Empat Ciri Keberagamaan Moderat Menurut Alissa Wahid

82

Empat Ciri Keberagamaan Moderat Menurut Alissa Wahid

Jogjakarta—Indikator keberagamaan yang moderat adalah komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi. Hal itu dikatakan Alissa Wahid nara sumber Workshop Moderasi Beragama UIN Sunan Kalijaga pada Sabtu (12/12) di Jogjakarta.

“Komitmen kebangsaan adalah penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945 dan regulasi di bawahnya”, terang Alissa sebagai ciri yang pertama.

Alisa memaparkan sikap toleransi adalah menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya dan menyampaikan pendapat. “Anti kekerasan, yakni menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan”, sebagai ciri moderat lainnya terang Alissa Wahid.

Orang yang moderat, lanjut Alissa adalah sikap penerimaan terhadap tradisi, yakni ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam berperilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama.

Sahiron Syamsuddin Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum, Perencanaan Dan Keuangan menyoroti pentingnya tolertansi dalam berbangsa dan bernegara. “menghindari klaim kebenaran keagamaan eksklusif (exclusivist religious truth claim), klaim bahwa kebenaran dan keselamatan hanya pada dirinya dan kelompoknya saja”.

Menghindari sikap semacam ini, menurutnya didasarkan pada Q.S. Al-Baqarah: 111-113 yang menjelaskan bahwa pada masa Nabi Muhammad Saw sekolompok Yahudi dan Nasrani bertikai di hadapan beliau dan masing-masing meyakini kebenaran dan keselamatan eskatologis hanya pada diri mereka.

Pertikaian ini lalu dilerai oleh beliau dengan mengemukakan wahyu Allah tersebut, yang intinya adalah: (1) exclusivist truth claim ini tidak didasarkan pada kitab suci mereka masing-masing, dan (2) yang akan selamat adalah man aslama wajhahū lillāhi wa-huwa muḥsin (semua orang yang tunduk kepada Allah dengan cara tidak menyekutukannya dengan yang lain dan berbuat baik).

Sementara itu, instruktur lain, Imam Nahe’i, menjelaskan penting melakukan interpretasi ulang terhadap teks-teks keagamaan yang makna literalnya tampak bertentangan dengan Islam sebagai agama rahmah (kasih sayang).

Adib Machrus Kasubdit Bina Keluarga Sakinah, Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI menyampaikan materi tentang strategi mengenali masalah di masyarakat, mencari penyebabnya dan memecahkannya melalui metide perubahan/transformasi sosial dengan menjalani proses yang disebut Iceberg Analysis & U-Process.

Adib mengurai 8 metode Iceberg Analysis & U-Process diantaranya “mengenal apa yang terjadi”. Seseorang harus menangkap fakta yang sesungguhnya, bukan opini, asumsi atau dugaan.

Adib melanjutkan kedua adalah mengetahui pola, kecenderungan dan tren terkait dengan fakta tersebut yang mencakup sikap, perilaku dan kebiasaan yang dapat dilihat; Ketiga, mencari struktur penyebab munculnya fakta tersebut yang mencakup tradisi, budaya, sistem pemerintahan dan lain-lain.

Workshop digelar selama empat hari, 11-14 Desember 2020 dan dipandu langsung oleh Alissa Wahid, Tim Imam Nahe’i, dan Nur Hasyim. Diikuti oleh 16 dosen muda dan 4 pengurus Pusat Moderasi Beragama dan Kebinekaan (PMBK).