu masyarakat setempat.

Termasuk bagaimana saat keluarga pak Syueb tersebut melakukan ritual keagamaan di rumahnya, saya sebagai teman se permainan dengan beberapa anaknya tersebut tidak pernah berani beraktifitas di halaman rumahnya yang terkadang dipakai tempat untuk bermain.

Begitulah gambaran bagaimana kehidupan yang rukun ditengah kehidupan masyarakat yang berbeda keyakinan. Kami tetap saling menghargai, menghormati bahkan saling tolong menolong dalam kebajikan tanpa melihat segala perbedaan itu.

Sebagaimana amanat Undang-undang yang termaktub dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah disebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya” sehingga kita sebagai warga Negara sudah sewajarnya saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi menjaga keutuhan Negara dan menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama.

Selamat Hari Raya Natal untuk sauadara-saudaraku yang sedang merayakannya. Semoga Tuhan memberi rahmat dan memberkati kita semua. Aamien….

(25 Desember 2016)

(Penulis adalah Wakil Sekretaris Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jawa Barat)