Islam Ramah Tanpa Marah-Marah

554

Oleh: Taufiqurrohman*

MASUKNYA Islam di Indonesia memiliki banyak versi, mulai dari pandangan dan penelitian dari cendekiawan terkemuka muslim Indonesia Azyumardi Azra perbedaan diantaranya menyangkut tempat asal kedatangan Islam. Diantaranya dituliskan masuknya Islam dari Gujarat dan Malabar, bukan dari Persia atau Arabia abad ke 12. Pada tahun 1872 dikembangkan oleh Pijnapel dan didukung oleh umumnya sarjana-sarjana Belanda seperti Snouck Hurgronje, Moquitte dan Marisson. Menurut Pijnapel seperti dikutip Azyumardi Azra, orang-orang Arab yang bermadzhab Syafi’i lah berimigrasi ke India dan kemudian membawa Islam ke Nusantara.

Teori kedua penelitian dari SQ Fathimi dimana Islam datang dari Bengal, karena orang yang terkemuka di Pasai adalah orang-orang Benggali.  Sementara Islam muncul pertama kali di semenanjung Malaya pada abad ke 11 Masehi dari pantai timur bukan dari barat (Malaka). Sementara teori ketiga penelitian dari Crawfurd (1820) dimana Islam datang langsung dari Arabia, melalui pemuka agama bermadzhab Syafi’i tepatnya Hadhramaut, senada pandangan itu dikuatkan oleh Arnold (1913) Islam datang melalui Malabar, dimana pedagang-pedagang dari Arab sendiri yang dominan menyebarkan Islam ke Nusantara. Bahkan menurut Arnold pada tahun 674 masehi di Pantai Barat Sumatera telah didapati satu kelompok perkampungan orang-orang Arab.

Terlepas dari perbedaan dimana tempat asal masuk Islam ke Nusantara, seluruhnya sepakat penyebaran Islam secara massal dan pesat terjadi pada abad ke 13, hal itu ditandai dengan berdirinya kerajaan kerajaan Islam di berbagai daerah seperti Pasai di Pesisir Utara Sumatera, Gresik, Demak, Gowa, Banten, Cirebon BUton dan Ternate.

Namun hal yang paling menarik adalah, konversi dari masyarakat Indonesia dimotori sendiri oleh para raja sehingga menjadi dorongan bagi penduduk setempat mengikutinya, demikian juga sukses berkembang pesat Islam di Nusantara melalui dakwah Wali Songo yang penuh dengan kasih sayang, ramah tanpa menghujat cara beribadah ummat saat itu. Selain itu yang jauh lebih penting lagi adalah Islam dibawa oleh para pedagang baik dari Arab Persia maupun India menampilkan diri sebagai agama yang damai dan ramah.

Seperti penelitian Arnold yang mengutip pandangan C Semper dalam buku Pemikiran Politik Islam dari masa klasik hingga Islam Kontemporer disebutkan, Islam dikembangkan oleh para pedagang melalui pendekatan adat istiadat penduduk asli, mengawini wanita-wanitanya, menebus para budak dan menjalin kerjasama dengan para raja negeri (pribumi) untuk menduduki jabatan-jabatan utama di pemerintahan. Mereka para pedagang Islam memiliki kemampuan dan kecerdasan yang melebihi pribumi dan mudah beradaptasi dengan budaya lokal. Untuk itu Islam lahir di Indonesia dari cinta dan memberikan kasih sayang dan tumpuh dari kebiasaan yang telah dianut warga lokal di kampung-kampung, sehingga patut kita junjung tinggi segala kekayaan budaya yang baik yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Dalam perkembangannya, Islam di Indonesia yang ramah terhadap perbedaan mulai disusupi kepentingan luar demi menguasai sumber daya yang ada di Bumi Indonesia dan kepentingan menegakkan misinya menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam. Namun, menguasai secara utuh sulit terjadi selama masyarakat tetap memegang teguh ajaran damai dalam bingkai tradisi lokal yang kaya. Untuk itulah kini kepercayaan yang baik masyarakat itu mulai dihukumi syirik kafir dan sesat, agar bangsa ini memiliki kepercayaan diri yang rendah dan tidak memiliki pegangan lagi, sehingga cita-cita mengubah dasar Negara Pancasila menjadi sitem khilafah oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam menjadi segera terealisasi.

Pandangan khilafah menjadi tidak rasional, apalagi di Negara asalnya seperti Hizbuttahrir adalah organisasi terlarang, mereka di negara ini mendeklarasikan dirinya Hizbuttahrir Indonesia (HTI). Perlu diketahui, sebagaimana sejarah lahirnya Hizbuttahrir adalah Hizbuttahrir atau partai pembebasan untuk Palestina dari Israel yang didirikan oleh Taqiyyudin Annabhani penentang asas demokrasi dan nasionalisme yang dahulunya merupakan bagian dari kelompok Ikhwanul Muslimin, setelah pendirinya wafat digantikan Abdulqo’im dan menghilangkan kata Palestina menjadi Hizbut Tahrir saja, tujuannya diubah menjadi partai untuk membebaskan manusia dari thogut dengan mendirikan khilafah Islamiah. Menjadi tidak sesuai dengan ajaran Islam ramah yang menghormati perbedaan adalah kelompok HTI ini meyakini kalau suatu Negara bukan khalifah maka dia pantas dianggap thogut, kafir dan sejenisnya. Begitu juga jika mendapati ulama bahkan orang tuanya sendiri yang dianggap menurut pemikirannya salah harus dilawan dengan cara-cara yang tidak berdasarkan akhlakul karimah.

Sedangkan Allah SWT telah berfirman dalam Surat An-nahl ayat 125 yang artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Dalam Tafsir Jalalayn ayat tersebut diinterpretasikan, (Serulah) manusia, hai Muhammad (kepada jalan Rabbmu) yakni agama-Nya (dengan hikmah) dengan Alquran (dan pelajaran yang baik) pelajaran yang baik atau nasihat yang lembut (dan bantahlah mereka dengan cara) bantahan (yang baik) seperti menyeru mereka untuk menyembah Allah dengan menampilkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran-Nya atau dengan hujah-hujah yang jelas. (Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui) Maha Mengetahui (tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk) maka Dia membalas mereka; ayat ini diturunkan sebelum diperintahkan untuk memerangi orang-orang kafir yang memerangi orang muslim. Dan diturunkan ketika Hamzah gugur dalam keadaan tercincang; ketika Nabi Muhammad Saw melihat keadaan jenazahnya, lalu beliau saw. bersumpah melalui sabdanya, “Sungguh aku bersumpah akan membalas tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu”.

Sistem khilafah yang disung juga sebenarnya sebelum organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam terbesar di dunia Nahdlatul Ulama (NU) didirikan, sudah terdapat misi secara substansi sama, yaitu di awal tahun 1925 dimana Raja Arab Saudi, Ibu Su’ud ingin menggelar musyawarah akbar bertajuk muktamar khilafah dan mendeklarasikan dirinya menjadi pemimpin khilafah Islamiyah, namun rencana tersebut ditentang oleh mayoritas ulama di seluruh penjuru dunia termasuk oleh representasi Kyai dan Ulama Pesantren Indonesia Hadrotusyaikh KH Hasyim Asyári, KH Wahab Hasbullah pendiri dan pengurus Taswirul Afkar. Pasalnya, konsekwensi logis yang akan diterima negeri ini dan dunia Islam akan menghancurkan semua peninggalan Sejarah Islam maupun pra Islam yang sebelumnya diziarahi ummat muslim di dunia. Ibnu Su’ud dengan Khilafah Islamiyahnya menyerukan agar ummat muslim meninggalkan barzanji, dalail dan burdah serta meminggirkan mazhab 4 yang bagi kalangan aswaja menjadi sangat prinsip.

Misi mereka (khilafah Islamiyah) menjadi tidak pantas diusung juga dikuatkan dengan kenyataan para Khulafaurrosyidin menolak menyandang Khalifatullah termasuk oleh Abu Bakar, karena baginya yang tepat adalah Khulafah Rosulullah atau pengganti kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, karena faktanya tidak ada bukti otentik dari Rosulullah SAW kalau beliau mengangkat seseorang untuk menjadi pengganti setelahnya, sementara pendapat sebagian kelompok orientalis bahwa sakitnya Rosulullah penyebab tidak menunjuk penggantinya adalah sangat lemah. Hal itu juga dikuatkan dimana Nabi Muhammad SAW pasti akan menjelaskan hal itu saat haji wada dan ditunkannya ayat 3 Surat Almaidah 81 hari sebelum Nabi Muhammad SAW wafat. “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.

Rosulullah memiliki waktu 81 hari dan tidak menjelaskan sistem paten dalam kepemimpinan Negara, karena hikmat syariat yang tidak disengaja membuat ummat Islam tidak terikat oleh bentuk-bentuk paten yang kadang membutuhkan perubahan dengan perkembangan zaman. Untuk itu pula syariat selalu memberikan akal untuk berfikir sehingga masyarakat Islam mampu membentuk sistemnya sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang selalu berubah.

Untuk itu pulalah dibuka pintu ijtihad dengan berbagai persyaratan yang ketat, para ulama kemudian satu persatu menerbitkan hasil ijtihadnya melalui kitab-kitabnya, seperti Imam Malik tokoh utama madzhab Maliki, guru Imam Syafi’i beberapa karyanya seperti Al-Muwatta`, Risalah fi al-Qadr, Al-Mudawwanatul Kubra, Tafsir Al-Qur`an dan yang lainnya.

Berbicara Madzhab Maliki dengan tokoh Imam Malik Buya KH Husein Muhammad Pengasuh Ponpes Darut Tauhid Cirebon menuliskan dalam bukunya Toleransi Islam, mazhab tersebut ciri utamanya memberikan penghargaan yang tinggi pada tradisi lokal, bahkan tradisi lokal merupakan salah satu dasar hukum yang menjadi pijakannya. Tradisi Madinah dalam banyak hal menurut madzhab ini lebih kuat daripada hadis Nabi dengan transmisi tunggal (Hadits ahad). Pendirian Imam Malik menghargai tradisi yang baik yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam di lokal Madinah terus dipertahankan, meski banyak ulama yang menentangnya dan meski harus berhadapan dengan penguasa kala itu. Akan tetapi suatu saat Khalifah Abbasiyah; Abu Ja’far Almanshur memintanya agar kitab Muwattha yang menghimpun hadis-hadis nabi karyanya menjadi sumber hukum positif yang diberlakukan di seluruh wilayah Islam. Namun, disinilah letak demokratisnya Imam Malik, selain tidak gusar muridnya mendirikan alirah (mazhab) hukum Islam sendiri ia juga menolak permintaan khalifah tersebut.

Imam Malik menjawab, Anna Ashaba Rosulillah Sollallahu Alaihi Wasallam ikhtalafu filfuru’i watafarroqu filbuldani (Anda tahu bahwa para sahabat nabi berbeda-beda pandangannya dan mereka telah berpencar di berbagai negeri. Jawaban Imam Malik itu, memperlihatkan kita disamping keluasan kedalaman ilmu dan pikirannya. Ia sangat demokratis dan paham bahwa di berbagai wilayah negeri ini telah berkembang berbagai tradisi hukum yang berbeda-beda, dimana masyarakat menurut Imam Malik berhak memilih dan tidak bisa dipaksakan mengikuti satu pendapat dan tidak ada seorangpun yang berhak mengkalim kebenaranya sendiri seraya menyalahkan orang lain. Selain itu Imam Madzhab 4 yang menjadi dasar hukum dari ahlusunnah waljamaah (Aswaja) diantaranya Ahmad Bin Hambal, Imam Syafi’i dan Abu Hanafiyah serta Imam Malik sama-sama menolak absolutisme kebenaran pemikiran.

Mereka (Madzhab 4) mengemukakan: Roýunal Sowabun yakhtamilu Alkhodtho’a waro’yu ghoirina khoto’un yakhtamilu asshowaba (Pikiran dan pendapat saya adalah benar, tetapi mengandung kemungkinan salah. Sebaliknya, pemikiran dan pendapat orang lain keliru, tetapi selalu mengandung kemungkinan benar. Untuk itu sangat disarankan seluruh ummat muslim tidak mendasarkan pendapatnya paling benar dengan menyalahkan pendapat orang lain dengan berlebihan atau menyerang dengan tuduhan kafir dan layak masuk neraka apalagi boleh dibunuh yang tidak sepemahaman dengan kita.

Merebaknya paham takfiri (suka mengafirkan sesamanya) atau Islam garis keras yang disponsori pihak luar kini mendapatkan momentumnya di Indonesia, seakan setiap yang tidak menyembah Allah SWT tidak layak hidup tenang nyaman di Bumi Indonesia. Nabi utusan Allah SWT yaitu Muhammad SAW adalah pribadi yang lemah lembut dan menghormati manusia bukan hanya muslim. Hal itu, dibuktikan nabi dimana ia tidak pernah memerangi orang yang tidak memerangi ummat muslim, demikian juga Rosulullah Muhammad SAW diriwayatkan, suatu ketika di Qadisiah usai menempuh perjalanan jauh, Sahl bin Hanif dan Qais bin Sa’ad duduk untuk beristirahat, tiba-tiba ada seseorang memikul jenazah. Keduanya berdiri, namun orang yang lainnya memberitahu bahwa jenazah itu kafir yang dilindungi, yaitu Yahudi. Lalu mereka mengatakan, Kami pernah bersama Nabi, lalu ada jenazah Yahudi lewat  kemudian Nabi berdiri. Kami katakan wahai Nabi itu adalah jenazah orang yahudi (non Islam), lalu Nabu mengatakan Alaisat Nafsan (bukankah ia adalah jiwa (manusia)? (HR Sahih al-Bukhari) dari hadis yang lain dengan pengertian dan substansi yang sama juga tertulis dalam kitab Sahih Imam Muslim. Wallahu A’lam Bissowab.

*Penulis adalah Ketua Umum PC PMII Indramayu (2009-2010) dan Redaktur Politik Harian Umum Rakyat Cirebon Jawa Pos Group (2011-Sekarang).