Gus-dur dan Riwayat Islam Pancasila

701

GUS DUR DAN RIWAYAT ISLAM-PANCASILA

Oleh: Yoyon Sukron Amin *

Menyepakati judul opini yang pernah ditulis Munawir Azis (2013), sebab mendedah pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berarti menelusuri narasi panjang nan padat, berupa konsentrat yang memang diciptakan agar secara praktis dapat diuraikan dan diolah sepanjang zaman, hingga sepertinya, Gus Dur adalah teks panjang yang tak pernah selesai dibaca.

Pun pandangan, pemikiran, dan sepak terjang Gus Dur mengenai tema hubungan Islam dan Pancasila di Indonesia. Pertama-tama yang mesti dipahami ialah bahwa Gus Dur telah melakukan pembacaan mendalam tentang sejarah gagasan Pancasila, ia mengaitkan Pancasila sebagai pandangan hidup bernegara tidak sekadar dimulai dari kelahiran Pancasila itu sendiri, melainkan ditarik dari pandangan tokoh-tokoh sejarah Islam terdahulu saat dihadapkan pada persoalan gagasan fungsi pemerintahan yang memang harus mengabaikan status dan formalitas belaka (Abdurrahman Wahid, 2006).

Selain itu, Gus Dur juga memahami bahwa Pancasila adalah sebuah bahasan multi-tafsir yang berpotensi sangat mudah untuk disalah-fungsikan oleh sebuah kekuasaan sesuai dengan baik buruknya tujuan. Maka tak heran, jika di Era Soeharto yang Pancasila disulap menjadi ikon dan tameng kekuasaan, justru Gus Dur tetap melakukan perlawanan di ranah pemaknaan Pancasila yang sebenarnya, ibaratnya, Gus Dur memecah Pancasila dengan wajah yang kaku waktu itu, dengan semangatnya untuk mengembalikan makna Pancasila sesuai dengan cita-cita yang luhur.

Puncak kiprah perjuangan Gus Dur terhadap pengawalan Pancasila adalah saat ia menjabat sebagai seorang Presiden. Terkait hubungan Islam dan Pancasila, Gus Dur menerbitkan kepres No. 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres No 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China. Dalam keputusan tersebut, Gus Dur merasa bahwa Pancasila harus diperankan dalam pengakuan hak-hak sipil penganut Konghucu, semisal memberi keleluasaan untuk merayakan Imlek dan beribadah sesuai dengan keimanannya. Gus Dur jelas menimbang dirinya sebagai seorang tokoh Muslim, namun menjalankan prinsip-prinsip bernegara yang menjamin kebebasan beragama adalah suatu keharusan, meskipun harus bertentangan dengan pemerintahan sebelumnya dan satu-dua kelompok Islam yang cenderung menganut dominasi mayoritas.

Selanjutnya, sebuah peristiwa politik telah menakdirkan Gus Dur untuk menempati baraknya kembali, di mana dia harus menjadi pengawal Pancasila dari luar lingkar pemerintahan. Meskipun begitu, ia tetap mengajukan, menyuarakan bahkan mengkoreksi terhadap segala hal yang mengatas-namakan Pancasila namun bertabrakan dengan nilai-nilai luhurnya. Dari sini, maka perjalanan Gus Dur adalah sebuah riwayat panjang tentang sejarah hubungan Islam dan Pancasila, dan sebagai sebuah riwayat, maka patut diramalkan bagaimana nasib, kelanjutan dan masa depan Pancasila serta pandangan ke-Islaman di Indonesia sepeninggal Gus Dur.

Gus Dur dan Deklarasi Islam-Pancasila

Gagasan Gus Dur mengenai Pancasila sebagai satu-satunya formula yang mampu dihadirkan dalam fakta keragaman di Indonesia sebanding lurus dengan minatnya untuk menegakkan demokrasi sebagai alat untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada. Maka, Pancasila dan Demokrasi adalah dua agenda strategi Gus Dur dalam membumikan misi kebangsaan yang telah lama digalangnya, di mana ia memahami bahwa agama bukanlah sebuah ruang komunikasi tertutup yang bisa dibenturkan dengan kelompok dan status yang lain. Agama, menurut Gus Dur memiliki nilai dan substansi yang justru cenderung untuk membuka, memandu komunikasi bahkan untuk menolong yang lain. Semangat keagamaan seperti ini tak lain adalah gagasan Islam Kebangsaan yang dikembangkan dan diperjuangkan seorang Gus Dur.

Gus Dur tidak sendirian, ia memainkan gagasan Islam Kebangsaan melalui Nahdlatul Ulama (NU), sebuah institusi yang telah banyak mewarnai corak pemikiran Gus Dur mengingat lembaga ini dilahirkan oleh keluarga besarnya beserta jaringan pesantren yang memiliki tradisi kuat tentang keIndonesiaan.

Bersama NU, Gus Dur terus mencoba untuk merespon dan menguatkan Pancasila dalam sendi kehidupan masyarakat, tepatnya pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Situbondo, 21 Desember 1983. Di sana Gus Dur menampung dan menguatkan hubungan Islam dan Pancasila melalui sebuah deklarasi yang berbentuk penegasan-penegasan tentang perbedaan falsafah kenegaraan dan posisi keagamaan masyarakatnya.

Dalam deklarasi tentang hubungan Islam dan Pancasila tersebut secara jelas, NU berikut Gus Dur berusaha untuk menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap Pancasila yang merupakan falsafah dasar Indonesia, namun sekaligus, penjelasan tersebut tidak semata-mata membuat Islam harus berdiri berseberangan dengan Pancasila.

Penerimaan NU atas Pancasila bukan merupakan hal yang terbilang sederhana, konsepsi ini telah dilalui NU dengan proses pikir dan perdebatan yang mendalam. Hingga akhirnya NU dan tentu melalui sumbangsih Gus Dur saat itu menganggap penerimaan ini melalui beberapa pertimbangan penting, antara lain, pertama, konsep fitrah. Yang merupakan sangat penting dalam Islam. Fitrah adalah dorongan yang sudah tertanam di dalam diri manusia untuk menemukan tuhannya. Dorongan tersebut yang menyebabkan manusia menyerah diri (Islam) kepada Allah. Kedua, konsep ketuhanan. NU menilai rumusan yang Maha Esa menurut Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila lainnya, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam. “Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa” disini yang dinilai oleh NU adalah kedudukan agama dalam negara adalah bersifat rumit dan krusial. Ketiga, pemahaman sejarah. Maksudnya adalah penerimaan Pancasila diperkuat oleh Mukatamar NU dengan peranan umat Islam menentang penjajahan dan mempertahan kemerdekaan bangsa.

Penguatan hubungan Islam dan Pancasila melalui penerimaan NU terhadap asas tersebut menunjukkan bahwa NU menganggap keduanya memiliki kekuatan simbiosis-substansi, di mana hal ini dapat dilihat secara empiris dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.

Pandangan Gus Dur Terhadap Islam dan Pancasila

Telah jelas, bahwa Gus Dur menganggap Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi (Abdurrahman Wahid, 2011, 96-97) bangsa sekaligus hasil dari sebuah kompromi yang luhur. Pancasila merupakan simpul atas apa yang dijabarkan melalui sila-persilanya, sebagai satu kesatuan, maka masyarakat tidak bisa menggunakan Pancasila hanya pada beberapa titik namun di saat yang bersamaan mengabaikan sila yang lain.

Melalui Pancasila, Gus Dur juga bermaksud menghapus dominasi agama berikut kekuasaan anti-agama dalam sebuah bangsa. Pancasila diposisikan sebagai wadah aspirasi yang dapat mencakup kepentingan seemua golongan, maka di mata Gus Dur, negara Pancasila adalah posisi tengah dan lebih sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia di banding kerangka negara sekular atau pun komunis yang ditawarkan oleh masyarakat global.

Setidaknya, Pancasila di dalam pandangan Gus Dur saat dikaitkan dengan hubungannya dengan Islam akan melahirkan beberapa fungsi tersendiri. Pertama, Pancasila adalah sebah konsep penengah yang adil, tidak boleh ada konsesi yang mendominasi kelompok tertentu, termasuk agama. Hal ini yang jika diterapkan dengan baik maka -menurut Gus Dur -Pancasila akan menciptakan pelaku-pelaku kebangsaan yang dapat berperan dengan baik sesuai posisinya dalam rangka memajukan negara. Kedua, karena Pancasila itu sendiri tidak boleh dikuasai oleh satu kelompok, maka hal ini akan menjadi sebuah kesempatan dialog bagi setiap kelompok di dalam ruangnya masing-masing. Dalam melakukan hal ini, sebuah kelompok untuk terbuka dalam merespon setiap gagasan baru yang dapat dinilai lebih baik, juga mempertahankan tradisi yang masih dinilai cukup baik dan belum perlu untuk tergantikan. Mengenai ini, Gus Dur menerapkan di sekitar lingkungan dirinya, dengan mengaplikasikan Al-Muhafadah ala qadimi as-shalih wal-akhdu bil jadid al-ashlah baik dalam jaringan pesantren, termasuk kelembagaan NU itu sendiri.

Selain bertolak pada kedua prinsip di atas, pandangan Gus Dur terhadap Pancasila juga tak lepas dari pembacaannya terhadap perjalanan sejarah perjuangan Indonesia. Pertama yang ditilik Gus Dur dalam sisi historis kebangsaan adalah saat Presiden Soekarno meminta dan menerima para tokoh NU untuk mempertimbangkan penyusunan Pancasila sebagai dasar negara di tahun 1945, menurut Gus Dur, dari titik itulah terdapat poin yang menyimpulkan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan Nasionalisme, Islam dapat berkembang dengan baik dalam kerangka kenegaraan nasional (Remagee,E.Douglsas (et.all),1994,103)..

Masih tentang hasil analisa sejarah yang mewarnai respon Gus Dur terhadap Pancasila, salah satunya adalah fakta sejarah bahwa ulama-ulama dengan cara mereka sendiri dan NU telah ikut berjuang merebut kemerdekaan sebagai kewajiban keagamaan. Mendirikan negara sebagai jalan untuk mengupayakan kesejahteraan bagi NU adalah wajib hukumnya. Negara diperlukan untuk meningkatkan kehidupan manusia yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Sepanjang nilai-nilai keagamaan mendapat perhatian, maka semua upaya membangun untuk kesejahteraan wajib hukumnya

Masa Depan Islam dan Pancasila

Jika Gus Dur telah disepakati sebagai salah satu sosok yang menggerakkan Pancasila dari masa ke masa, terutama mengenai hubungan Pancasila dengan Islam, maka seperti apa tantangan Indonesia sepeninggal Gus Dur?.

Hal ini dapat disorot dari perihal keterbukaan dan kebebasan pasca-Reformasi 1998. Satu sisi kebebasan tersebut bisa dianggap sebagai sebuah kemerdekaan baru bagi kelompok minoritas yang sebelumnya tersisihkan, juga bagi kelompok besar yang memiliki wawasan kebangsaan yang luas sehingga memunculkan pentingnya untuk mengayomi setiap kelompok, termasuk memperjuangkan hak-hak minoritas. Tapi di sisi lain, kebebasan ini juga bisa diambil alih oleh kelompok-kelompok yang menjadikannya kesempatan untuk menolak perbedaan dan fakta keragaman Indonesia, termasuk menolak dan mempermasalahkan Pancasila dengan mengatas-namakan kebebasan dan kemerdekaan berpendapat.

Dalam segi keagamaan, kelompok yang terakhir disebut adalah kelompok Islam yang kerap mengkampanyekan gagasan negara Islam, bahkan, demi melepaskan “keterkungungan”nya, mereka telah berani melucuti asas Pancasila dalam kehidupan bernegaranya di Indonesia.

Probem di atas akan membuat semakin menukik jika atas nama pembaruan digunakan untuk menyerang Pancasila. Maka, masa depan hubungan Islam dan Pancasila bisa dikatakan tertantang oleh istilah pembaruan, kemerdekaan, dan kebebasan yang sebenarnya dimiliki oleh Pancasila itu sendiri.

Dalam menjajaki hal ini, kajian sejarah tetap menjadi penting untuk dipegang, seperti apa yang telah dilakukan oleh Gus Dur dalam kiprahnya mengawal Pancasila. Pertama, kelompok penentang Pancasila dapat diimbangi dengan istilah “peminjaman budaya yang selektif” yang pernah didengungkan Ki Hajar Dewantoro (David Reeve, 2013, 14). Di mana pembaruan harus dilihat dari segenap faedah dan mempertimbangkan nafas lokal Indonesia. Karena harus benar-benar diakui bahwa kelompok ini merupakan bagian dari reaksi jaringan global, bukan skala lokal, jangan sampai, masa depan Pancasila diberangus oleh istilah pembaruan dan kelompok lainnya tidak dapat berperan karena terperangkap oleh kesan kontra-pembaruan. Kedua, seperti yang dilakukan oleh Gus Dur, bahwa Pancasila harus dikawal dengan baik oleh pelaku yang baik pula. Bukan Pancasila yang terlampau diagungkan menjadi senjata pamugkas era Orde Baru, bukan pula dilebur-totalkan melalui penerjemahan pemerintahan sekular. Pancasila harus menempati posisi semula, sebagai polisi yang adil di antara berbagai kelompok, dan sebagai meja diskusi untuk mendengar masing-masing aspirasinya. Karena fungi-fungsi tersebutlah yang menjadikan Gus Dur berkata bahwa “Tanpa Pancasila, Indonesia tidak akan ada”, atau jika pun ada, Indonesia sekadar raksasa mati dan bukan sebagai negara yang dicita-citakan.

Penulis adalah Pengurus Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Cirebon