Ekspresi Islam Nusantara : Nafas Islam Dalam Tradisi Sedekah Bumi

2765

Ekspresi Islam Nusantara : Nafas Islam Dalam Tradisi Sedekah Bumi

 

Pendahuluan

Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, ekpresi lokalitas dalam bentuk upacara dan perayaan komunitas masyarakat semakin “hilang” dari dinamika zamannya. Konflik dengan tradisi baru berupa agama dengan model puritan dan kebijakan pembangunan dengan paradigma modernisasi kian menggerus keberadaannya. Salah satu bentuk tradisi masyarakat tradisional yang lahir dari keunggulan intelektualitas masyarakat pada zamannya adalah tradisi sedekah bumi.

Sebagai ikhtiar untuk merekam kembali kearifan nilai-nilai lokal itulah, menjadi sangat penting untuk menelusuri kembali khazanah tradisi para leluhur. Benarkan sedekah bumi sebagai tradisi leluhur yang penuh takhayul dan khurafat? Praktek klenik yang jauh dari nilai syariat agama? Atau justru ekpresi tersebut syarat dengan nilai yang disebabkan kebodohan generasi masa kini dalam menangkap simbol-simbol tradisi yang dijalankan oleh para leluhur ? Bagaimana asal muasal, praktek dan dinamikanya saat ini ?

Mengenal tradisi adalah cara yang baik untuk mengambil sikap terhadap tradisi itu. Bagaimanapun, tradisi muncul dari hasil pemikiran para pendahulu kita dalam menghadapi persoalan hidup di dalam lingkungannya (Jakob Soemarjo, 1997, 208).

 

Riwayat Sedekah Bumi

Semua suku bangsa pasti mengenal mitologi atau mite yaitu dongeng suci yang mengandung kepercayaan terhadap asal mula kejadian dari sesuatu yang ada, seperti terjadinya manusia, alam semesta, tentang mengapa matahari terbit dari Timur dan terbenam di Barat, tentang mengapa matahari dan bulan selalu kejar mengejar sepanjang masa, tentang kejadian padi, kejadian-kejadian lainnya diluar kemampuan manusia (Agraha Suhandi, 1991,190)

Salah satu sistem kepercayaan atau mitologi yang dianut masyarakat Indonesia adalah tentang terjadinya tempat-tempat tertentu dan terjadinya padi. Mitologi atau dongeng-dongeng suci tentang terjadinya tempat-tempat, danau-danau, gunung-gunung dan sebagainya seringkali masih sangat dipercayai dan memiliki makna dan nilai tertentu dalam alam pikiran suku-suku bangsa di Indonesia. Misalnya tentang terjadinya gunung Tangkuban Perahu (Sunda), gunung Batok (Tengger), danau Toba (Batak), serta dongeng suci yang berhubungan dengan tokoh-tokoh dalam legenda seperti sangkurianIg (Sunda), Joko Tole (Madura), Siraja Batak (Batak), dan cerita nenek moyang yang menurunkan adat-istiadat tertentu, terjadinya tanaman atau tumbuhan tertentu seperti padi sebagai sebuah penjelamaan dewi atau yang memiliki sifat-sifat kedewaan, sehingga perlakuan terhadap padi sesuai dengan kepercayaan bahwa padi merupakan penjelmaan dewi padi. (Ibid).

Perghormatan nenek moyang kita terhadap terhadap padi merupakan hal yang wajar, karena kehidupan mereka sangat tergantung dengan alam, dan menggantungkan hidup sepenuhnya dari pertanian. Inilah sebabnya dibanyak masyarakat suku selalu ada ritual panen dan ritual menanam padi. Ada banyak mitologi-mitologi bagaimana manusia mengenal padi. Padi adalah sebuah perkawinan kosmik. Padi itu bukan tanaman biasa. Padi adalah tubuh Dewi Sri yang dating Dari Dunia Atas. Begitu hormatnya mereka terhadap tanaman padi dan tanaman-tanaman lain, sehingga muncul kepercayaan metafisik bahwa semua itu ada campur tangan dengan Dunia Atas. Semua itu hasil perkawinann kosmik antara langit dan bumi.

Sebagai contoh, pada masyarakat sunda dikenal dengan Pohaci Nyi Sri. Adat tukang tani pada masyarakat lama Suku Sunda tidak bosan-bosan berbakti kepadanya. Semua hal yang tidak menyenangkan tukang tani dan pantangan-pantangannya; semua kesenangan dan kegembiraan dialami oleh tukang tani (H. Hasan Mustapa, 2010, 109). Mengenai mitologi Nyi Sri Pohaci ini diriwayatkan dengan runtut oleh Jakob Soemardjo (2011 : 93-94), sebagaimana terungakap berikut ini :

Nyi Pohaci tidak dilahirkan oleh siapapun. Ia berasal dari sebutir telur. Dan telur itu semula berasal dari tetesan air mata Dewa Naga Anta (dunia bawah). Pada awalnya Dewa Guru (dunia atas) mau membangun istananya. Semua dewa bergotong royong membangun Bale Mariuk – Gedung Sasaka Domas. Hanya Naga Anta tidak dapat ikut membangun, karena tidak punya tangan untuk bekerja. Batara Narada, wakil Dewa Guru, memarahi habis-habisan Naga Anta.

Sang Naga menangis oleh keterbatasan kodratinya, mau tetapi tidak mampu. Dalam menangis itu Naga Anta meneteskan tiga air mata. Tetesan itu serta merta berubah menjadi tiga butir telur. Ketiga butir telur itu dibawa Naga Anta kepada Dewa Guru dengan digigit. Ditengah jalan, ia ditegur elang, tetapi tidak dijawab, karena mulutnya menggigit telur. Elang marah dan menyambar Naga Anta, akibatnya dua telur itu jatuh di bumi dan menjadi kalabuat dan Budug Basu (semacam babi hutan). Hanya sebutir telur sampaim di depan Dewa Guru. Setelah Naga Anta disuruh mengeraminya, maka dari telur itu keluarlah seorang bayi perempuan yang cantik, dinamai Nyi Pohaci. Bayi disusui sendiri oleh istri Dewa Guru, Dewi Ummah.

Setelah Nyi Pohaci remaja, Dewa Guru bermaksud memperistrinya. Akan tetapi Nyi Pohaci jatuh sakit dan mati. Oleh dewa Guru, mayat Nyi Pohaci diperintahkan untuk dikubur di dunia tenah (tempat tinggal manusia). Dari kuburan Nyi Pohaci muncullah macam tanaman yang amat berguna bagi manusia Sunda. Kepalanya menjadi pohon kelapa. Mata kanannya menjadi padi biasa (putih). Mata kirinya menjadi padi merah. Hatinya menjadi padi ketan. Paha kanan menjadi bamboo aur. Paha kiri menjadi bambu tali. Betisnya menjadi pohon enau. Ususnya menjadi akar tunjang. Rambutnya menjadi rerumputan. Pendek kata, semua tumbuhan yang amat dibutuhkan masyarakat Sunda berasal dari tubuh Nyi Pohaci.

 

Sedekah Bumi ; Benturan Tradisi dan Syariat?

Franz Magnis Suseno dalam bukunya “Etika Jawa”, mengatakan manusia itu harus mensyukuri nikmat apapun yang diberikan oleh Tuhan dengan cara melaksanakan ritual-ritual yang ada dalam setiap tradisi Jawa misalnya: sedekah bumi, suronan, upacara bulanan, dan tradisi-tradisi Jawa lainnya. Hal ini merupakan bentuk syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan cara dituangkan melalui upacara-upacara tersebut. Orang Jawa mempercayai bahwa hidup ini penuh dengan upacara, itu semula dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang dikehendaki yang akan membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia, tentu dengan upacara diharapkan agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat. Namun, sebenarnya esensinya itu ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Masih menurut Magnis Suseno, ciri khas kebudayaan Jawa adalah terletak pada kemampuannya yang luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri gelombang kebudayaan dari luar, namun tetap mampumempertahankan keasliannya. Maraknya tradisi memperingati dan ataupun merayakan peristiwa penting dalam perjalanan hidup manusia dengan melaksanakan serangkaian upacara, disamping merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat sekaligus sebagai manifestasi upaya manusia untuk mendapatkan ketenangan rohani.

Tujuan slametan secara umum, adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman, dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata dan juga makhluk halus (suatu keadaan yang disebut slamet). Walaupun kata slamet dapat digunakan untuk orang yang sudah meninggal (dalam pengertian “diselamatkan”), ada yang mengatakan kata slametan tidak layak digunakan dalam upacara pemakaman, dan menggunakannya berarti keliru. Alasan utama penyelenggaraan slametan meliputi perayaan siklus hidup (rite de passage), menempati rumah baru, dan panenan, dalam rangka memulihkan harmoni setelah perselisihan suami istri atau dengan tetangga, untuk menangkal akibat mimpi buruk, dan yang paling umum adalah memenuhi nadhar atau janji, misalnya bernazar akan menyelenggarakan slametan kalau anaknya sembuh dari sakit, tetapi tidak ada alasan yang lebih kuat daripada keinginan mencapai keadaan yang aman dan sejahtera (Ahmad Khalil, 2008, 279-280).

Banyak penyebutan yang berbeda-beda mengenai istilah sedekah bumi pada daerah-daerah tertentu, seperti istilah ruwatan yang memiliki arti satu upacara tradisional supaya orang terbebas dari segala macam kesialan hidup, nasib jelek dan supaya selanjutnya bisa hidup selamat sejahtera dan bahagia, tapi pada intinya sama saja.

Sedekah bumi berarti menyedekahi bumi atau niat bersedekah untuk kesejahteraan bumi. Bersedekah adalah hal yang sangat di anjurkan, selain sebagai bentuk dari ucapan syukur atas segala nikmat yang telah di berikan Yang Maha Kuasa, bersedekah juga dapat menjauhkan diri dari sifat kikir dan dapat pula menjauhkan diri dari musibah. Melihat dari semua itu, sungguh sangat perlu untuk melaksanakan ritual sedekah bumi. Bumi yang hakikatnya sebagai tempat hidup dan bertahan hidup bagi semua makhluk yang ada didalamnya, sudah selayaknya kita sebagai manusia yang sejatinya adalah khalifah atau pemimpin di muka bumi ikut menjaga dan mendo’akan agar keselamatan dan kesejahteraannya terjaga. Bila bumi sejahtera, tanah subur, tentram, tidak ada musibah, maka kehidupan di bumi pun akan terjaga dan manusia pun pada akhirnya yang memetik dan menikmati kesejahteraan itu.

Dalam prakteknya Upacara Sedekah Bumi antara satu daerah dengan daerah lainnya tidak sama, terkait pula dengan kebiasaan dan situasi yang ada pada masing-masing tempat. Intinya kegaitan ini diselenggarakan menjelang musim tanam dan pada akhir musim tanam. Biasanya upacara Sedekah Bumi diselenggarakan di sawah demplot yaitu sawah percontohan milik perorangan yang dikelola secara bersama-sama.Tidak semua desa memiliki sawah demplot. Apabila di suatu desa yang akan menyelenggarakan upacara Sedekah Bumi tidak memiliki sawah demplot, maka upacara Sedekah Bumi diselenggarakan di sawah yang letaknya strategis misalnya di pinggir jalan, di sawah yang pematangnya luas, atau sawah dengan hasil panen yang baik.

Tempat lainnya dari Ritual Sedekah Bumi adalah tempat-tempat sakral atau pendopo desa.  Di pendopo desa yaitu tempat dilaksanakannya keramaian berupa pertunjukan kesenian. Pada beberapa tempat, diselenggarakan pertunjukan wayang. Di jawa biasanya diselenggarakan wayang purwa. Pertunjukan wayang kulit purwa ini sebagai isyarat atau pengumuman kalau sudah waktunya para petani bersiap-siap untuk mengerjakan sawahnya masing-masing.

Biasanya setelah melakukan doa di di tempat-tempat yang dianggap sakral oleh penduduk desa maka selanjutnya seluruh penduduk desa secara bersama dan berbondong-bondong akan menuju pendopo desa atau atau alun-alun desa untuk merayakan pesta rakyat yang sudah direncanakan. Seluruh warga berkumpul untuk menikmati acara pesta rakyat sambil menikmati sesaji yang telah mereka bawa dan kumpulkan sebelumnya.

 

Sedekah Bumi Sebagai Kesadaran Kosmologis

Alam dan manusia itu nilainya sama, terutama dalam hal alam materilanya. Semua unsur alam semesta ini ada dalam tubuh manusia, yakni tanah, air, api dan angin. Kelebihan manusia adalah alam batin dan pikirannya. Dengan pikiran dan rohaninya itulah manusia menjalin persaudaraan dengan alam lingkungannya. Mikrokosmos manusia adalah makrokosmos semesta. Mikrokosmos adalah makrokosmos. Manusia adalah alam. Alam adalah manusia. Persahabatan dengan alam adalah persahabatan dengan sesama manusia. Menyakiti alam berarti menyakiti manusia sendiri. Merusak alam berarti merusak manusia sendiri. Menghormati alam adalah menghormati manusia. Nilai-nilai persahabatan atau persaudaraan antara manusia dan alam lingkungan itu diatur dalam tata nilai metakosmosnya. Nenek moyang Indonesia yang petani itu mengenal system kosmologi. Kosmologi adalah etika sosial. Kosmologi adalah filosofi hidup nenek moyang. (Jakob Soemarjo, 2011, 303).

Nenek moyang Indonesia itu manusia sederhana. Mereka cukup bersyukur kalau hasil pertaniannya mencukupi bagi seluruh maysrakat. Mereka adalah kelompok-kelompok otonom. Mereka tidak tergantung dari kerja kelompok lain. Mereka menggantungkan diri pada kelompok pada kemampuan sendiri dalam menjalin hubungan dengan alam lingkungan. Mereka tidak tergantung dari kerja kelompok lain. Mereka menggantungkan diri pada kemampuan sendiri dalam menjalin hubungan dengan alam lingkungan. Mereka tidak serakah dengan menginginkan hasil pertanian yang melebihi kebutuhan mereka. Mereka mencukupi diri sendiri begitu rupa sehingga kalau ada anak-anaknya yang tak menghabiskan nasi makan siangnya akan ditakut-takuti dengan peringatan bahwa butir-butir nasi yang tak termakan akan menangis. (Ibid)

Pola hidup sederhana yang selalu menjadi salah satu prinsip penting dalam kehidupan masyarakat Jawa, itu merupakan bagian dari tatanan hidup (Paugeraning Pangurip) dalam budaya masyarakat agraris, yang harus menjalani dan mengisi hidup dengan cara ingat tidak lupa diri (eling),  berkesesuaian (prasaja) dan sederhana (sakmadia). Hal ini tidak dapat lepas dari hubungan manusia dengan lingkungan hidup, baik yang berupa persawahan, ladang, semak, maupun hutan. Ada “rasa alam” yang dibudidayakan dan dimanfaatkan. Dasar pertanian masyarakat Jawa adalah budidaya beras dengan irigasi yang dilengkapi pelbagai ladang palawija kering dan pemeliharaan pohon-pohon.

Simbolik orang Jawa tentang hidup, menekankan corak keseimbangan manusia yang melahirkan nilai-nilai keselarasan, kesadaran sosial dan moral yang berpusat saling menghormati perasaan antara sesama (rasa-pangrasa). Kesadaran yang dikaitkan dengan rasa eling, prasaja dan sakmadia, menurut Serat Wulangreh juga merupakan sarana untuk melatih hati agar semakin cerdas dan bening (lantip ing sasmita), mengingat orang yang hidup berlebihan cenderung mengurangi keprihatinan (kaparayitnaning) dalam batin. Manusia Jawa tunduk pada masyarakat, dan sebaliknya tunduk kepada kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dan halus, baik secara sosial maupun Kosmologi. Sejak dahulu, itu disimbolisasikan dengan “raja gunung”, yang dianggap pusat otoritas spiritual nenek moyang dan merupakan pusat kehidupan alam semesta.

 

Sedekah Bumi tergerus Modernisasi

Modernisasi pertanian tidak hanya berpengaruh pada mekanisme kerja melainkan juga pada tradisi-tadisi lokal agrarian dan agama yang secara inheren bersifat integral terhadap hidup masyarakat petani, termasuk tradisi sedekah bumi yang merupakan akulturasi tradisi mistis dan agama yang dilakukan masyarakat petani ketika masa tanam dan panen yang dipercaya sebagai ritus suci yang dipercaya bias membawa berkah dan meingkatkan hasil panen lama kelamaan memudar, dainggap syirik, tidak efisien dan rasional.

Modernisasi pertanian merupakan fenomena ganda, disatu sisi modernisasi pertanian membawa arah baru dan janji kemakmuran yang tak terbantahkan, disisi yang lain modernisasi membawa resiko yang perlu diantisipasi; pengangguran, kesenjangan sosial, keruksakan ekologi, arus urbanisasi serta lunturnya tradisi-tradisi lama, khususnya tradisi sedekah bumi yang menyimpan makna, symbol-simbol, dan nilai-nilai luhur budaya yang harus terus dilestarikan.

Manusia modern telah jauh dari alam lingkungan, dan mereka hidup dalam alam buatannya sendiri. Manusia modern sudah tidak mengenal lagi makna pohon, sungai, hutan, rawa-rawa, gunung bagi kehidupan manusia ini. Mikrokosmos manusia adalah otonom. Makrokosmos adalah obyek sasaran manusia. Alam sebagai benda mati. Alam dibunuh oleh manusia modern. Sehingga wajarlah, secara tidak terduga membalas perlakuannya.

Sedekah Bumi dalam Nafas Islam

Serangkaian dari upacara dan praktek slametan tersebut dalam bahasa agama dikenal dengan nama Syukur. Imam al-Ghazali berpendapat, syukur merupakan salah satu maqam (derajat atau stage) yang paling tinggi dari sabar, khauf (takut) kepada Allah SWT, dan lain-lain. Syukur adalah mengerahkan secara total apa yang dimiliki untuk mengerjakan apa yang paling dicintai Allah SWT. Kesyukuran itu merupakan maqam yang mulia dan pangkat yang tinggi sebagaimana firman Allah SWT yang bermaksud dalam Al-Qur‟an surat al-Nahl:114

تَعْبُدُونَ إِيَّاهُ كُنْتُمْ إِنْ اللَّهِ نِعْمَتَ وَاشْكُرُوا طَيِّبًا حَلَالًا اللَّهُ رَزَقَكُمُ مِمَّا فَكُلُوا

“Maka makanlah yang khalal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan bersyukurlah nikmat Allah SWT, jika kamu memang hanya menyembah kepada-Nya”.

Amin Syukur dalam bukunya Tasawuf bagi Orang Awam mendefinisikan syukur sebagai bentuk operasionalisasi nikmat Allah, di jalan yang diridhai-Nya sesuai bentuk nikmat itu. Siapa saja yang menggunakan (memfungsikan) nikmat dengan baik, maka Allah SWT akan menambah dengan nikmat lainnya, yaitu wawasan yang luas, demikian seterusnya. Barang siapa yang tidak menggunakan nikmat di jalan Allah SWT, maka akan mendapat adzab yang pedih, seperti kebodohan, kezhaliman, dan sejenisnya.

Berdasarkan uraian tersebut, pada dasarnya selama manusia diberi nafas kehidupan, manusia telah mendapat anugerah Allah SWT dan tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bersyukur, bahkan siapa yang tidak bersyukur (bersikap pasif terhadap anugerah Allah, atau tidak berbuat apa-apa) maka manusia sungguh dalam kerugian.

Allah SWT membarengkan syukur dengan iman, dan dia menyatakan tidak hendak menyiksa makhluk, yang bersyukur dan beriman kepada-Nya. Allah Swt berfirman Al-Qur‟an surat Al-Nisa‟: 147

عَلِيمًا شَاكِرًا اللَّهُ وَكَانَ وَآمَنْتُمْ  شَكَرْتُمْ إِنْ بِعَذَابِكُمْ اللَّهُ يَفْعَلُ مَا

Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.

Allah SWT membagi manusia menjadi dua kelompok, yakni orang yang bersyukur dan orang yang mengingkari nikmat. Sikap mengkufuri (mengingkari) nikmat dan pelakunya sangat dibenci-Nya, sementara bersyukur dan pelakunya sangat dicintai- Nya. Allah SWT berfirman Al-Qur‟an surat Al-Insan: 3

كَفُورًا وَإِمَّا شَاكِرًا إِمَّا السَّبِيلَ هَدَيْنَاهُ إِنَّا

Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.

Orang-orang yang bersyukur berarti menjaga eksistensi nikmat iman, maka mereka tidak berbalik ke belakang (murtad). Allah SWT menjanjikan tambahan oleh sikap bersyukur. Tambahan ini tidak terbatas sebagaimana tidak ada batas bagi bersyukur. Rasulullah SAW bersabda: “Mengungkap kenikmatan adalah bersyukur dan meninggalkannya adalah mengingkari. Orang yang tidak bersyukur terhadap yang sedikit, dia tidak akan bersyukur terhadap yang banyak. Orang yang tidak bersyukur kepada manusia berarti dia tidak bersyukur kepada Allah SWT. Bersatu adalah barakah dan berpecah adalah azab.” (HR. Ahmad 4:278)

Bersyukur lebih diwujudkan dalam bentuk perbuatan, sementara pujian lebih diwujudkan oleh ucapan. Faktor memuji lebih umum dari pada faktor bersyukur, tetapi variabel bersyukur dan orangnya lebih umum daripada orang yang memuji. Maka apa yang dipujikan Allah SWT lebih umum dari pada apa yang mereka syukurkan kepada-Nya. Yakni Allah SWT dipuji atas nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan nikmat-nikmat-Nya, dan Dia disyukuri atas nikmat-nikmat-Nya. Sedangkan orang yang memuji lebih tertentu daripada orang yang bersyukur. Yakni Allah SWT disyukuri oleh hati, lisan, dan anggota-anggota badan dan Dia dipuji oleh hati dan lisan. Rasa syukur dapat diwujudkan dalam bentuk sedekah seperti hadits yang berbunyi: Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Ada seseorang yang datang kepada Nabi Saw. Dan bertanya: “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Beliau menjawab: “Bersedekahlah sedangkan kamu masih sehat, suka harta, takut miskin dan masih berkeinginan kaya. Dan janganlah kamu menunda-nunda, sehingga apabila nyawa sudah sampai di tenggorokan, maka kamu baru berkata: “Untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian, padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli warisnya) (HR. Bukhari Dan Muslim).

Orang-orang yang gemar bersedekah akan di doakan oleh mereka yang mengelola, menyalurkan dan menerima sedekah. Semua berharap agar orang-orang yang gemar bersedekah selalu diiringi kebaikan, rahmat dan berkah dari Allah SWT. Inilah pesan penting yang hendaknya tidak di lupakan oleh umat Islam. Bersedekah karena tulus dan ikhlas, dengan niat ibadah dan berbagi dengan sesama yang membutuhkan, bukan karena status sosial, popularitas, bagian gaya hidup hura-hura, dan seterusnya.

Catatan penutup

Sebagai generasi yang mewarisi kebudayaan ini, kita hendaknya melestarikan tradisi luhur ini. Tradisi sedekah bumi menyimpan nilai moral,sosial dan spiritual antara lain rasa syukur, hidup harmoni dengan alam dan kebanggan terhadap budaya bangsa. Sebagai generasi penerus hendaknya kita terus memelihara keberadaan tradisi Sedekah Bumi agar kebudayaan ini tetap terlestarikan keberadaannya.

DAFTAR PUSTAKA

 

Nur Syam,                   2005    Islam Pesisir, (Yogyakarta: LkiS)

Jakob Soemarjo,          1997 Tradisi, dalam buku Orang Baik Sulit Dicari (Bandung: Penerbit ITB)

______________        2011 Sunda dan Pola Rasionalitas Budaya (Bandung: Kelir)

Agraha Suhandi,          1991 Pola Hidup Masyarakat Indonesia, (Bandung: Fakultas Sastra Unpad)

  1. Hasan Mustapa, 2010 Adat Istiadat Sunda, (Bandung: PT Alumni)

Koentjaraningrat,        1994    Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka)

Clifford Geertz,           1981    The Religion Of Java, terj.Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya,)

Ahmad Khalil,                         2008    Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Malang Press)

Zaini Muchtarom,       1988    Santri dan Abangan di Jawa, (Jakarta:INIS)

Ketfot : diambil dari ndorailtour.com

(Redaksi)