Haji Asep dan Kabayan

193

Oleh : Wawan Gunawan (Sekretaris Lakpesdam NU Jawa Barat)
Beberapa tahun ke belakang saya punya teman baru, berwajah lama. Namanya Bapak Asep Solahudin. Lebih tepatnya, KH. Dr. Asep Solahudin tanpa Wahid. Kini Ia menjabat sebagai Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat.

Juga sebagai Staf Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pimpinan Yudi Latief. Sebelum mengenalnya secara langsung, saya sudah terlebih dahulu sering membaca tulisan-tulisannya, dan kerap mendengar kebesaran namanya dari Kiayi Dudang, Pembantu Dekan Fakultas Syariah UIN Bandung, yang juga tak kalah keren.

Dahulu saya sering melihat Haji Asep sangat kelimis dengan kumis, godeg, dan janggut yang tertata rapi. Tetapi setelah sama2 aktif di NU, sy tahu bahwa dalam kesehariannya beliau sangat bersahaja. Rambut dibiarkan gondrong dengan memakai peci cap karuhun. Terlihat dari warnanya yg sudah kekuning-kuningan. Begitulah aslinya.

Namun, kembali agak nampak lebih mendingan saat sudah berkantor di Unit Kerja Presiden. Tetapi Ini tidak penting. Karena lepas dari itu semua, menurut saya, Haji Asep merupakan tokoh kiwari yang par exelence dalam hal: Nyunda, Nyantri, Nyakola.

Itu yg membuat sosoknya sangat diminati oleh para pengundang seminar. Tidak hanya tulisannya yang kece, cara berceramahnya pun memukau: dari awal sampai akhir, lucu. Hadirin pasti terpingkal-pingkal. Oleh karenanya, setiap usai dia memberikan tausiyah, selain memperoleh hidayah, biasanya audiens sakit perut.

Untuk ingin berteman dengan saya, suatu hari dia menyogok saya dengan memberikan buku tebal yg ditulisnya, berjudul Sufisme Sunda. Berisi tema-tema tentang keislaman dan kesundaan. Salah satu bahasannya mengenai Si Kabayan, yg secara eksplisit Ia daulat sebagai tokoh sufisme sunda.

Saya setuju dan akhirnya memahami kenapa Haji Asep ini sangat lucu. Mungkin karena dia sendiri seorang sufi, NU, Nyunda dan referensinya adalah Si Kabayan.

Tahun 1929, Lina Maria Coster menyelesaikan sebuah Disertasi di Universitas Leiden, dimana pokok penelitiannya mengenai cerita-cerita lucu di Indonesia dengan fokus perhatian terhadap dongeng-dongeng Si Kabayan yang sangat terkenal di kalangan orang Sunda.

Dalam karyanya tersebut dia memuat sebagian dongeng Si Kabayan dari yg sebelumnya telah dikumpulkan oleh Prof. Snouck Hurgronje yang legend itu, dalam bukunya The Atjehers, tahun 1893.

Pak Snouck dan Bu Lina tak semata membahas tentang Si Kabayan, mereka membandingkannya dengan berbagai cerita lucu yang berkembang di beberapa daerah lain di Nusantara, dan bahkan membandingkannya dengan cerita lucu yang ada di Arab, semisal Nasrudin Khoja, Juha, dan Abu Nawas.

Yang menarik adalah salah satu temuan Lina saat itu, bahwa katanya, “Tidak ada di tempat lain di kepulauan ini di mana terdapat cerita-cerita lucu yg sekaya pada orang Sunda.

Maka dari itu, siklus Kabayan pantas menjadi titik tolak untuk meninjau literatur lucu Indonesia. Aneka ragam lelucon, dan daerah-daerah di mana diceritakan cerita2 lucu Indonesia, dapat ditemukan kembali dlm cerita2 Kabayan Sunda, seluruhnya atau sebagian. Kenyataan ini membuat kita mesti membicarakan cerita2 daerah lain itu sbg varian dari cerita2 Sunda.”

Dengan demikian, orang Sunda seharusnya menjadi orang yang paling lucu dan paling bergembira di Indonesia. Sehingga, jika dalam 10 tahun terakhir ini Jawa Barat yg notabene Sundanis, dikategorikan sbg Provinsi paling intoleran di Indonesia oleh berbagai lembaga survei, sangatlah aneh. Karena intoleransi itu sama sekali tidak lucu, dan penuh kemarahan.

Artinya, tugas Haji Asep selaku Si kabayan masih sangat berat. Kita harus menemani beliau memerangi intoleransi dgn kelucuan2. Karena Haji Asep bekerja di unit kepresidenan, maka kita bisa membantu Presiden dengan memproduksi cerita2 lucu.

Masyarakat dan para pejabat publik kita harus diajak bergembira, agar tidak stres dalam kehidupan dan menjadikan agama sebagai pelarian saja, yg bisa berujung pada radikalisme bahkan terorisme.

Lucu itu Pancasilais. Bagi orang Indonesia, terlebih orang Sunda, lucu itu takdir.

15.03.18