‘Guru bukan Guru’, ‘Dosen bukan Dosen’

70

‘Guru bukan Guru’, ‘Dosen bukan Dosen’

Kedengarannya mungkin masih asing ketika saya mengambil istilah ‘guru bukan guru’ dan ‘dosen bukan dosen.’ Tapi maksud saya begini, guru bukan guru adalah orang yang berprofesi sebagai seorang guru, setiap hari berangkat ke sekolah untuk keperluan mengajar para siswa di sekolah, tetapi hanya sekadar rutinitas itu. Guru yang maknanya sempit sekali, hanya sebatas itu dan tidak memenuhi hakikat pengabdian guru yang mendidik dirinya sendiri, para siswa dan masyarakat sekitar.

Sebagaimana guru, ‘dosen bukan dosen’ adalah orang yang berprofesi sebagai dosen, setiap hari berangkat ke kampus untuk mengajar para mahasiswa. Ya, makna dosen yang masih sempit dan masih jauh dari hakikat pengabdian sebagai dosen. Guru dan dosen yang masih jauh dari teladan dalam membudayakan tradisi keilmuan; membaca, menulis dan kajian ilmiah.

Lebih jauh dari itu, guru dan dosen yang masih hanya memenuhi tuntutan formalitas kerja. Guru dan dosen yang menjauh dari masyarakat. Guru dan dosen yang tidak kreatif, mereka yang terjebak pada kerja-kerja rutin dan formalitas lainnya. Fatalnya guru dan dosen yang malah terjerumus gaya hidup hedonis, glamour dan individualistis. Apalagi mereka yang tega melakukan berbagai tindak kezaliman, terutama perilaku korupsi.

Memang, problem yang mengitari guru dan dosen terlampau pelik tetapi yang jelas, sedari awal ada yang salah dari paradigma pendidikan kita. Akhirnya para guru honorer terlibat demonstrasi, menuntut kebaikan gaji setara dengan para guru PNS. Padahal kalau mau dikaji dengan dalam, persoalan kenaikan gaji an sich, tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab bukan rahasia umum lagi, gaji para guru PNS yang ditambah dengan sertifikasi dan berbagai tunjangan lainnya tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas guru itu sendiri.

Begitu juga dosen honorer yang secara manusiawi akan selalu menuntut kenaikan gaji. Padahal problem mendasarnya tidak terletak pada persoalan kenaikan gaji semata. Sekali lagi inilah kekeliruan paradigma dan praktik lembaga pendidikan kita yang tidak memperhitungkan secara matang, antara input mahasiswa dan outputnya. Perguruan tinggi kita terlalu banyak yang kemudian membuka jurusan pendidikan, sementara tidak diimbangi dengan kesempatan kerja yang memadai.

Bahkan, para mahasiswa lulusan non-pendidikan pun, berbondong-bondong masuk ke lembaga pendidikan, ‘banting stir’ menjadi guru. Jadilah problem pendidikan kita semakin runyam. Nah, melalui catatan ini, saya ingin memberikan pandangan; Pertama, bahwa sudah seharusnya kita meluaskan makna guru, bukan hanya mereka yang bekerja di sekolah/madrasah dan kampus.

Kedua, para guru dan dosen yang sudah menjadi PNS dan sertifikasi, mapan dalam hal ekonomi, sudah seharusnya menjadi teladan. Tidak hidup dengan gaya hedonis, memberikan teladan budaya membaca, menulis dan kajian ilmiah. Berikut juga mau membaur bersama masyarakat, memberdayakan masyarakat desa-desa terbelakang/berkembang.

Ketiga, para guru dan dosen honorer harus berpikir dewasa, bahwa kuota menjadi guru itu terbatas. Jangan memaksakan diri menjadi guru dan dosen formalitas. Sebab tanpa bekerja di sekolah dan kampus pun, kita tetap bisa menjadi guru. Lalu, menjadilah guru/dosen honorer yang berjiwa wirausaha (entrepreneurship). Selebihnya, mari kita benahi paradigma dan sistem pendidikan kita agar tidak hanya IQ oriented, para siswa dan mahasiswa harus dididik dengan karakter wirausaha.

Wallaahu a’lam

Mamang M Haerudin (Aa)
GP Ansor Kabupaten Cirebon

KUA Kecamatan Karangwareng, 14 November 2017, 11.17 WIB