GERAKAN ISLAM KEBANGSAAN MBAH MUQAYYIM KAJIAN HISTORIS RELASI KERATON KANOMAN DAN PESANTREN BUNTET CIREBON

905

Oleh    :   Yoyon Syukron Amin, M. Hum

                 Pengurus PC GP Ansor Kab. Cirebon

 

ABSTRACT

The article talks about a relationship system between keraton and pesantren in Cirebon in framework of historical of the 18th M century. It Refers to discuission tendency about pesantren and its authority. Both two institutions are interpreted in a separated manner. Whereas there is a number of evidences that this relationship between pesantren and keraton as an institution power in Java has a close connection. This Study is based on an argument that keraton and pesantren have close relationship with a side lineage or in building Cirebon Islamic character. Except uses historical approach, this research also uses multidimensional approach through many knowledge discipline approaches, such as Anthropology, Sociology, and Cultures. This article is not only revealing the historical element of keraton relationship but also discusses about Islamic nationality movement by a mufti figure, Mbah Muqayyim. An against religion movement’s figure to colonialist which basically, is spirit protectionto the religion and nationality. The result can be concluded that keraton and pesantren relationship system in Cirebon is made through kinship, scientific transmission and tradition preservation concept Where Mbah Muqayyimas an important figure who contributes to save the keraton’s religious tradition whichis threatened by colonial ist dominance in surroundings Keraton Kanoman.

 

Key words: indigenous institutions, Dutch colony, and religious agents.

 

 

ABSTRAK

 

Tulisan ini membahas tentang pola hubungan antara keraton dan pesantren di Cirebon dalam kerangka historis abad ke 18 M. Mengacu pada kecenderungan kajian-kajian tentang pesantren dan kekuasaan, dua institusi tersebut cenderung didekati secara terpisah. Padahal ada sejumlah bukti bahwa hubungan pesantren dan keraton sebagai institusi kekuasaan di tanah Jawa memiliki hubungan yang erat. Studi ini mendasarkan argumen bahwa keraton dan pesantren memiliki hubungan yang erat baik pada sisi nasab atau peran dalam membentuk watak dan karakter Islam-Cirebon. Disamping menggunakan pendekatan sejarah (historical approach), penelitian ini juga menggunakan  pendekatan multidimensi, yaitu melalui pendekatan berbagai disiplin ilmu, seperti antropologi, sosiologi dan budaya. Tulisan ini tidak hanya mengungkap unsur sejarah relasi keraton dan pesantren tetapi juga mengkaji gerakan Islam kebangsaan yang dilakukan oleh satu tokoh ulama yaitu Mbah Muqayyim. Sebuah gerakan perlawanan tokoh agama terhadap penjajah yang didasari oleh semangat pembelaan terhadap agama dan bangsa. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa pola hubungan keraton dan pesantren di Cirebon dibentuk melalui jalur kekerabatan, transmisi keilmuan dan gagasan pelestarian tradisi, dimana Mbah Muqayyim memainkan peran yang sangat penting dalam upaya menjaga tradisi keagamaan keraton yang terancam pudar bersamaan dengan dominasi kekuasaan penjajah Belanda di lingkungan Keraton Kanoman.

 

Kata Kunci : Keraton, Kolonial dan Ulama

Kajian tentang pesantren dan kekuasaan cenderung didekati secara terpisah, padahal ada banyak bukti bahwa keduanya mempunyai hubungan yang erat. Salah satunya terbentuknya Tradisi Besar (Great Tradition) Islam Jawa adalah melalui proses akulturasi antara unsur Islam yang  dibangun oleh pesantren dan unsur kearifan lokal (Tradisi Jawa) yang dibangun oleh keraton (kekuasaan) (Joko Suryo, 2011: 1).

Keraton dan pesantren di Jawa mempunyai pola hubungan yang erat dalam sejarahnya. Hubungan tersebut bisa dimulai sejak munculnya Kerajaan Demak yang mewarisi kekuatan Majapahit dalam memegang hegemoni atas Jawa. Dalam perjalanannya Kerajaan Demak secara nyata memberikan ruang politik kepada Wali Songo dengan tujuan mempercepat penyebaran Islam di Jawa. Kesempatan ini kemudin dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk membuat wadah pendidikan Islam sebagai media mencetak kader-kader pendakwah (Selamet Muljono, 2005:11).

Munculnya pesantren di Cirebon lahir dari tradisi membangun peguron (tempat belajar agama Islam) oleh para penguasa Cirebon. Pangeran Cakrabuwana dan Sunan Gunung Jati sebelum membagun Keraton Pakungwati terlebih dahulu membangun pusat keagamaan di perkampungan Amparan Jati di tahun 1477. Pada tahun 1706 Pangeran Raja Keprabon juga membangun Peguron Kacerbonan sebagai sarana belajar agama anak-anak di lingkungan keraton. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan yang erat antara keraton dan peguron (pesantren) di Cirebon karena keduanya berasal dari akar sejarah yang sama. (M. Sugianto Prawirarerdja, 2005: 80)

Pasca Perang Diponegoro (tahun 1750-1850) merupakan masa kebangkitan pesantren-pesantren di Jawa. Bangkit kembangnya pesantren ini berawal dari para ulama keraton yang memilih menjauh dari istana karena tidak puas dengan dominasi penjajah yang ikut mengatur urusan pemerintahan raja-raja di Jawa. Hijrahnya para ulama dari istana ini kemudian berdampak dengan kemunculan pesantren-pesantren di Pulau Jawa dan Madura. (M. Sugianto Prawirarerdja, 2005: 75)

Pertengahan abad ke 18 merupakan puncak tumbuh dan berkembangnya pesantren-pesantren di Cirebon yang didirikan oleh ulama-ulama keraton. Pesantren Buntet adalah yang paling awal berdiri, didirikan oleh seorang Kiai Penghulu Keraton Kanoman yaitu Mbah Muqayyim pada tahun 1770. Di ujung barat Cirebon juga berdiri Pesantren Babakan Ciwaringin yang menurut cerita masyarakat setempat didirikan oleh Pangeran Alimudin yang kemudian lebih dikenl dengan nama Kiai Ali. Dalam catatan H.Zamzami Amin dijelaskan bahwa Pesantren Babakan didirikan Kiai Hasanudin (Kiai Jatira). Kiai Hasanudin adalah putra KH.Abdul Latif (dari Plumbon) ia adalah keturunan dari Sultan Keraton Cirebon. Di desa Kempek, Palimanan juga berdiri Pesantren yang didirikan Kiai Harun pada tahun 1808. Di selatan Cirebon terdapat Pesantren Balarante yang didirikan oleh Kiai Romli atas perintah Sultan Saifudin atau Sultan Matangaji pada tahun 1774-1784. Dan diujung timur Cirebon berdiri Pesantren Gedongan di desa Ender Kecamata Astana Japura, didirikan oleh Kiai Said pada tahun 1880.(Zamzami Amin, 2014: 86)

 

Hubungan Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet Cirebon

Pendiri pesantren-pesantren di Jawa sebagian besar adalah ulama yang berasal dari keraton. Para ulama keraton ini terkumpul dalam sebuah wadah dengan nama Dewan Parapara, mereka memiliki peran  penting dalam memberi kebijangan politik keraton, keberadaannya sudah ada jauh sebelum datangnya penjajah Belanda ke tanah air.   Di Cirebon, pesantren memiliki hubungan yang erat dengan keraton, baik nasab (genealogi), kerabatan, atau dalam sejarah perjuangannya. Salah satunya hubungan  antara Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet yang  tetap terjaga sampai sekarang, salah satu contohnya masing-masing dari keduanya saling menitipkan dan mengingatkan tentang fenomena yang terjadi ditengah-tengah masayarakat. Juga pada setiap penyelenggaraan tradisi baik di Pesantren Buntet dan Keraton Kanoman masing-masing menghadiri untuk mempererat kekeluargaan.(Wawancara Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet, 2015)

Hubungan Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet setidaknya bisa dilihat dari tiga latar belakang sejarah. Pertama pendiri Pesantren Buntet dan beberapa penerusnya pernah menjadi Penghulu Keraton Kanoman. Kedua Pendiri Pesantren Buntet Mbah Muqayyim dan Kiai Muta’ad adalah keturunan Sunan Gunung Jati pendiri Keraton Cirebon. Dan ketiga, Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet merupakan pusat penyebaran tarekat Syatariyah. Dari tiga latar belakang sejarah hubungan Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet tersebut, bisa dijelaskan sebagai berikut :

 

  1. Mbah Muqqayim dan Keturunannya sebagai Kiai Penghulu Keraton Kanoman

 

Salah satu taktik Belanda dalam melanggengkan imperialisnya bukan hanya dengan menggunakan kekuatan militer, tetapi juga dengan upaya pendekatan agama. Salah satunya adalah merekrut para ulama untuk menjadi penghulu keraton sebagai pengatur kebijakan sosio-religius masyarakat, meski sebenarnya fungsi ulama di Kerajaan Nusantara dengan istilah (Penasehat Tinggi Kerajaan) sudah ada jauh sebelum datangnya penjajah Berlanda (Ibnu Qoyim Ismail,1997: 20).

Sir James Lancaster (perwakilan inggris) mencatat di Kerajaan Aceh, penghulu kerajaan masyhur menggunakan istilah Syaikhul Islam. Diperkiraan pada tahun 1602 Hamzah Fansuri yang menduduki jabatan ini. Kerajaan Demak pun menggunkan Kadi atau penghulu di dalam Istana, tercatat pada awal kekuasaan Raden Patah Sunan Bonang pernah berperan sebagai Kiai Penghulu Kesultanan Demak di tahun 1490, ketika Pangeran Sabrang Lor berkuasa Rahmatullah yang menempati posisi ini ditahun 1521. Sampai kemudian Sunan Kudus menggantikannya. Sedangkan di Banten Kiai Penghulu Mashur dengan nama Pakih Najmudin. Di tahun 1680 Kesultnan Banten memiliki Syekh Yusuf Al-Makasari sebagai mufti di era Sultan Ageng Tirtayasa (Abu Hamid, 1994: 95).

Di Cirebon, Keraton Kanoman semenjak berdirinya merupakan bentukan Belanda, maka tak heran jika Belanda-lah yang mengendalikan segala tatanan pemerintahannya, termasuk mengatur tata hukum peradilan agama. Tujuan Belanda bukan untuk kemaslahatan masyarakat Cirebon, tetapi karena Belanda tahu persis munculnya pemberontakan lahir dari para ulama, sehingga ulama diposisikan dalam birokrasi keraton dengan harapan tidak ada pembangkangan dari masyarakat (M. Sugianto Prawirarerdja, 2005: 61).

Mbah Muqayyim yang pada saat itu menjadi Penghulu Keraton Kanoman cukup sulit mengimbangi situasi politik keraton. Ia harus memilih dua arah, yaitu tetap mendampingi sultan dengan konsekwensi bekerja sama dengan Belanda atau harus rela meninggalkan keraton sebagai wujud perlawanan. Pada akhirnya dipertengahan abad 18 tepatnya tahun 1770 ia memilih meninggalkan Keraton Kanoman menuju ke arah timur selatan Cirebon (A. Zaini Hasan, 2014: 19).

Beberapa surat Mbah Muqayyim yang disimpan oleh Pangeran Haji Mulyono Natadiningrat (Sultan Keraton Kacerbonan) menjadi bukti fisik bahwa Mbah Muqayyim adalah penasehat rohani sekaligus sebagai penghulu Keraton kanoman pada masa Sultan Khaerudin, berikut kutipan surat-surat Mbah Muqayyim:

Kutipan pertama, surat Mbah Muqayyim untuk Sultan Kanoman,

Nama: Kiai Muqayyim, Hatur sembah hamba Muqayyim, kepada Gusti Raja Kanoman. Kiranya tuan sudi untuk membaca surat dari hamba, yang berisi beberapa masalah agama yang perlu dipecahkan.

 

Kutipan kedua, kitab fikih yang ditulis Mbah Muqayyim, peninggalan Kesultanan Kacerbonan, adalah sebagai berikut:

Inilah kitab fikih untuk Raja Kanoman, ditulis oleh Kiai Muqayyim, surat ini dibawa oleh seseorang yang bernama Abdurahman.

Yang memiliki kitab ini adalah Pangeran Raja Kanoman Sultan Muhammad Khaerudin.

Inilah niat ingin mati syahid. Nawaytu ala mauti syahidin lillahi ta’ala.

 

Kutipan ketiga, surat Mba Muqayyim untuk Pangeran Kacerbonan yang sedang menyepi di Sunyaragi, berisi seperti dibawah ini:

Kehadapan: Yang mulia Kanjeng Sultan Kacerbonan Yang sedang berkhalwat di Taman SunyaragiMudah-mudahan Allah Ta’ala memberi kesehatan pada tuanHarapan kami kepada tuan. Mudah-mudahan tuan ditetapkan Iman, Islam Dan selalu mendapatkan keberkahan Allah Dan rahmat dan keutamaan serta kenikmatan Bagi tuan di dunia dan akhirat.(Naskah surat-surat Mbah Muqayyim)

Dari tiga kutipan tulisan Mbah Muqayyim tersebut memberi jawaban bahwa Mbah Muqayyim adalah seorang Kiai Penghulu sekaligus penasehat rohani Keraton Kanoman. Selain sebagai kiai penghulu Mbah Muqayyim juga sering andil ketika keraton dalam masalah, terutama konflik yang ditimbulkan oleh Belanda. Seperti terlihat pada kutipan surat ketiga diatas yang berisi motivasi Mbah Muqayyim kepada Pangeran Kacerbnan yang terusir dari Keraton Kanoman kemudian bertapa di Taman Sunyaragi untuk membersihkan jiwa (A.Zaini Hasan, 2014: 180).

Peran Mbah Muqayyim sebagai Kiai Penghulu Keraton kemudian diteruskan oleh anak keturunannya. Kiyai Kriyan tercatat menjadi penghulu di Keraton Kanoman pada masa Sultan Konoman VI atau pangeran Komarudin (1812-1885), Kiai Said menantu Kiai Muta’ad pada akhir abad 17 juga pernah menjadi penghulu keraton, Kiai Amin Siradj (Cucu Kiai Said) menceritakan bahwa Mbahnya pernah menjadi penghulu Keraton Kanoman. Ketika Kiai Said menjadi penghulu di Keraton Kanoman ia diberhentikan dari jabatannya karena politisasi pihak Belanda, ia dianggap bersalah ketika menentukan awal bulan Ramadhan.106 Juga seperti yang dituturkan Kiai Kadir, bahwa Raden Juned (warga Tuk, Sindang Laut), adalah salah satu keturunan Mbah Muqayyim yang pernah menjadi Penghulu Keraton di akhir abad ke 19 menjelang abad ke 20 M.(Wawancara Kiai Amin Siraj (Pengasuh Ponpes Gedongan, 2013)

 

  1. Pendiri Pesantren Buntet sebagai Keturunan Sunan Gunung Jati

Hubungan antara Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet yang paling terlihat adalah dari garis keturunan. Dalam beberapa sumber dan oral tradisi menjelaskan bahwa Mbah Muqayyim adalah putra KH. Abdul Hadi cucu dari Pangeran Kesultanan Cirebon, dan Kiai Muta’ad (cucu menantu Mbah Muqayyim) adalah keturunan ke- 17 Sunan Gunung Jati dari jalur Pangeran Sutajaya atau Pangeran Seda Ing Gebang (Muahimin AG, 2001: 316).

Dalam beberapa catatan H.Hasan Zaini, tertulis silsilah Mbah Muqayyim dari jalur Ibu berasal dari daerah Kerangkeng Indramayu, putri Lebe Mangku yang dipinang oleh salah satu Pangeran Kesultanan Cirebon. Meskipun keterangan ini belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya tetapi fakta bahwa Mbah Muqayyim dan ayahnya Kiai Abdul Hadi dibesarkan dalam lingkungan Keraton Cirebon mengindikasikan bahwa Mbah Muqayyim adalah keturunan Sultan-Sultan Cirebon.

Muhaimin AG, dalam bukunya Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, menyebutkan silsilah Kiai Muta’ad (cucu Mbah Muqayyim) dalam catatan kaki bukunya adalah sebagai berikut: Kiai Muta’ad putra Kiai Raden Muridn bin Raden Muhammad Nuruddin bin Raden Panjul bin Raden Bagus bin Pangeran Sutajaya (Pangeran Seda Ing Gebang/Sultan Matangaji) bin Dalem Anom (Sultan Senapati) bin Dalem Kebon ing Gebang bin Pangeran Sutajaya kang Seda ing Grogol bin Pangeran Sutajaya kang Seda Ing Tambak bin Panembahan Ratu (P.Girilaya) bin Pangeran Dipati bin Pangeran Pasarean bin Syarif Hidayatillah (Sunan Gunung Jati).

Dari Kiai Muta’ad ini menurunkan banyak keturunan yang tentu saja garis keturunannya sampai pada Sunan Gunung Jati. Dari  beberapa cerita yang datang dari kiai-kiai  Pesantren Buntet, dahulu setiap anak-anak kiai Pesantren Buntet mempunyai nama lain yang diberikan dari Keraton Kanoman tetapi sekarang sudah tidak lagi. Dalam beberapa catatan tentang Pesantren Buntet, bahwa  Kiai Abas dan ayahnya Kiai Abdul Jamil (pendiri Pesantren Buntet) melarang menggunakan gelar dari keraton semacam Raden, Elang atau Ratu kepada siapapun keturunan pendiri Pesantren Buntet. Hal ini menunjukkan ketidak pedulian mereka terhadap gelar dan status sosial, dan juga patut diduga ini adalah bentuk resistensi Pesantren Buntet terhadap keraton yang telah menjadi kaki tangan Belanda (Wawancara dengan Kiai Ade Nasihul Umam, 2015).

 

 

  1. Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet Sebagai Pusat Penyebaran Tarekat Syatariyah.

 

Tarekat Syatariyah di Nusantara diperkenalkan oleh Abdurrauf Al singkeli seorang ulama asal Aceh. Sanad tarekat Syatariyahnya ia dapatkan setelah belajar di Mekkah selama 19 tahun kepada Syeikh Ahmad Al-Qusyaisi, ulama besar Mekah. Pada tahun 1661 Syekh Abdurrauf pulang ke Aceh dan menyebarkan tarekat Syatariyah sebagai bagian upaya Islamisasi di Nusantara, menjelang abad 18 berkat Syekh Abdurauf Al-singkel, tarekat Syatariyah  berkembang dengan pesat ke seluruh Nusantara, mulai dari Pulau Sumatra sampai Jawa (Martin Van Bruinessen, 2012: 237)

Dinamika tarekat Syatariyah di Jawa kemudian berkembang sampai ke Cirebon. Tokoh tarekat Syatariyah muncul dari dua tradisi, yaitu tradisi keraton dan tradisi pesantren. Di keraton, Sunan Gunung Jati merupakan tokoh pertama penganut tarekat Syatariyah, meskipun tidak ada jejak rekam mengenai penyebaran tarekat Syatariyah yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati. Martin Van Bruinnesen dalam buku Pesantren, Kitab Kuning dan Tarekat  menjelaskan bahwa Sunan Gunung Jati adalah penganut tarekat Syadzaliyah, Syatariyah dan Naqsyanbandiyah, yang sanadnya ia dapatkan dari Ibnu Athaillah Al-Iskandari Asyadzaly.  Setelah periode Sunan Gunung Jati,  terdapat Syekh Muhyi Pamijahan, ia mursyid tarekat Syatariyah pada generasi pertama di Jawa bagian Barat. Ijazah tarekat Syatariyah ia dapatkan langsung dari Syekh Abbdurrauf Al-singkeli.

Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet adalah dua lembaga penyebar tarekat Syatariyah. Kiai Muhammad Arjain dan Pangeran Jatmaningrat diduga merupakan dua tokoh yang mengembangkan tarekat Syatariyah di Keraton Kanoman, Kesepuhan dan Kacerbonan dari jalur Syekh Muhyi Pamijahan (Mahrus Elmawa, 2015: 4).  Dalam kitab Dadalan Tarekat Syatariyah Petarekan Ratu Raja Fatimah Keraton Kanoman Cirebon dijelaskan tarekat Syatariyah dibawa oleh Kiyai Muhammad Sholeh yang mengajarkan tarekat Syatariyah kepada Kiai Arjain, dalam kitab tersebut menjelaskan silsilah tarekat Syatariyah dari mulai Kiai Muhammad Sholeh yang belajar kepada Kiai Hasanudin Safarwandi (Kampung Safarwandi, Pamijahan), Kiai Hasanudin belajar Kepada Kiai Abdullah Safarwandi yang merupakan murid Syekh Muhyi Pamijahan (Wawancara dengan Patih Keraton Kanoman, Patih Khadiran, 2015).

Sedangkan silsilah tarekat Syatariyah di Pesantren Buntet diyakini dibawa oleh Kiai Anwarudin Kriyan. Muhaimin Ag menjelaskan dalam bukunya, jalur tareka Syatariyah Pesantren Buntet adalah dari Kiai Asy’ari Kali Wungu Jawa Tengah. Kiai Anwarudin Kriyan mengembangkan tarekat Syatariyah di lingkungan pesantren-pesantren di Cirebon, diantaranya Pesantren Buntet, Pesantren Bale Rante dan Pesantren Benda Kerep (Muhamin AG, 2001, 340).

Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet memang dalam silsilah tarekat Syatariyah dari jalur yang berbeda, tetapi patut diduga kesamaan tarekat ini mengindikasikan ada satu tokoh penyebar tarekat Syatariyah dari jalur silsilah yang sama. Seperti yang terdapat dalam beberapa naskah yang mencatat Mbah Muqayyim pernah belajar tarekat kepada Syekh Muhyi Pamijahan tetapi ia tidak menyebarkannya secara terbuka. Hal ini memungkinkan silsilah tarekat Syatariyah yang ada di Pesantren Buntet memiliki jalur yang sama seperti di Keraton Kanoman (Mahrus Elmawa, 2015: 6).

Silsilah Tarekat Syatariyah Mbah Muqayyim bisa ditemukan dalam naskah Kiai Mas Arifin di Tuk, (Talun-Sumber). Ia menerima ijazah tarekat Syatariyah ketika tinggal di Talun, Sumber, daerah sekitar kota Cirebon, kemudian ia berikan kepada Kiai Mas Arifin. Dalam naskah tersebut tersusun silsilah tarekat Syatariyah Mbah Muqayyim sebagai berikut :

Silsilah Tarekat Syatariyah

Mbah Muqayyim

 

Rasulullah saw.

Ali kang putra Abi Thalib ra.

Husain al-Syahid

Zain al-Abidin

Muhammad Baqir

Ja’far al-Sidiq

Sultan Arifin Abi Yazid al-Bustami

Syaikh Muhammad Magrib

Abu Mudlfar Maulana Rumi Tusai

Abi Hasani al-Harqani

Huda Aqli Mawar al-Nahari Sayyid Muhammad

Asyiq Syaikh Abd Allah al Syatari

Hidayatu Sarmasani

Syaikh Haji Husuri

Syaikh Muhammad Gaus kang putra Hatir al-Din

Sayyid Wajh al-Dini kang putra bangsa Uluwiri

Sigat Allah kang putra Sayyid Rauh Allah

Sayidina Abi Mawahib Abd Allah Ahmad kang putra

Ali kang bangsa Abbas ing Syanawi negarane

Syaikh Ahmad kang putra Muhammad ing Madinah

negarane kang masyhur kelawan Syaikh Ahmad ing

Qusasi

 

Syaikh Abd al-Ra‟uf kang putra Ali kang bangsa Syaih

Fansuri ing Singkil negarane

 

Syaikh Haji al-Muhyi ing Karang negarane ing

Safarwadi Pedukuhane Kiyahi

Pengulu ing Batang negarane kiyahi Talabuddin arane

Kiyahi Muqayyim ing Syarbon negarane ing

Sampiran Pedukuhane

 

Kiyahi Mas Arifin Syirbon negarane Atuk Pedukuhane

Kiyahi Haji Syarqawi Majalengka negarane Babakan

Pedukuhane

 

Kiyahi Bulqiyah Syirbon negarane Sidapurna

Pedukuhane.

 

Integrasi Kultural  Keraton dan Pesantren di Cirebon

 

Hubungan keraton dengan pesantren di Cirebon masih terus terjaga dengan baik sampai sekarang. Relasi antara keduanya terjalin baik berkat akar sejarah yang sama, hubungan keduanya pun kemudian menghasilkan tradisi-tradisi Islam yang melekat pada kehidupan sosial masyarakat. Salah satunya adalah peringatan hari-hari besar Islam yang dilaksanakan sama persis antara dua lembaga tersebut. Keraton dan pesantren Cirebon terintegrasi dalam kultur dan tradisi yang tetap terjaga sampai dengan sekarang. Dimana sebenarnya tradisi tersebut merupakan endapan dari hubungan antara pesantren dan keraton Cirebon sejak abad ke-17. Tradisi tersebut mengakar kuat menjadi warisan budaya yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sosio-religius masyarakat Cirebon (Wawancara pihak Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet, 2015).

Jika berbicara tentang tradisi Islam Jawa maka akan menghasilkan teori di dalamnya. Seperti yang diakatakan Jasques Duchesene Guillemin yang berpendapat bahwa dalam tradisi Islam Jawa selalu terjadi dialog antara tatanan nilai agama dengan tata budaya lokal, begitu pula yang dikatakan Muhaimin AG, bahwa dalam Islam tradisional Jawa termasuk Cirebon tidak ada batas yang jelas mana syariat dan mana adat lokal. Pola dakwah Cakrabuwana dan Gunung Jati yang mengakomodir budaya lokal kemudian menciptakan tradisi-tradisi Islam Cirebon. Deni Hamdani menjelaskan bahwa tradisi-tradisi Islam Cirebon semacam Muludan adalah hasil dari penggabungan dakwah Islam dengan pentas seni budaya. Proses akulturasi Islam dan budaya lokal tersebut telah merubah pemaknaan Islam yang bersifat trans-nasional kedalam bentuk entitas lokal.

Peran dakwah keraton sebagai penguasa dan pesantren sebagai lembaga yang mengembangkan nilai-nilai agama kemudian menghasilkan tradisi yang sama dari keduanya. Salah satunya adalah kesamaan tradisi yang ada pada Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet. Kesamaan tradisi tersebut diantaranya karena pendiri Pesantren Buntet dan generasi berikutnya berperan penting dalam sejarah panjang Keraton Kanoman (Wawancara Patih Keraton Kanoman, 2015).

Integrasi kultural antara Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet terwakili dengan tradisi-tradisi Islam yang menjadi agenda rutin pada kedua lembaga tersebut, seperti tradisi-tradisi Islam dibawah ini:

 

 

  1. Ruwahan

Ruwahan adalah tradisi Islam yang dilaksanakan pada pertengahan bulan Rowah (Nisfu Sya’ban menurut penanggalan Islam) di Keraton Kanoman Nisfu Sa’ban atau Ruwahan dilaksanakan di langgar Keraton Kanoman pada pukul 19.30 dengan serangkaian doa dan pembacaan Babad Syair Nisfu Sya’ban, sedangkan di Pesantren Buntet dengan melaksanakan shalat tasbih, membaca aurad (wiridan) dan pembacaan doa Nisfu Sya’ban.

 

  1. Syawalan

Tradisi ini bertujuan untuk merayakan bulan syawal, bulan kesepuluh kalender Islam-Jawa. Bulan yang jatuh setelah Ramadhan ini oleh sebagian umat muslim dijadikan momentum untuk meneruskan puasa enam hari, tradisi Syawalan oleh masyarakat Islam Cirebon sering juga disebut raya syawal. Di Keraton Kanoman tradisi Syawalan lebih dikenal dengan istilah Grebeg Syawal. Salah satu agenda penting dalam tradisi Syawal adalah ritual ziarah ke makam Syekh Syarif Hidayatillah. Sedangkan di Pesantren Buntet tradisi syawalan dikenal dengan Bada Kupat (Raya Kupat). Raya Kupat di Pesantren Buntet adalah melaksanakan puasa syawal selama enam hari. Setelah selesai para penduduk sekitar komplek pesantren melakukan sowan96 ke sesepuh pesantren dan memakan kupat serta lauk pauk yang disediakan Kiai sebagai perwujudan rasa syukur.

 

  1. Raya Agung (Dzulqhijjah)

Perayaan raya agung di Keraton Kanoman dilaksanakan pada tanggal 10 Raya Agung (10 Dzulhijjah) pukul 06.00 sampai dengan 11.00. Perayaan Raya Agung diawali dengan sultan dan famili berangkat dari Pendopo Jinem Keraton Kanoman Cirebon menuju Masjid Gunung Jati untuk melaksanakan Shalat Idul Adha bersama masyarakat. Setelah pelaksanaan Shalat Id, Sultan mengadakan pisowanan (open house) berlangsung di Pendopo Jinem Keraton Kanoman. Agenda yang lainnya adalah berziarah ke makam Sunan Gunung Jati (Gunung Sembung). Di Gunung Sembung sultan dan keluarga bersitirahat untuk menyantap jamuan yang telah disediakan berupa nasi dan lauk pauk yang dialasi daun jati, sebelumnya sultan yang diwakilkan kepada Pangeran Patih dan Pangeran Kumisi melakukan pembagian rizki kepada masyarakat setempat dengan cara ritual yang disebut surak atau sawer.98 Selain ritual-ritual tersebut tak lupa keluarga Keraton Kanoman melakukan penyembelihan hewan qurban. Sedangkan perayaan Raya Agung di Pesantren Buntet adalah pelaksanaan Shalat Idul Adha, kemudian menyembelih hewan qurban dan sebagian berziarah ke makam sesepuh. Setelah itu para kiai membuka acara sowanan untuk para wali santri dan masyarakat sekitar.

 

  1. Haulan

Haul merupakan tradisi memeperingati hari wafatnya seorang tokoh, yang mungkin saja sosok wali atau pendiri pesantren.100 Di Keraton Kanoman tradisi ini terntunya untuk memperingati hari wafatnya Sunan Gunung Jati, tradisi ini rutin dilaksanakan setiap tahun. Di Keraton Kanoman pelaksananaan haulan berlangsung selama tiga hari dan berbarengan dengan acara Sedekah Bumi serta Nadran. Tardisi ini biasa dimeriahkan dengan arak-arakan berupa kendaraan hias yang bermacam-macam bentuknya. Di Pesantren Buntet Haul dilaksanakan rutin setiap tahun, haul di Pesantren Buntet memperingati wafatnya pendiri dan sesepuh pesantren, acara ini dilaksanakan selama satu pekan dengan agenda ziarah, tahlil. Pada malam acara puncak terdapat pengajian umum yang dihadiri oleh pengurus NU pusat dan pejabat pemerintah.

(Tentang tradisi-tradisi diatas bersumber dari wawancara dengan pihak Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet serta merujuk pada Buku Muahimin AG, Islam dalam Budaya Lokal Potret dari Cirebon).

 

Gerakan Kultural Mbah Muqayyim (Rihlah dari Keraton Kanoman sampai Pesantren Buntet)

 

Semenjak Belanda mengambil alih kedaulatan Kesultanan Cirebon Belanda bebas memainkan politiknya dan berbuat semaunya. Ketiga Kesultanan Cirebon suka atau tidak harus menuruti segala keinginan Belanda. Yang paling menyakitkan adalah tercerabutnya kerifan lokal pada diri setiap keraton, pepakem leluhur harus ditukar dengan kebudayaan bejat barat. Ketiga Keraton Cirebon tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti apa yang diinginkan Belanda. seperti yang dialami Keraton Kanoman, Belanda menerapkan beberapa aturan yang sama sekali tidak memihak pada keraton dan rakyat, seperti keraton tidak lagi difungsikan sebagai pemerintahan dan keraton tidak diperkenankan menjadi pusat dakwah serta pendidikan agama Islam. Kebijakankebijakan seperti ini pun meski pahit tetapi diterima Keraton Kanoman karena tidak punya pilihan selain mengikuti aturan Kompeni Belanda (A.Sobana  Hardjasa, 2011: 57).

Ketika kedaualatan keraton sudah digadaikan Belanda maka semua pepakem yang ada menjadi punah, termasuk legalitas keraton sebagai penerus misi Sunan Gunung Jati (pendirinya). Penguasaan Belanda atas Keraton Kanoman berdampak pula pada kebijakan-kebijakan yang menyangkut dakwah. Secara terang-terangan Belanda membatasi gerakan dakwah ulama di Keraton Kanoman. Mbah Muqayyim yang berperan sebagai Kiai Penghulu jelas menjadi orang pertama yang terbebani, wajah Keraton Kanoman yang sudah berbau Kompeni dan budaya Barat membuat Mbah Muqayyim sebagai penggerak dakwah di lingkungan Keraton Kanoman harus meninggalkan istana (M. Prawiraredja, 2005: 78).

Perjalanan Mbah Muqayyim dari Keraton Kanoman menuju Pesantren Buntet, lebih tepat disebut gerakan kultural. Hal ini dikarenakan ia telah memperlihatkan perannya dalam merubah kehidupan sosio-kultural masayarakat Cirebon, setidaknya dengan ciri-ciri sebagai berikut, Pertama, ia bergerak dalam bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren sebagai basis perjuangan. Kedua, membangun jejaring pesantren di daerah Cirebon sebagai staregi mengepung kekuatan pusat di Kesultanan Cirebon. Ketiga, secara tradisional ia menggerakkan pengaruhnya tidak melalui peperangan langsung, tetapi dengan logika gerakan tradisonal. Salah satunya dengan mengkader tokoh yang disiapkan untuk memgang tampuk Kesultanan Cirebon (Mastuki Hs dan  M.Ishom El-saha, 2003: 197).

Gerakan kultural Mbah Muqayyim telah merubah tatanan kehidupan masayarakat Cirebon khususnya bagian timur. Beberapa daerah yang pernah disinggahi-nya terbukti meninggalkan cerita-cerita yang akrab dengan kisah kepahlawananya. Tempat yang mempunyai hubungan sejarah dengan Mbah Muqayyim kehidupan masyarakatnya masih sangat religi. Selain Buntet dan Pesawahan yang jelas-jelas berdiri pesantren, juga perubahan tersebut terlihat di daerah Tuk Sindang Laut yang terdapat makam Mbah Muqayyim, Ki Ardisela dan Kiai Muta’ad. Keadaan masyarakat yang begitu nyantri sangat terlihat, menurut penuturan beberapa tokoh setempat bahwa nuansa yang agamis di desa Tuk Sindang Laut adalah berkat kesalehan para ulama khususnya Mbah Muqayyim yang telah menjadikan daerah tersebut sebagai bagian dari perjuangannya (Wawancara dengan Kiai Kodir salah satu keturunan Mbah Muqayyim, 2015).

 

Kerangka Islam Kebangsaan Mbah Muqayyim

          Konsep kebangsaan dengan munculnya istilah Indonesia yang dikampanyekan menjadi nama negara, terdengar di Nusantara diperkirakan baru muncul setelah Budi Utomo berdiri di tahun 1908. Artinya sebelum itu para pejuang, kiai dan ulama dalam upaya mengusir penjajah adalah dilandasi kecintaan terhadap tanah air, melawan ketidakadilan dan upaya pembebasan diri. Sebagai contoh Diponegoro mengangkat senjata dalam melawan Belanda tidak terfikir olehnya untuk membentuk bangsa atau negara. Tetapi dasar kecintaan terhadap tanah air dan anti kolonialisme sebenarnya itulah akar dari nilai kebangsaan itu sendiri. (Ali Maschan Moesa, 2007: 6).

Islam secara jelas memerintahkan penganutnya untuk melawan kemungkaran dan ketidakadilan. Lebih-lebih ketika kedzaliman itu menimpa pada  rakyat dan tumpah darah sendiri, maka mengadakan perlawanan itu menjadi wajib hukumnya. Nilai kecintaan terhadap tanah air akan menumbuhan sikap intoleran terhadap siapa saja yang mencoba merusaknya, termasuk upaya bangsa barat dalam menjajah Nusantara. (Jajat Burhanudin, 2012: 147)

Menurut Wertheim dalam George Mc.Kahin (1995:100), datangnya orang  Portugis di wilayah Nusantara, mendorong sejumlah besar bangsawan untuk memeluk kepercayaan Islam sebagai suatu pergerakan politik melawan penetrasi penjajah Kristen. Dari sini bisa dikatakan unsur Islam dan kebangsaan tanpa harus diikat akan dengan sendirinya bertalian kuat tak terpisahkan. Snouck Hurgronje dalam George Mc Kahin, berpendapat, bahwa agama Islam bukanlah agama yang menyerap nurani suatu ciri kebangsaan secara pasif, akan tetapi agama ini justru menjadi pengadaan saluran dini dari perkembangan nasionalisme yang matang.

Menurut Otto Bauwer (1939) suatu bangsa terbentuk karena pengalaman penderitaan, kesengsaraan, dan kepahitan hidup yang sama. Sartono Kartodirjo menyebutkan dasar-dasar prinsip kebangsaan salah satunya adalah kecintaan terhadap tanah air, dan munculnya ide-ide untuk membebaskan diri dari penjajah.18 Dan Soekarno sendiri dalam pidatonya mengatakan bahwa suatu bangsa terbentuk bukan hanya karena memiliki ciri-ciri tertentu saja tetapi juga karena ditandai oleh kesamaan rasa cinta tanah air. Masa kerajaan Islam Jawa, nilai kebangsaan bisa juga ditengok pada diri raja-raja Nusantara dalam mengabdi kepada rakyat dan berprinsip anti monarkisme-kolonial.

Jika melihat teori-teori kebangsaan yang disebutkan diatas, maka gerakan yang dilakukan Mbah Muqayyim di Cirebon juga bukan hanya mempertahankan akidah Islam, tetapi juga dilandasi oleh semangat kebangsaan. Hal ini dengan beberapa analisa sebagai berikut, pertama: ditemukannya surat Mbah Muqayyim yang berisi motivasi dan do’a kepada Pangeran Anom yang kalah dalam suksesi pergantian tahta karena politisasi Belanda. Ini mengindisikan Mbah Muqayyim sangat mencintai raja dan keraton sebagai lembaga yang didirikan oleh leluhur di atas tanah airnya. Kedua: kepergian Mbah Muqayyim dari Keraton Kanoman membuktikan ia sangat anti kolonialisme. Ketiga: menurut oral history, Mbah Muqayyim di celah-celah pengajiannya, kepada para santri kerap kali mengajarkan ilmu ketatanegaraan dan nilai-nilai pemebelaan terhadap tanah air. Ia juga telah melakukan riyadhah puasa selama 3 tahun untuk tanah air dan rakyatnya sebagai perwujudan hubbul wathan minal iman.22 Dan keempat, terbukti anak keturunan Mbah Muqayyim memegang peranan penting dalam pergerakan nasional menjelang kemerdekaan. Ini bisa ditafsiri, bahwa Mbah Muqayyim benar-benar menitipkan nilai-nilai semangat kebangsaan kepada anak keturunannya.

 

Kesimpulan

 

Abad ke 18 adalah puncak dominasi Belanda atas pulau Jawa, pada masa tersebut hampir tidak tersisa kekuatan yang dimiliki kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Mataram, Banten, dan Cirebon semuanya memasrahkan kedaulatannya kepada Belanda. Sejak saat itu babakan sejarah ketangguhan Kerajaan Islam telah berakhir. Kerajaan Cirebon yang lebih dulu menyerah pada Belanda (1677) lebih bernasib menyedihkan dengan terpecahnya kerajaan menjadi tiga kesultanan.

Semenjak dominasi bangsa penjajah atas seluruh kerajaan Islam-Jawa, kerajaan tidak mampu lagi mempresentasikan fungsinya sebagai agen politik religi bagi kehidupan masyarakatnya. Hal ini mengakibatkan sebagian ulama kerajaan (kiai penghulu) sebagai pengatur kebijakaan agama memilih untuk meninggalkan kerajaan dan membangun misi dakwahnya melalui pesantren.

Pada pertengahan abad ke 18 muncul beberapa pesantren yang didirikan oleh ulama-ulama keraton. Pesantren Buntet adalah yang paling awal berdiri, (1789), pesantren ini didirikan seorang Kiai Penghulu Keraton Kanoman yaitu Kiai Muqayyim. Di ujung barat Cirebon juga berdiri Pesantren Babakan yang didirikan Kiai Hasanudin (Kiai Jatira). Kiai Hasanudin adalah putra KH.Abdul Latif (dari Plumbon) ia adalah keturunan dari Sultan Keraton Cirebon. Di desa Kempek, Palimanan juga berdiri pesantren yang didirikan Kiai Harun pada tahun 1808. Di selatan Cirebon terdapat Pesantren Balarante yang didirikan oleh Kiai Romli atas perintah Sultan Saifudin atau Sultan Matangaji pada tahun 1774-1784. Dan diujung timur Cirebon berdiri Pesantren Gedongan di desa Ender Kecamatan Astana Japura, pesantren tersebut didirikan oleh Kiai Said pada tahun 1880.

Di Cirebon pada tahun 1788-1808 bisa dikatakan adalah masa peralihan fungsi dakwah keraton ke pesantren. Setelah keraton dalam dominasi Belanda maka keraton dianggap tidak mampu lagi mengemban amanah rakyat, saat itulah pesantren yang mengambil alih peran tersebut. Salah satunya diwujudkan dengan melakukan perlawanan terhadap penjajah yang dipelopori oleh kiai pesantren.

Jauh sebelum meletusnya perang Jawa yang dimotori Diponegoro, Kiai Muqayyim telah melakukan perlawanan kultural terhadap penjajah Belanda. Cerita kepahlawanannya telah menitipkan semangat juang yang sangat luar biasa bagi anak cucu dan keturunannya. Meskipun perlawanannya tidak terorganisir dengan baik, namun terbukti Kiai Muqayyim tak pantang menyerah melawan Belanda sejak di Keraton Kanoman hingga mendirikan Pesantren Buntet di wilayah timur selatan Cirebon.

Kiai Muqayyim yang oleh masyarakat Cirebon lebih akrab dengan sebutan Mbah Muqayyim adalah sosok yang bukan hanya gigih mempertahankan akidah Islam, tetapi juga kecintaannya terhadap tanah air terpatri kuat dalam perjuangannya. Sehingga keseimbangan semangat jihad Islam dan jiwa nasionalisme-nya lebih pantas disebut dengan istilah Gerakan Islam Kebangsaan.

Jejaring gerakan Islam kebangsaan Mbah Muqayyim dimulai dari Keraton Kanoman sampai pengembangan dakwahnya dengan membangun Pesantren Buntet di tahun 1789. Daerah Pesawahan (Cirebon), Tuk Sindang Laut (Cirebon), Setu (Cirebon) dan Pemalang (Jawa Tengah) adalah beberapa tempat yang menjadi saksi dalam sejarah gerakannya. Di tempat-tempat tersebut juga oleh masyarakat setempat mashur tersebar kisah-kisah ketangguhan Mbah Muqayyim dalam melawan penjajah Belanda.

Gerakan Islam kebangsaan Mbah Muqayyim dari Keraton Kanoman sampai mendirikan Pesantren Buntet kemudian menorehkan relasi antara keduanya. Hubungan kekerabatan dan persinggungan sejarah antara keduanya pada akhirnya memunculkan tradisi-tradisi Islam yang tetap terjaga pada dua institusi tersebut sampai sekarang. Tradisi Islam yang ada di Keraton Kanoman juga diselenggarakan secara rutin di Pesantren Buntet, meski dalam perkembangannya sudah banyak pergesaran yang menyebabkan banyak perbedaan. Hubungan Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet setidaknya bisa dilihat dari tiga latar belakang sejarah. Pertama Pendiri Pesantren Buntet dan beberapa penerusnya pernah menjadi Penghulu Keraton Kanoman. Kedua Pendiri Pesantren Buntet Mbah Muqayyim dan Kiai Muta’ad adalah keturunan Sunan Gunung Jati pendiri Keraton Cirebon. Ketiga, Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet merupakan pusat penyebaran tarekat Syatariyah.

Sejarah telah mencatat keraton dan pesantren terbukti telah mampu membangun dan menata kehidupan sosiokultural masyarakat Cirebon. Keraton sebagai lembaga politik sejak didirikan Sunan Gunung Jati sampai generasi Sultan Kanoman IV (Sultan Keraton Kanoman) telah mampu membentuk karaktek Islam lokal Cirebon yang khas. Sedangkan pesantren yang mewakili segenap unsur Islamnya telah gigih melakukan perlawanan terhadap imperialisme Belanda sebagai representasi ungkapan “Hubul Wathan Minal Iman.Hal ini telah dibuktikan Mbah Muqayyim dan anak keturunannya yang telah menjadikan Pesantren Buntet sebagai agen gerakan kultural Islam dan basis upaya bela Negara.