Gus Dur Memilih Sunyi

1507

Oleh : KH. Maman Imanul Haq*

Selamat pagi, Gus.

Aku mendengar sholawatmu semalaman

Kiranya kau tak pernah tidur.

Tidak pernah lelah.

Sedang hari pun luluh.

Dan kami hanya terongok di sudut waktu.

Selamat pagi, Gus.

Aku dengar kau terus berkhutbah Tentang pentingnya hati dalam demokrasi Kemerdekaan itu, katamu, adalah keikhlasan mengakui keterjajahan Dari hasrat menguasai dari ketamakan  mendzalimi diri sendiri.

Selamat pagi, Gus.

Kau benar, kami hanya anak-anak di taman bermain yang  lupa.

Tiba-tiba hari telah senja.

Kami asyik berebut khuldi Sedang ular yang melingkar di pohon itu terus mengancam

Puisi yang aku tulis saat peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur, panggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid itu aku baca kembali saat Bis yang aku tumpangi bersama rombongan Anggota DPR RI Terpilih 2014-2019 melewati Taman Makam Pahlawan Kalibata menuju Lubang Buaya.

Sebelum dilantik, kami diundang menghadiri Peringatan Hari Kesaktian Pancasila , 1 Oktober 2014.  Setiap melewati Kalibata ada gelisah kerinduan pada Gus Dur. Di bekas Kantor DPP PKB yang berada di belakang makam Kalibata ada satu ruangan khusus tempat di mana Gus Dur mendialogkan berbagai proses membangun kesadaran bersama tentang pentingnya perubahan struktur sosial ke arah kehidupan yang lebih adil.

Sebuah kesadaran untuk mengorganisasi diri, menyuarakan, dan berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan publik.

Sehingga tidak ada anggota masyarakat yang mengalami kekerasan, ketidakadilan, pembedaan (diskriminasi), dan peminggiran (marjinalisasi) baik secara struktural maupun kultural.

Usai rapat Dewan Syura, saya pernah menemani Gus Dur di ruangan itu.

Kedua tangan menopang dagunya.

Ia terdiam.

Berkeping-keping jiwa resah terekam dalam kerutan dahinya.

Napas berat sesekali terdengar. Jiwanya bergetar hebat.

Ia meneteskan air mata dan berucap, ” “Manusia perlu dibela, Tuhan tidak”.

Berbagai penindasan terhadap kelompok-kelompok minoritas jadi tema rapat di malam itu. Gus Dur merinci beberapa kasus kekerasan atas nama agama, penindasan terhadap minoritas, pembakaran rumah ibadah, dan pelarangan atas ekspresi berkesenian seperti yang menimpa Inul Darastita.

Gus Dur mengingatkan akan pentingnya melakukan pembelaan terhadap hak-hak minoritas dan kelompok pinggiran.

Hal ini harus dilakukan untuk membuktikan bahwa Islam punya semangat toleransi, perdamaian dan tujuan suci untuk  menjaga hak hidup manusia. Dalam Islam hak hidup semua orang dengan latar belakang primordial apapun adalah harga mati.

Saat ditanya fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan prilaku FPI (Front Pembela Islam), dengan suara keras Gus Dur mengatakan, ” Urusan beragama dan berkeyakinan ini adalah hak yang sama sekali tidak boleh dikurangi, tidak boleh dibatasi, terkategori non-derogable rights.

Aneh juga MUI ini, masih mencantumkan Indonesia sebagai pengakuan pluralitas tapi anti perbedaan. Sekalian saja buang hurup “I” nya. Tinggal MU. Tapi dari mana mereka punya uang bila digugat Klub sepakbola dari Inggris MU, Manchester United “.

Para peserta rapat tertawa. Gus Dur menutup rapat. Kudorong kursi rodanya memasuki ruangan khususnya. Ia terlihat gelisah.

Humor yang ia lontarkan adalah genuitas seorang Gu Dur dalam melihat realitas kehidupan.  Gus Dur mengajak aku ke sebuah makam keramat yang dekat dengan Kalibata. Yakni makam Habib Ahmad Bin Alwi Al Haddad atau yang lebih dikenal dengan nama Habib Kuncung, di Rawajati Timur II, Jakarta selatan.

Seorang yang menjalani kehidupan dengan rendah hati dan keshalehan yang utuh. Habib wafat tanggal 29 Syaban tahun 1345 H atau sekitar tahun 1926 M pada usia 93 tahun. Aku hanya menduga bahwa ziarah Gus Dur ke Habib Kuncung, sebagaimana ziarah ke tempat-tempat keramat lain, adalah melepaskan kelelahan jiwa dengan tafakur perilaku dan tauladan yang dilakukan para leluhur dan dzikir untuk menumbuhkan “kerinduan” pada Sang Kholik : Allah Yang menciptakan kematian dan kehidupan.

Benarkah Gus Dur juga percaya isyarat dari makam makam leluhur?. Ia hanya menjawab,  “Saya datang ke makam, karena saya tahu Mereka yang mati itu sudah tidak punya kepentingan lagi.”  Gus Dur berwudhu. Ia meminum sisa-sisa air wudhu. Matanya berkilau. Dadanya penuh harapan yang membuncah. Ia tersenyum.

Sebuah gerakan yang sulit dipahami ia lakukan. Kedua tangannya bersilang di dada. Kepalanya menunduk khusyu’. Takbir, tahmid dan tasbih terdengar lirih. Ia seolah menghela wangi misik dari kelambu kuburan Sang Habib. Gus Dur menemukan Tuhan secara bersamaan dalam perjuangan membela kaum marjinal, ketika berziarah kepada para leluhur dan saat bersujud khusyu’ pada Sang Kholik.

Teringat betapa “lalai” sholatku :   sementara, rakaat shalatku mengingatkan pada menara pisa Sedikit condong tapi angkuh sepanjang sholatku jiwa terhijab dan sirna bagai greatwall di Cina dalam sujudku kulihat silhouette kabah bayangan Tuhan sulit diterka  Bis yang aku tumpangi telah sampai di Lubang Buaya. Aku bertegur sapa dengan Presiden SBY dan berpeluk hangat dengan Presiden Terpilih Joko Widodo.

Selama upacara aku terus berpikir. Siapakah Pahlawan itu?. Saat ini ruang publik sesak dengan pembicaraan para idola baru yaitu para penyanyi keren, tampan walau hanya dengan lenggokan dan suara pas-pasan. Mereka dielu-elukan, disambut histeris disetiap penampilan dan menghipnotis sejenak beban kemiskinan dan mahalnya biaya pendidikan.

Sosok pahlawan sejati telah hilang ditelan sunyi. Bahkan nyanyian yang mengandung patriosme dan nasionalisme seperti lagu yang diciptkakan oleh Kusbini, AT. Mahmud bahkan oleh WR. Supratman hanya dihapal segelintir orang.

Aku menatap tajam ke sumur tua tempat pembunuhan 7 Jenderal yang jadi korban apa yang disebut Soeharto sebagai Gestapu (Gerakan Tiga Puluh) September. Setelah peristiwa itu keadaan negara Indonesia berubah total. Berubah jadi penuh misteri.

Semua serba gelap. Kalaupun yang terang benderang hanyalah bahwa sejak itu Indonesia ada dalam cengkraman asing. Sebagai bukti adalah dilakukannya pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada 1967 yaitu UU no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didektekan oleh Rockefeller seorang Bilderberger dan disahkan tahun 1967.

Sejak saat itu Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto. Akhirnya Indonesia menjadi negara yang sangat tergantung terhadap Asing, hingga kini, dan mungkin untuk selamanya.  Pahlawan tetap menjadi sosok yang absurd.

Mengutip Chairil Anwar,

” Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi. Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak”.

Untung aku punya Gus Dur. Ia mewarisi darah juang arek Surabaya dari kakeknya Hasyim As’yari. Sosok yang berani bertarung demi masyarakat, demi bangsa dengan mengabaikan kepentingan pribadi. Ia menjadikan tuntutan agama untuk mencintai tanah air dengan segenap jiwa dan raga. Gus Dur telah meyakinkan aku bahwa Pahlawan bukanlah hanya mereka yang mengangkat senjata, namun yang berani berkata kebenaran atas nama kebenaran dan berjuang demi cintanya tanah air sebagai bagian keimanan.

Terakhir di RSCM Jakarta, aku menggenggam jemarinya yang hangat. Wajahnya terlihat cerah walau ada air mata yang tertahan. Air matanya adalah kerinduan. Dan kesabaran adalah mataharinya. Saat itu, Kesunyian kembali mencekam dan menindih. Tidak ada pembicaraan apapun antara kami berdua.

Gus Dur memilih sunyi.

sunyinya menyisakan jejak panjang kehidupan yang penuh tragedi, menyembunyikan pertentangan-pertentangan, dan menggenggam rahasia pencarian sejati.

Selamat pagi, Gus.

Aku mendengar sholawatmu Yang meresap bersama embun.

Lelaplah, di tanah, kau menjadi pupuk Tapi maafkanlah kami yang terus tumbuh menjadi alang-alang.

Selamat pagi, Gus,

Salam.

Jatiwangi, 23 Oktober 2014

*Penulis adalah Pengasuh Ponpes Al-Mizan Jatiwangi Majalengka yang menulis Buku ” Fatwa dan Canda Gus Dur” dan Antologi Puisi “Kupilih Sepi”.

Sekarang jadi anggota DPR RI Periode 2014-2019.

Tulisan ini pernah dimuat dalam laman kompasiana.  dimuat ulang atas seijin penulisnya.