Kemerdekaan, Kebebasan Memilih ; Tak Ada Pilihan dan Menciptakan Pilihan : Deni Ahmad Haidar

452

Islam ahlussunnah waljama’ah (selanjutnya : Aswaja) al nahdliyah adalah batang tubuh NKRI. Membayangkan berdirinya NKRI dengan tidak menempatkan aswaja sebagai softwarenya adalah hal mustahil.  Para pendiri NU dan juga para pendiri negeri ini adalah orang yang sama. Dalam pandangan mereka, keindonesiaan tidaklah bertentangan dengan keislaman, malah mereka lebih tegas menetapkan bahwa  mendirikan NKRI adalah salah satu kewajiban dalam membela dan menegakkan syari’at agama. Kita semua sudah mafhum soal itu.  Jangan heran, jargon NKRI harga mati !!! selalu membahana dalam setiap perkumpulan dan kaderisasi di NU dan seluruh banomnya.  Hal ini menandakan adanya ikatan batin yang sangat kuat pada setiap warga NU terutama kader dengan kewajibannya mempertahankan Negara adalah sebagai kewajiban agama.

Negara akan tetap tegak bukan hanya semata-mata bertumpu melalui aparat-aparat formal, tapi negara akan lebih kokoh berdiri karena adanya “aparat-aparat” ideologi.  Nah, posisi NU berperan sebagai  ideolog dan menempatkan seluruh kadernya sebagai “aparatus ideologi Negara”. Seumpama perangkat komputer, maka NU memposisikan aswaja sebagai  software dari komputer yang bernama NKRI. Hal ini terbukti dalam rentang sejarah panjang negeri ini, NU melalui pemahaman aswaja an nahdliyah selalu memberikan solusi atas kebuntuan-kebuntuan sejarah yang dialami bangsa ini. Dokumen sejarah telah mencatat jauh sebelum Republik ini berdiri dalam Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, ulama-ulama NU memutuskan bahwa bumi Nusantara sebagai “darl Islam” (wilayah islam), begitupun pada tahun 1945 pada pertemuan konsul-konsul NU di Surabaya dalam menyikapi kedatangan Sekutu dan Belanda, ulama-ulama NU memutuskan bahwa NKRI yang diproklamasikan Soekarno-Hatta yang berdasarkan Pamcasila dan UUD 1945 adalah sah secara fiqh, dan kemudian muncul pernyataan yang dinamakan dengan Resolusi Jihad yang mengobarkan semangat perlawanan di banyak daerah termasuk peristiwa heroik 10 November 1945 di Surabaya. Artinya basis teologis aswaja al nahdliyah yang dijadikan pegangan NU telah teruji dan terbukti sebagai benteng utama dalam mengawal kedaulatan Negara.

Sebuah ajaran teologi akan memiliki nilai fungsional, manakala mampu menapakkan kakinya  dalam latar sejarah sosial. Faham aswaja al nahdliyah sebagai manhaj al fikr, metodologi yang “berkaki”, menempatkan Islam bukan hanya teks suci  yang melayang di atas langit, namun mampu bersenyawa dengan realiitas sosial-kemanusiaan. Penegasan posisi syar’i-nya NKRI, menandakan bahwa dialog teks dengan realitas sosial adalah sebuah keniscayaan.

NKRI sebagai sebuah realitas  sejarah yang dinamis tentu juga membutuhkan perangkat-perangkat yang mampu merespon setiap tantangan yang ada.  Jargon NKRI harga mati sejati, senapas itu pula hadirnya daya kekuatan untuk merespon setiap tantangan yang dihadapi oleh NKRI. Dalam konteks itulah, aswaja sebagai sebuah gagasan ideologis, harus tampil dengan sekumpulan gagasan yang lebih detail dan tekhnis. Menyerahkan urusan-urusan strategis NKRI kepada orang yang tidak punya komitmen terhadap aswaja an nahdliyah adalah sangat berbahaya.  Dan kader aswaja an nahdliyah yang mengabaikan kecakapan-kecakapan tekhnis dalam rangka mewujudkan NKRI harga mati juga adalah hal yang sama berbahayanya.

Melihat peta kecakapan kader aswaja khususnya di Jawa Barat kita akan menemukan situasi yang gamblang, bahwa NKRI harga mati barulah sebatas jargon.  Cara pandang dominan dari mayoritas kita masih menempatkan sisi kuantitas sebagai determinan faktor dalam bangunan relasi yang ada, bahwa “musuh-musuh” aswaja dan negara hadir dengan jumlah yang sedikit dan itupun diposisikan dalam perspektif “keamanan”. “Mitos mayoritas” masih saja menjadi faktor dominan dalam hal kenyamanan bermasyarakat. Mayoritas masih sebagai mitos karena tanpa didukung oleh dukungan data yang valid dan akurat. Aswaja masih dipandang sebagai identitas ‘ubudiyyah yang serta merta itu diklaim sebagai bagian dari jama’ah. Tapi jama’ah yang belum berjama’ah. Belum terpimpin dan terkonsolidasi.

Nilai-nilai tawassuth, tawazun dan ‘itidal masih saja ditafsirkan sebagai strategy defensive sehingga kader aswaja lebih banyak merespon apa yang dilakukan “yang lain” bukan menjadi pionir dalam pola gerakan yang bersifat offensive sehingga mental “sebagai korban” semakin hari kian menguat. Padahal berdirinya NU bukan hanya sebagai respon defensive terhadap gerakan yang dilakukan kelompok wahabi, tapi NU berdiri sebagai benteng aktif dengan melakukan “serangan langsung” ke jantung utama pertahanan mereka.  Peran ini sebagaimana dilakukan komite hijaz yang melakukan “serangan langsung” ke jantung utamanyanya wahabi.

Posisi kader yang masih terpenjara dalam mitos mayoritas hanya akan menempatkan posisi aswaja dalam posisi yang berbahaya, sebab dengan meyakini NU sebagai mayoritas tentu ikhtiar untuk da’wah NU keluar menjadi tidak ada. Selalu saja merasa bahwa “yang lain” selalu menggerogoti warga NU. Warga NU selalu berkurang, bukan bertambah.

Perkembangan dunia dan dinamika sosial kebangsaaan yang dari waktu ke waktu kian tidak menentu belum mendapatkan respon yang semestinya. Keterbelangan kita dalam penguasaan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi belum mendapatkan porsi perhatian yang cukup serius. Maka sangat wajar, jika pos-pos strategis Negara yang menuntut kecakapan teknokratik sangat jarang yang diisi oleh warga dan kader NU.  Dan jika tidak disadari sepenuhnya akan sangat berbahaya bagi Negara dan aswaja itu sendiri.
Merdeka itu seharusnya bebas untuk memilih, bebas memilih dengan cara terbaik untuk menjaga dan memelihara kemerdekaan ini. Menjaga NKRI tidak cukup hanya sebatas jargon NKRI harga mati. Para pendahulu kita telah memberikan teladan yang baik dengan berani mengangkat senjata dan berkorban nyawa untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Artinya mereka mampu merespon setiap tantangan dengan langkah yang tepat.

Dalam konteks saat ini sebagai manifestasi amanat kemerdekaan, mestinya kita (selaku warga dan kader NU) lebih mempersiapkan diri dan terlibat langsung  mengelola Negara dengan  menempati seluruh posisi strategis Negara. Sebab dengan cara itulah kita bisa memastikan NKRI tetap terjaga dan ajaran aswaja tetap menjadi satu-satunya yang menaungi NKRI.

Kemerdekaan sedianya memberikan ruang tanpa batas untuk memilih, namun sayangnya kita (kader-kader aswaja) secara mayoritas masih saja memilih yang bukan pilihan terbaik, bahkan lebih banyak lagi menempatkan diri pada posisi yang tidak punya pilihan. Kemiskinan masih menjadi wajah keseharian “ummat mayoritas”, padahal agama mewajibkan untuk jadi muzakki. Keterbelakangan masih menjadi potret realitas, padahal Kanjeng Nabi memerintahkan untuk menjadi pembelajar, bahkan jika perlu menuntutnya ke negeri China. Sebuah fakta sosial yang perlu direspon lebih cepat. Padahal NKRI didirikan bukan untuk “orang lain”. Para pendiri NKRI berjuang memerdekakan negeri ini karena mereka ingin agar penerusnya terbebas dari belenggu yang menistakan kemanusiaan.

Saatnya kita menciptkan pilihan kita sendiri, meneguhkan bahwa hanya dengan kesiapan kita untuk  mernjadi yang terbaik dan terlibat secara langsung dalam mengelola Negara ini, maka cita-cita para ulama pendiri Republik akan segera terwujud. Waktu yang tersedia tidak banyak, kesempatan yang ada juga tidak selamanya muncul. Singsingkan lengan perjuangan sebagaimana teladan para pendahulu. Mari tegaskan bahwa ikhitar kita Liya’budun, bukan Liya’buthun. Nasib dan masa depan kita, harus diperjuangkan dengan tangan kita sendiri. Nasib kemerdekaan dan masa depan NKRI tidak mungkin kita serahkan pada yang lain. Sebab kita pemilik adalah syah (sejarah) negerti ini. Dirgahayu Indonesia. Wallahu’alam…

 

Penulis adalah Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Barat.