Kecerdasan Spiritual dari Kandang Kambing

151

Oleh: Khoiril Anwar Rohili.(Pengurus Odesa-Indonesia. Mahasiswa Pasca Sarjana Kebijakan Publik, Universitas Pasundan Bandung)

Minggu, 5 Maret 2017 lalu, Alumni Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) Angkatan 1986 mengadakan acara bakti sosial di Kampung Cadas Gantung, Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Pada acara tersebut digelar peresmian sarana Mandi, Cuci dan Kakus yang dibangun selama 10 hari sebelumnya.

Acara sederhana yang bagus karena memenuhi kebutuhan warga. Ada pengobatan/pemeriksaan secara gratis. Ada pula bagi sembako, makan bersama, dan bagi-bagi pakaian serta buku-buku untuk anak sekolah.

Saya harus mencatat hal ini dengan pemaknaan secara khusus karena sebelumnya, sejak bulan Oktober 2016 lalu menjalin interaksi dengan warga kampung Cadas Gantung. Hal itu bermula dari kisah pilu kehidupan Kampung Miskin yang catatannya bisa dibaca di Miskin Sekampung di Cadas Gantung
Bakti sosial memang kesannya sederhana, apalagi jika hanya membagi harta yang jika dihitung dari jumlahnya mungkin nalar matematis mungkin orang bisa saja mudah menyatakan “cuma segitu.”

Namun menurut hemat saya, hitungan derma atau amal itu bukan dilihat dari satu sisi, apalagi materinya semata. Kehadiran teman-teman senior dari ITB yang sebagian adalah pengusaha atau petinggi perusahaan di Jakarta dan Bandung buat saya merupakan “harga mahal”.

Di tengah-tengah kesibukannya, mereka berkenan masuk ke kampung terisolir dengan jalanan becek, menjumpai warga desa yang sangat langka mendapatkan perhatian. Jadi, nilai utama yang paling penting adalah kehadiran. Kehadiran orang-orang kota dalam kebersamaan bertemu dengan orang desa di samping kandang kambing itu menghasilkan makna (nilai lebih) yang luar biasa mahal; yaitu warga desa orang merasa diperhatikan. Mereka merasa mendapatkan sentuhan kemanusiaan karena di luar mereka ternyata ada manusia-manusia yang masih menghargai kehidupannya sekalipun mereka berumah di gubuk-gubuk reyot.

Pertemuan di kandang kambing antara orang-orang kota dengan warga desa pelosok itu juga merupakan bagian dari proses/pendidikan kemanusiaan yang baik. Hal itu bisa kita lihat secara ilmiah dari dua sudut pandang.

Pertama dari sisi kecerdasan emosional, sebuah kecerdasan yang tumbuh dari dalam manusia akibat kemampuan memahami, merasakan/interaksi secara sosial, mengembangkan empati dan rasa welas-asih untuk menjalin kebersamaan.

Kedua, bermakna kecerdasan spiritual, sebuah kecerdasan jiwa yang dapat merangsang seseorang untuk menemukan kesejatian dirinya melalui orang lain atau melalui tindakan positif terhadap orang lain.

Kedua hal itu terbukti nyata. Setelah acara tersebut orang-orang kota itu mendapatkan pembelajaran sosial dan kemanusiaan yang mendalam tentang kehidupan warga Cadas Gantung yang puluhan tahun hidup serba kekurangan; tidak punya tempat ibadah, buang hajat di kali, ekonomi buruh tani tanpa kejelasan hasil, anak-anak kurang gizi, dan orang lanjut usia hidup serba kesusahan. Ada ide lanjutan. Ini berangkat dari pertanyaan teman-teman Elektro ITB; apa yang sebaiknya dilakukan di Cadas Gantung untuk mengatasi persoalan-persoalan kehidupan warga di sana?

Ide boleh banyak, tetapi yang paling penting adalah realistis diterapkan. Kami sebagai pendamping yang mulai memahami satu persatu rumah tangga di sana, paling tidak bisa melihat skala prioritas dan cara dalam mendampingi mereka. Ada yang harus cukup diberikan bantuan amal karena masuk golongan lanjut usia dan tidak mungkin bekerja, ada yang harus didorong ternaknya, ada yang harus ditambahi modal usahanya, dan ada anak-anak yang harus diberikan perhatian sekolahnya agar kelak mereka tumbuh lebih beradab sepadan dengan anak-anak lain yang mendapatkan berkah dari kemajuan zaman.

Dengan interaksi dan apalagi kebersamaan dalam waktu panjang, kita akan selalu menemukan celah untuk meraih kegiatan yang tepat sasaran dan membuat mereka berdaya dalam proses yang membahagiakan tentunya. Misalnya saya bisa merekomendasikan, Mak Ocih, dan dua janda lainnya harus diberikan bantuan beras dan finansial untuk mereka karena mereka sudah tidak mampu bekerja. Usia sudah lanjut dan harus mendapatkan perhatian yang tidak menutut mereka berlebihan. Pak Damin tentu lain urusan. Ia masih bisa menghasilkan uang dari nguli batu di Sentak Dulang.

Penghasilannya rata-rata Rp 300 ribuan per bulan. Agar penghasilannya bertambah, ia memang perlu dikasih modal usaha, misalnya usaha tani secara sambilan yang nyambung dengan lingkungan, yaitu menanam tanaman yang mudah dikembangkan seperti kumis kucing atau tanaman lain. Juga perlu diberi subsidi beras secukupnya agar penghasilannya tidak terkonsentrasi hanya untuk belanja beras.

Lain Pak Damim, lain Pak Odim. Pak Odim petani yang punya tanah sekalipun hanya beberapa jengkal. Ia berminat bertani. Maka modal usahanya adalah tanaman obat dan sayuran skala terbatas dengan polybag misalnya. Ada penyuluhnya bernama Ibu Yanti (Bunga) Komariah, seorang ahli tanaman hias penata tanaman dari Kota Bandung yang saat acara juga hadir, siap memberikan transfer pengetahuan di lapangan. Pak Odim bisa ternak, dan minat beternak bebek. Maka itulah yang tepat karena di sekitar Cadas Gantung ada sawah dan kali yang airnya tergolong lancar pada musim kemarau sekalipun. Maka diperlukan modal bibit bebek dan kandang serta pakan di masa-masa awal pemberdayaan. Ada pak Kiki dan istrinya yang juga pengalaman memelihara domba. Mungkin perlu ditambah domba dan ditambah modal ternak bebek. Demikian seterusnya.

Memandang kehidupan mereka dari dekat, kemudahan jalan terhampar. Tidak sesulit yang kita bayangkan selagi tuntutan dan target kita tidak melampaui kemampuan mereka. Dan tuntutan mereka pun teramat sederhana. Kita beramal tentu tidak bermaksud hanya memberi ikan dan menina-bobokkan mereka dengan bantuan charity. Kita memberi kail, tapi bukan berarti tidak bermaksud mengabaikan charity karena itu memang dibutuhkan dan tidak bermaksud mengajak mereka memiliki mental penerima.

Marilah kita kembali bergerak, bukan hanya di Cadas Gantung. Masih ada kampung-kampung lain di Desa Mekarmanik Kecamatan Cimenyan; sebut saja di Pondok Buah Batu, Parabonan, Cikawari (I,II,III), Singkur, Waas utara dan Waas Selatan, Cisanggarung (I,II,III), Sentak Dulang. Terdapat juga kampung-kampung di Desa Cikadut dan Desa Cimenyan hingga desa-desa di Kecamatan Cilengkrang yang membutuhkan sentuhan-sentuhan kemanusiaan.

Pada akhirnya, bergaul dengan mereka,yang disebut miskin atau fakir bahkan, ternyata bisa menimbulkan kecerdasan. Terbukti kita menjadi tahu betapa hidup seringkali berbeda, satu pihak melimpah harta atau berkecukupan, lain pihak begitu sengsara. Dan alhamdulillah, kita masih manusia. []