KHIDMAH PROPETIK NU

95

KHIDMAH PROPETIK NU

Oleh Ali Anwar Yusuf
Guru Besar Universitas Pasundan-Wakil Ketua PWNU Jabar

Nahdlatul Ulama telah mengadakan perhelatan besar di Banjar Jawa Barat pada tanggal 27 Febrari -1 Maret 2019, Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas Konbes NU) II. Acara yang diselenggarakan di Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Kujangsari, Langensari, ini mengambil tema “Memperkuat Khidmah Wathoniyah untuk Kedaulatan Rakyat”. Isu khidmah wathaniyah (melayani tanah air) dan kedaulatan rakyat (siyadatul ummah) diangkat dalam rangka menjawab dua isu ekstrem, globalisme dan al-siyadah li syari’atillah (kedaulatan di tangan syari’at Allah).

Globalisme disuarakan oleh kelompok neo-liberalisme yang pro kapitalisme Barat dan Timur adapun kedaulatan Tuhan menjadi jargon kaum radikal transnasional. Kedua kelompok ini sama-sama nir-loyalitas terhadap Indonesia. Globalisme memindahkan dan memalingkan perhatian seseorang dari tanah airnya (wathaniyah) sedangkan paham kedaulatan “tuhan” menilep kedaulatan rakyat yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia.

Sudah barang tentu tema yang ditetapkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak terkait dengan Pemilu dan Pilpres. Tema ini berada pada ranah pemikiran normatif yang menjadi spirit warga NU dalam berorganisasi. Mengembalikan posisi rakyat sebagai subjek dan objek pelayanan, dirasa penting, bukan saja karena rakyat sesungguhnya pemegang amanah kedaulatan dari Tuhan, melainkan juga mulai bergesernya orientasi pelayanan publik dari rakyat ke segilintir orang. Sebut saja kepada kalangan elit, elit politik dan elit ekonomi. Rakyat seharusnya bisa mengakses semua layanan publik yang berkualitas kini menjadi terbatas karena pelayanan publik berdasarkan stratifikasi sosial dan kemampuan finansial. Dua faktor yang tidak dimiliki oleh semua warga negara.

NU organisasi massa yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan dan pelayanan sosial lahir dari rahim pesantren-pesantren. Pesantren institusi pendidikan dan sosial sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan berbasis kearifan lokal. Miniatur masyarakat dan negara tercermin dalam pesantren. Pesantren menjadi the little state. Aspek persamaan, keselarasan (harmoni) dan penghormatan terhadap kiai dan santri membawa implikasi ke masyarakat sekitar sehingga pesantren menjadi jangkar penyeimbang semua stratifikasi sosial.

Peran ini yang dimainkan NU. NU menjadi penyeimbang yang dinamis dan bisa menjadi katalisator transformasi sosial dalam mewujudkan tujuan nasional. Kemampuan ini yang sangat dibutuhkan di tengah arus panas globalisasi dan radikalisasi yang senantiasa mengancam keutuhan bangsa dan negara. Sejarah Indonesia mencatat bagaimana NU telah teruji dalam menciptakan, memelihara dan menjaga stabilitas sosial. Walaupun untuk itu NU kadang mengorbankan dirinya.

Khidmah wathaniyah untuk kedaulatan rakyat menegaskan komitmen propetik NU dalam melayani masyarakat. Dari persepktif kenabian, peran dan fungsi Nabi dan ulama sebagai ahli waris mereka adalah fungsi sosiologis berbasis pada nilai-nilai ilmiah dan ilahiah. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw: “Dulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Yang akan ada adalah para khalifah dan mereka banyak.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibn Majah).

Sudah mafhum di kalangan masyarakat kita bahwa satu-satunya Nabi yang universal adalah Nabi Muhammad saw. Nabi-nabi Bani Israil merupakan nabi-nabi lokal dan primordial. Mereka ditugaskan untuk mengurus keluarga, masyakarat dan bangsa di tanah air mereka. Itulah wilayah ri’ayah mereka. Dari sini lahir konsepsi politik (siyasah) yakni mengurus semua urusan umat (ri’ayah su’unil ummah). Kegiatan mengurus umat dalam wilayah ri’ayahnya kemudian dilanjutkan oleh ulama. Mulai dari mengurus pesantren sampai level bangsa dan negara.

Dimensi spiritual dan politik yang diperankan oleh NU sekaligus menjawab tuduhan miring kaum radikal tentang sekularisasi ulama. Tuduhan miring yang lahir karena ketidakcermatan mereka dalam memahami hadits tentang ri’ayah para nabi. Kaum radikal menganggap aktivitas ri’ayah su’unil ummah harus melalui kekuasaan politik secara formalistic padahal faktanya dari 25 orang nabi dan rasul, hanya 4 orang nabi yang memiliki kekuasaan formal: nabi Daud as, nabi Sulaiman as, nabi Yusuf as dan nabi Muhammad saw. 21 nabi lainnya menjalankan tugas ri’ayah mereka tanpa kekuasaan politik formalistik. Dengan kata lain kekuasaan politik formal bukan syarat dalam siyasah Islam.

Masyarakat bertauhid mengedepankan terwujudnya maksud dan tujuan dari pemberian kedaulatan rakyat oleh Allah swt berupa terciptanya keadilan, keamanan, ketentraman, kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan rakyat. Terpenuhi segala hajat hidup mereka baik yang berkenaan dengan urusan duniawi mereka maupun ururan ukhwarawi secara alamiah. Dalam khidmah wathaniyah pendekatan kekuasaan diminimalisir karena kekuasaan cenderung memaksa berpotensi mendapat memicu resistensi. Selain itu pendekatan kekuasaan bersifat instan dalam menyelesaikan masalah sosial namun dampaknya sementara.

Pendekatan propetik dalam mengurus urusan masyarakat dilandasi oleh kesadaran bahwa ulama adalah orang yang dipercaya Allah swt untuk menjaga umat. Mewujudkan kemashlahatan hidup mereka. Allah swt titipkan nasib umat-Nya kepada ulama. Kesadaran ini yang melahirkan nilai-nilai rahmah (kasih sayang) ulama kepada umat. Ketika menghadapi perilaku menyimpang, sikap asosal dan sosialpat serta patologi sosial lainnya, ulama mendahulukan pendekatan rahmah daripada kekuasaan.

Meskipun mereka tahu perilaku menyimpang, sikap asosial dan sosialpat serta patologi sosial khususnya kaum radikal berawal dari perasaan megalomania mereka. Kaum radikal merasa lebih alim, lebih taqwa dan mulia dari kelompok masyarakat lainnya. Sering kali kelompok radikal memaksakan penafsiran mereka sampai pada taraf menggangu keharmonisan masyarakat. Bagi mereka chaos pun tak mengapa asal wacana publik bisa dikuasai.

Memperkuat khidmah wathaniyah untuk kedaulatan rakyat ide genuine NU dalam merespon dinamika nasional dan global. Ide yang memancar dari ideologi aswaja. Di Munas Alim Ulama dan Konperensi Besar NU langkah-langkah strategis khidmah wathaniyah NU dirumuskan, kemudian disusun aksi-aksi taktisnya yang akan dikukuhkan pada Muktamar NU tahun depan.

Etos khidmah NU terhadap masyarakat di tanah air tidak pernah luntur walau zaman terus berubah. Dari masa kolonial sampai zaman milenial, NU kokoh pada mengurus umat tanpa harus memegang tampuk kekuasaan formal. Karena NU menyadari hal tersebut sebagai amanah ilahiah. Sejak dulu keharmonian masyarakat menjadi basis sosio-kultural alamiah bangsa Indonesia, sehingga kearifan lokal dan kearifan global bisa hidup berdampingan, tumbuh dan berkembang selaras dengan kepentingan masyarakat. Semoga NU istiqamah mengawal kedaulatan rakyat dengan cara berkhidmah kepadanya.