Jokowi Gagal Move On

213

Oleh: Wahyu Iryana

Ada-ada saja bahasa gaul yang dilakukan muda-mudi di negeri ini “putus cinta, galau dan gagal move on” itulah bahasa gaul yang sering penulis temui di media sosial (medsos) dewasa ini. Nalar imajinasi kemudian mengendus pada pemerintahan Jokowi, karena ekspektasi masyarakat awam terkait legitimasi terpilihnya Jokowi adalah mampu mengentaskan problem berbangsa, menciptakan kesejahtraan dengan tujuan akhir kemakmuran rakyat. Implementasi seorang pemimpin yang dipilih rakyat setidaknya berupaya meresapkan rasa keadilan merata kepada semua pihak apapun bendera partainya, budaya, suku, bahasa dan agamanya.

Joko Widodo (Jokowi) sosok jujur, pekerja dan sederhana. Visi kerakyatan menjadi pas dalam sosoknya yang sederhana dan ndeso, karenanya pendukungnya kuat dari kalangan bawah. Bahasanya yang sederhana menjadi mudah ditangkap dan difahami. Karenanya tidak salah bila sebuah survei menemukan bahwa mayoritas pendukungnya adalah para masyarakat kelas bawah. Wajah ndeso dan kesederhanaannya menjadi simbol kerakyatan yang sangat menguntungkan sebagai komoditas dan pencitraan politik. Sedangkan wakilnya Jusuf Kalla (JK) adalah seorang teknokrat ulung, usianya senior dan pengalamannya banyak, berfikir dan tindakannya cepat.

Menjadi ketua Palang Merah Indonesia, dan Dewan Kemakmuran Masjid. Sudah terdidik sebagai seorang aktivis sejak dibangku kuliah, mantan ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam dua periode. Berpengalaman dipemerintahan. Diluar semua catatan ini, suara rakyatlah yang menentukan kemenangan Jokowi-JK pada pemilu 9 juli 2014..

Sudah hampir satu tahun lamanya setelah pemilahan presiden dan wakil presiden 9 juli 2014 yang lalu. Sudah saatnya rakyat melakukan evaluasi kolektif dan menganalisis secara mendalam tentang pilihan dalam pilpres setelah hampir satu tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tentunya dalam batasan koridor berdemokrasi.

Kerangka imajinasi kita hendaknya harus mampu menembus sekat-sekat peradaban yang menghegomoni kesejahtraan rakyat, walaupun pemimpin yang diharapkan sebagai pengayom pada praktiknya ternyata kerap mengalami kebijakan yang buntu, kerap terjangkit kegaulan bersikap bijak, dan kebuntuan mengambil peran-peran penting untuk membela nasib rakyat Indonesia. Dalam literasi nalar imajinatif masyarakat awam sekalipun ada anggapan bahwa pemerintahan Jokowi gagal move on, dengan kata lain Jokowi gagal mengembalikan kepercayaan rakyat yang memilihnya setelah beragam problem kenegaraan yang bermunculan.

Khasanah literasi politik manusia Indonesia dapat dianalisis dalam kenyatan belum terlihatnya titik terang prestasi Jokowi-JK setahun kebelakang, dalam pertimbangan lain setidaknya agar target untuk menjalankan roda pemerintahan setelah terpilih bisa dioptimalkan. Karena pada akhirnya yang kita temui adalah wong becik ketitik, wong ala ketara (orang yang berjasa pasti ketahuan, orang yang berbuat salah juga akan ketahunan). Makna yang lebih luas apabila dikaitkan dengan nalar positif para pemimpin agar menjadi pepakem adalah kebaikan dan kejelekan seorang pemimpin tidak akan bisa ditutup-tutupi, karena suatu saat apabila ia berbuat kesalahan ataupun kebaikan rakyat akan mengetahui.

Kenyataan yang terjadi apa yang sudah dilakukan Jokowi masih jauh dari dambaan rakyat yang telah memilihnya. Jangan-jangan negara kita terjangkit sindrom obor blarak, yang terjebak pada kekayaan alam yang tak terhingga, namun angka kemiskinan semakin menampakkan grafik menaik, menjadi bangsa yang berada di halaman belakang dari lembaran bangsa-bangsa Dunia. Tentu saja kekayaan khasanah kearifan lokal masyarakat Indonesia di seluruh penjuru tanah air mesti dijadikan modal sosial agar menjadi darah segar yang memompa keseluruhan jasad manusia Indonesia untuk meraih keadaban hidup berkesejahtraan yang sesungguhnya.

Hal ini harus difahami bahwa nilai kerja yang dilakukan sang presiden terpilih masih jauh panggang dari api. Faktanya sekarang, para pegeden (orang besar) negeri ini dalam panggung sejarah Indonesia mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk melayani publik. Para pegeden lebih senang mengurus partainya masing-masing, daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa zamannya (zeitgest).

Hegemoni Kekuasaan

Bukan mau mencampuri konsep Kang Dede Mariana mengenai analisis politik di Jawa Barat, untuk itu saya bukan pakarnya. Bukan mau berbicara mengenai gubahan lansir budaya Sunda Kang Tjetje H. Padmadinata dalam Menembus Sekat-Sekat Budaya (2011), untuk itu saya termasuk kaum ignoramus, kami yang tiada tahu suatu apa. Harus dipahami bahwa pembangunan yang kita sedang laksanakan sekarang pada hakekatnya merupakan proses perubahan sosial (social chenge). Namun dalam melakukan proses perubahan itu, kita sering kehilangan arah yang menimbulkan belbagai dampak negatif dalam kehidupan sehari-hari. Sebut aja masalah tata kota yang semakin semrawut, macet, kriminalitas, pelacuran, apatis, frustasi, pengangguran, kerusakan alam akibat eksploitasi berlebih, banjir, sampah, pengangguran, dan terjadinya kepincangan ekonomi (pathologi social) antara si kaya dan si miskin dan sebagainya.
Tidak bisa dipungkiri, saat ini citra Jokowi semakin redup. Merosotnya kepuasaan atas kinerja Jokowi ini diindikasikan atas berbagai dinamika yang terjadi, salah satunya merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, konfilik sosial, kisruh internals.

Yang menarik, bidang kinerja pemerintahan yang menjadi sorotan atas penurunan citra Jokowi. Di antaranya rapuhnya dukungan partai pengusung utama, konflik PSSI dan Menpora, kesalahan ketik dalam administrasi kenegaraan, penangulangan konflik di daerah yang berlarut, masalah kasus bailout Bank Century yang semakin tenggelam, kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berimbas pada kenaikan berbagai jenis sembako dan terpuruknya kurs nilai tukar rupiah.

Hal inilah yang menyebabkan adanya saling sandera antar elite politik. Rasanya penulis harus sepakat dengan argumen-argumen para pakar politik di negeri ini bahwa Jokowi harus melakukan terobosan baru (new breakthrough) atau bahkan ledakan besar (big bang) berupa kebijakan di luar kebiasaan guna memperbaiki pemerintahan yang semakin terpuruk. Sesungguhnya kepemimpinan blusukan ala Jokowi akan senantiasa berhimpitan secara timbal balik dengan nilai-nilai demokrasi berbangsa, ia terikat pada etika untuk selalu mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar, yang salah itu adalah salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka perbuatan dustanya itu akan mendapat perlawanan nurani dari rakyat yang memilihnya.

Perlunya move on pemerintahan Jokowi-JK yakni revitalisasi dengan melakukan koreksi total terhadap berbagai aspek budaya peradaban. Proses itu bisa di mulai melalui pembenahan sistem pemerintahan kolektif yang lebih serius agar tidak melahirkan pemerintahan yang koruptif, karena warga masyarakat akan selalu menjadi Control untuk pemerintah Jokowi-JK. Gaung pengembangan budaya politik pro rakyat, yang mampu mewadahi orientasi politik sehat kiranya baru menyentuh kulit luarnya saja dalam konsep revolusi mental.

Karena pengembangan keadaban demokratis sangat tergantung pada penyesuaian kultural dan institusional. Kiranya tentu akan lebih baik jika persoalan-persoalan dalam gerak pemerintahan bisa segera diselesaikan. Tanda tanya masyarakat terhadap berbagai kasus di negeri ini perlu segera diakhiri. Pemerintah, dalam hal ini Jokowi-JK harus segera memberikan solusi sebagai bagian dari pertanggungjawaban sosial para pemilihnya.

Penulis, Intelektual Muda Bandung.