Kesadaran Pluralitas Manusia Merupakan Sikap Dan Komitmen Umat Beragama

621

Oleh: Ahmad Fuad Ruhiyat*

Abdurrahman Wahid menyatakan dalam tulisannya. Dalam sejarah umat Manusia, selalu terdapat kesenjangan antara teori dan praktek. Terkadang kesenjangan tersebut melampaui kesenjangan yang standar. Apa yang dipahamkan oleh komunisme dengan kata ‘rakyat’ dalam teori dimaksudkan untuk membela ‘wong cilik’ tapi dalam prakteknya sangat berbeda, justru yang dibela adalah kaum penguasa. Itupun berlaku dalam orientasi paham tersebut yang lebih banyak membela kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat banyak.

Untuk  hari Ini, fenomena yang berkembang sangatlah tepat untuk difahamkan kembali, sebagai sebuah manifestasi dalam menjaga kepentingan bersama (wong cilik). Sebagaimana dalam adigium Ilmu alFiqhTasharuf al-Imam ‘ala Ra’iyyah Manuuthun Bi al-Mashlahah” Tindakan atau kebijakan seorang pemimpin atas rakyatnya sepenuhnya bergantung kepada kebutuhan atau kesejahteraan mereka (rakyat). Islam nyatanya jauh-jauh hari, dan ini yang semestinya menjadi objek dalam segala hal (Maslahat al-Ammah).

Gandhi dalam kata-kata jernihnya “Karakteristik istimewa peradaban modern adalah tak terbatasnya bermacam–macam keinginan manusia. Karakteristik peradaban kuno adalah larangan keras dan aturan tegas atas keinginan – keinginan itu.” Pasca Reformasi menguak di berbagai media, jalan-jalan semua ramai semua pada mengajukan keinginannya masing-masing. Sebuah perubahan fantastik dan layak diapresiasi oleh penguasa, sebagai bentuk ketundukan atas rakyat.

Namun ada yang berbeda, mengutip Ghandi “Bila kamu punya kebenaran, maka kebenaran itu harus ditambah dengan cinta, atau pesan dan pembawanya akan ditolak.” Perlu sekiranya kita mengingat kembali sejarah yang silam tentang Piagam Jakarta (The Jakarta Charter). Para pemimpin gerakan Islam waktu itu tanggal 18 Agustus 1945., Setuju membuang Piagam Jakarta dari UUD 45, agar bangsa kita yang heterogen dapat bergabung dalam pangkuan Republik Indonesia.

Pendapat ini dipegang oleh Ki Bagus Hadikusumo dan KH A. Kahar Mudzakir dari Muhammadiyah, Abi Kusno Cokrosuyoso dari Sarekat Islam, A. Rahman Baswedan dari Partai Arab Indonesia, A. Subardjo dari Masyumi, H. Agus Salim dan Ahmad Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama (NU). Itu semua jelas menonjolkan faham ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan yang multikultural dan sudah Final. Bagaimana para pendahulu tidak menolak keragaman, dan menunjukan dengan jelas bahwa keutuhan dan kesejahteraan umat dinilai lebih penting dari hanya kepentingan kelompok semata. Ajakan yang marah dan irasional tentu tidak akan didengar, bukankah jelas dalam ayat suci Menyeru dan membantah itu harus dengan baik. Bahkan Rasulullah diutus ke dunia sebagai menyempurna akhlak, dan rahmat lil alamin.

Sebuah negeri yang lahir dengan berbagai budaya, baik suku, bahasa, agama, akan semakin besar ketika perbedaan tersebut dijadikan rahmat dari sang maha pencipta. Allah SWT berfirman,. QS al-Hujarat 49:13 “Waja’alnakum Syu’uban Wa Qabaila Lit’aarofu” Dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal. Jelas dalam ayat tersebut secara kesuluruhan umat Manusia supaya bersaudara. Dengan berbagai alasan apapun perpecahan itu bertantangan dengan nash al-Quran : “Wa’tashimu bi hablillahi Jami’a Wala Tafarraqu.” Berpeganglah kalian kepada tali Allah SWT secara menyeluruh, dan janganlah terpecah-belah/saling bertentangan. QS Ali Imran 3:103.

Diakhir tulisan ini penulis ingin mengutip tulisan KH Said Aqil Siradj dalam Bukunya Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Pengalaman Nabi menunjukan bahwa kesadaran pluralitas manusia merupakan sikap dan komitmen umat beragama dalam upaya menghindari pencampuran politik dan agama.

Oleh karena itu Nabi pernah berpesan ke para sahabatnya bahwa “jika suatu saat nanti umat Islam berhasil mencapai Mesir dalam Futuhat kelak, yang harus diperhatikan adalah memperlakukan masyarakat Mesir dengan baik. Sikap simpatik ini disampaikan setelah Nabi menerima hadiah persahabatan dari Gubernur Mesir, Muqaiqis yang beragama Nasrani (Non Muslim). Dan ini dilaksanakan setelahnya oleh sahabat Nabi yaitu Umar Bin Khaththab berpesan kepada Amr Bin Ash yang berhasil menguasai Mesir dan memperlakukan masyarakat Mesir dengan baik. Wallahu A’lam

Lemburawi, 08-12-2016

*(Khadim Rijalul GP Ansor Kabupaten Bandung)