Gagal Faham “Allahu Akbar”

278

Pekik “Allahu Akbar” itu kini sudah menjadi trend meski masih berlaku di kalangan terbatas. Ia mengisi “mind” anggota kelompoknya untuk dijadikan “mainstream” khas kelompok itu sendiri.

Tak jarang, bentrok perkelahian, alih-alih disadari sebagai bentuk dosa yang mengharuskan “Astaghfirullah” menggema, malah menjadi kawah bergolak bagi pekik “Allahu Akbar” yang pada awalnya merupakan simbol eksistensi Allah yang Maha Mutlak lalu dengan serampangan dijadikan simbol eksistensi kelompok yang serba relatif.
Terjemah sederhana dari kalimat agung itu kita kenal sebagai “Allah Maha Besar”. Seberapa besarkah Ia? Kiai Mustofa Bisri ar-Rembangi berujar kita tidak bisa mengukur segala yang terselip didalamnya kata “Maha”. Untuk mendekatkan ke-Maha-an itu pada diri kita, kita diharuskan untuk ber-i’tiraf (usaha mengetahui) betapa tidak Maha-nya kita.
Saat “Allahu Akbar” digemakan maka pada saat itu diri kita harus tersadar betapa kecilnya segala potensi dalam diri bahkan untuk mengukur diri sendiri. “Allahu Akbar” seharusnya dijadikan simbol kerendahan hati, bukan simbol klaim atas kebenaran diri, apalagi simbol kesombongan untuk melakukan kerusakan disana sini.
“Allahu Akbar”saat diucapkan, seharusnya dapat memusnahkan segala amarah, membuat sirna caci-maki dan menghilangkan rasa benci. “Allah Maha Besar”, amarah kita kecil dan sirna, caci-maki kita tak pantas adanya, kebencian kita harus terasing sejauh-jauhnya.
Kondisi sebaliknya malah menjadi tontonan harian, seolah “Allahu Akbar” dalam versi beringas itu adalah tuntunan bagi umat Islam. Sayangnya, tontonan itu selalu berulang, sehingga menegaskan kekhawatiran kita, “Allahu Akbar” dalam keberingasan itu diterima sebagai kebenaran.
Penting kiranya, bagi setiap pengamal lapadz “Allahu Akbar”untuk menginsyafi makna dan substansi terdalam dari lapadz yang mereka ucapkan. Sehingga, benang merah dari lapadz yang terucap sebanyak 33 kali setiap habis shalat itu dapat tersambung dalam perilaku sosial yang menyejukan. Bukankah puncak keberagamaan itu adalah perilaku mencintai, pantaslah Habib sejati menjadi Pecinta Sejati. (Farid Farhan)