Egoisme Sumber Masalah Beragama dan Berbangsa

927

Oleh : KH HASAN NUR HIDAYATULLAH; Ketua PWNU Jawa Barat

Membaca fenomena kekinian, ummat muslim Indonesia diuji dengan berbagai ancaman perpecahan dan perang. bukan akibat kesalahan wahyu Allah SWT, hadis Nabi Besar Muhammad SAW dan perangkat hukum Islam yang lainnya.

Bisa dianalogikan dalam sebuah kisah dimana semua para nabi dan rasul utusan Allah SWT adalah orang-orang yang maksum. Maksum artinya terjaga dari perbuatan dosa, berarti tidak ada nabi dan rasul yang berbuat dosa, dosa kecil maupun dosa besar. Akan tetapi nyatanya, hampir semua para nabi dan rasul itu dzikirnya istigfar, artinya nabi dan rasul itu merasa punya kesalahan walaupun sebenarnya tidak bersalah.

Seperti Istigfarnya Nabi Adam As di dalam Al-Qur’an kita semua mengenal ‘rabbana dzolamna a’fusana waillam tagfirlana watarhamna lanakunnanna minal khosirin’. Kan salahnya Nabi Adam para ulama menafsirkan karena memakan buah khuldi, itu sebenarnya bukan kesalahan, itu syareat, wasilah dimana dari surga harus pindah ke bumi, itulah wasilahnya. Akan tetapi, beliau merasa bersalah dan sujudnya saja 100 tahun.

Kisah itu termaktub dalam Surat Albaqoroh ayat 37 ‘Fatalaqqo adama mirrobbihi kalimatin fataba ’alaihi innahu huwa attawabun rahim. Kemudian istighfarnya Nabi Yunus‘lailaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin. Kisah itu substansinya adalah pelajaran untuk memosisikan diri dan harus memiliki perasaan  merasa bersalah.

Bahkan semua tahu Baginda Junjungan Nabi kita Muhammad SAW, beliau dalam sejarah tidak pernah meninggalkan istigfar lebih kurang dari 70 kali dalam setiap malamnya, pertanyaannya adalah salahnya nabi apa, tidak ada yang punya salah ‘nabi awaluma yadkhulill jannah atau pertama kali orang yang masuk surga dan  pertama kali orang yang menempati istana-istana surga, surganya firdaus al a’la, bisa memberi syafaat kepada umat, akan tetapi masih beristigfar, salahnya apa, hanya merasa bersalah, merasa bersalahnya dimana. Jawabannya itu karena apa yang di berikan oleh Allah kepada ummat tidak sebanding dengan apa yang mereka berikan kepada Allah, sehingga memosisikan diri merasa bersalah. Nikmat Allah begitu besar tapi syukurnya seperti ini sehingga perasaan ini yang menanamkan perasaan merasa bersalah.

Hal ini yang sekarang sudah mulai hilang dari umat, semua merasa benar. Inilah yang jadi akar persoalannya. Padahal kenapa kemudian ada jaminan waja’alakum jannah (seluruhnya masuk surge) orang kalau masing-masing mempunyai kepribadian yang seperti itu. Kemudian juga akan hidup seperti di kebun, itu kan sebenarnya merupakan bagian dari pada kiasan  kalau kebun itu dalamnya pasti hijau dan sejuk dilihat. Sebaliknya berarti kalau kebun itu gersang daunnya akan kering, daun kering itu bisa dianalogikan seperti masyarakat yang mudah di provokasi, dibakar mudah tersulut, terkena angin mudah tercerai berai, diikat susah untuk bersatu.

Hal itu semua juga karena egoisme atau merasa benar sendiri. Sekarang, semestinya para ulama NU harus berusaha sebisa mungkin sesuai dengan kekuatan yang diberikan oleh Allah untuk menyadarkan masyarakat untuk bisa menjadi pribadi yang melakukan introspeksi dan merasa punya kesalahan.

Jangankan bicara lingkungan dunia yang segini besarnya, lingkungan bangsa kita yang 200 sekian juta rakyat, lingkungan yang paling kecil dalam keluarga saja, kalau suami dengan istri masing-masing merasa benar sendiri, tidak akan nyaman keluarganya dan mencapai kebahagiaan hidup. Sebaliknya,tapi kalau suami merasa dirinya punya kekurangan dan kesalahan terus  menyadarinya, istri  pun seperti itu, dari lingkungan keluarga yang terkecil akan terbangun keindahan.

Apalagi sekian banyaknya manusia tapi yang terjadi realitanya politisinya saling menyalahkan, birokratnya saling menyalahkan, yang sudah dikenakan pasal bermacam-macam di panggil oleh aparat misalnya kasus–kasus korupsi yang sudah ada menampiknya, itu kan mereka terkesan tidak merasa bersalah, ini yang jadi persoalan, sehingga yang ada saat ini sebenarnya adalah egoisme di tengah masyarakat yang pelan-pelan harus dikikis.

Kalau semua masing-masing merasa punya salah betapa luar biasanya, ini yang harus diajarkan kepada masyarakat kita karena rendahnya wawasan keagamaan masyarakat harus jadi bagian dari tanggung jawab ulama NU sehingga masyarakat yang ada dibawah ini memiliki pegangan hidup, mereka  harus bersikap seperti apa.

Prinsipnya, segala persoalan  yang muncul itu diawali dari kebodohan, sehingga dengan kebodohan itu muncul egoisme. Karena orang semakin tinggi ilmunya itu akan semakin mudah menerima perbedaan karena itu sunnahtullah.

Contoh sederhana, dulu  ada tokoh non muslim namanya Hitler. Hitler itu mungkin sudah menghabiskan berapa juta nyawa, persoalannya apa, karena egoismenya yang  merasa dirinya paling benar yang menganggap selainnya salah, sehingga orang yang tidak sepaham dengan dia dianggap berlawanan dan harus dihabisi.

Kemudian di China mao tse tung, jutaan jiwa korban dibunih, ini kasus-kasus yang diluar koridor Islam tapi penyakitnya sama, merasa paling benar. Berdirinya Negara Saudi Arabiah juga karna sama seperti itu, kemudian terjadi pemberontakan sehingga yang tidak sepaham harus dihabisi, orang-orang Syiah juga demikian ketika mereka tidak sepaham dan tidak bisa diajak bergabung juga harus dihabisi.

Solusi atas segala problem kebangsaan tersebut harus didasarkan pada keyakinan bahwa pertolongan Allah itu lebih dari segalanya. Kembalinya pada kenyakinan kita, semangat perjuangan itu tidak bisa dikalahkan oleh apapun, bicara logika dan tidak logika kalau sudah keinginan Allah itu sudah pasti mudah terjadi. Kita sudah tidak bicara logika dan tidak logika, karena bagaimana Negara kita yang dahulu 100 persen non muslim menjadi muslim, hanya dengan alat dakwah yang sangat sederhana beserta fasilitas yang sangat sederhana pula.

Selain itu, bagaimana kondisi bangsa kita selama 350 tahun pernah dijajah Belanda, senjata mereka tentu lebih jauh canggih sedangkan senjata kita jauh lebih rendah, karena apa bisa kita menangkan dan merdeka?. Itu karena semangat yang besar disertai keyakinan dan ikhtiar dengan sungguh-sungguh.

Imam Syafi’i menasehatkan, manusia tidak ada yang bisa selamat atau terhindar dari 3 hal yang pertama kematian yang kedua rasa capek karena kewajiban-kewajiban ibadah dalam agama yang ketiga tidak bisa menghindar dari cercaan-cercaan orang. Manusia tidak ada yang bisa selamat, setinggi apapun jabatannya, setingi apapun alimnya tidak bisa selamat dari fitnah dan penilaian negatif orang lain. Kalau orang yang paling soleh pasti selamat, mestinya Rasullah Muhammad SAW tidak ada yang membicarakan jelek dan memusuhinya.

Imam Syafi’i menasihati, kalau diomongin orang, anggap  omongan itu seperti lemparan batu yang jangan di tangkis, kalau ditangkis hanya akan menambah luka dibadan kita, hindari sedikit saja ambil batu itu sebagai hikmah tumpuk batu itu berdirilah kau diatas batu itu, maka semakin banyak omongan yang datang kita semakin tinggi derajatnya.

Sudah pasti tidak akan selamat dari cercaan, seperti ada sebuah cerita Lukmanul Hakim, terdapat bapak sama anak membawa khimar yang dinaikin berdua kemudian  diomongin orang, dasar tidak tau diri keledai kecil dinaikin berdua. Besoknya sang ayah menaiki keledai dan anaknya yang menuntun keledainya, orang kemudian mencercanya dasar orang tua tidak mengajarkan kebaikan kepada anaknya, tega anaknya menuntun keledai. Hari selanjutnya anaknya yang diatas dan sang ayah menuntun keledainya tetap digunjing dasar anak tidak punya sopan santun, sampai akhirnya keledai hanya dituntun berdua akan tetapi ada saja yang tetap menyalahkannya dengan menuduh bodoh ada keledai tidak dimanfaatkan untuk kendaraan. Akan tetapi cercaan fitnah dan sejenisnya adalah seni dalam berdakwah. Wallahu A’lam Bissowab