DARI NEGARA UNTUK PONDOK PESANTREN

197

(Catatan Refleksi 12 Tahun PBSB Kementerian Agama RI)
Oleh: Ruchman Basori*
Tidak semua santri di pondok pesantren akan menjadi kyai (ahli agama), kata KH. Abdul Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur, Putra Hadratus Syaih Hasyim Asy’ari. Karenanya para santri perlu diberikan pelajaran Al-Jabar (Matematika), Sejarah, Ilmu Bumi, Bahasa Belanda dan ketrampilan sebagai bekal di kehidupannya kelak.

Hal inilah yang menjadi salah satu pemikiran berdirinya Madrasah Nidzamiyah di Pesantren Tebuireng sekitar tahun 1930-an yang di inisiasi oleh Kyai A. Wahid Hasyim bersama Kyai Ilyas.

Kendatipun untuk konteks saat itu banyak ditentang oleh para kyai, namun atas restu Hadratus Syaih KH. Hasyim Asy’ari, ide memasukan pelajaran umum ke dalam pondok pesantren melalui Madrasah Nidzamiyah akhirnya dapat terwujud.

Harapan para kyai agar alumninya kelak siap pakai dan menjadi manusia-manusia yang dibutuhkan oleh masyarakat sebagaimana langkah yang dilakukan oleh KH. A. Wahid Hasyim bersama Kyai Ilyas, seolah terwujud dalam konteks megeri ini di tahun 2005.

Tepatnya ketika Kementerian Agama RI menjalin kerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi ternama, melalui Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB). Karena selama ini orientasi belajar di pesantren “hanya untuk belajar agama (tafaqquh fiddin)”, dan kurang konsen pada pemenuhan hajat hidup lainnya.

Di sisi lain bahwa akses ke perguruan tinggi bagi santri yang umumnya berasal dari sosial-ekonomi lemah (mustadh’afin), masih sangat terbatas. Kondisi pendidikan di pondok pesantren dan madrasah juga kurang beruntung mendapatkan keadilan perlakuan, keadilan anggaran dan keadilan fasilitas serta keadilan di mata undang-undang, telah menjadikan kaum santri agak lamban merespon sains dan teknologi.

Kementerian Agama, memfasilitasinya dengan mengajak sejumlah perguruan tinggi ternama, berkomitmen mencerdaskan santri mengenyam pendidikan tinggi, yang selama ini di idam-idamkannya. Ikhtiar itu melalui pemberian beasiswa kepada santri berprestasi yang akhirnya diberi nama Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) untuk meningkatkan kualitas pondok pesantren dan masyarakat.

Memorandum of Understanding (MoU) diteken antara Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam (sekarang Ditjen Pendidikan Islam), saat itu dipimpin oleh Prof. H. A. Qadri A. Azizy, M.A., Ph.D (alm) dengan Rektor IPB Bogor, Prof. Anshori Matjik pada tahun 2005. Diawali dengan dua Perguruan Tinggi, yaitu IPB Bogor dan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta.

Selanjutnya bertambah banyak menjadi 15 PT Mitra yaitu IPB Bogor, UGM Yogyakarta, UNAIR Surabaya, Uniersitas Indonesia, ITS Surabaya, ITB Bandung, UPI Bandung, Universitas Mataram, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Walisongo, UIN Sunan Ampel, UIN Sunan Kalijaga, UIN Maulana Malik Ibrahim, UIN Alaudin, Uniersitas Cenderawasih, Universitas Islam Malang (UNISMA), Universitas Surya Serpong dan Uniersitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta.

Sampai dengan tahun 2017 Kementerian Agama telah memberikan beasiswa kepada kaum santri sebanyak 4.500 orang dan berasal dari 800 pondok pesantren se-Indonesia. Penerimaan PBSB melalui seleksi yang ketat dari 6000 peserta seleksi diambil antara 300-500 orang. Tidak kurang 40-67 milyar dana negara dikeluarkan untuk kepentingan beasiswa santri tersebut melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Ditjen Pendidikan Islam.

Mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikan sebanyak 3.530 orang dan saat ini sedang melakukan pengabdian pada pondok pesantren. Ini merupakan langkah besar, geniun dan brillian sepanjang Indonesia merdeka perhatian Negara terhadap kaum santri.

Perlu diketahui bahwa PBSB Kementerian Agama lahir jauh sebelum Program Bidik Misi dicanangkan oleh Kemendikbud. Bahkan waktu itu, Prof. Dr. M. Nuh, DEA sebagai Rektor ITS (2006) sebagai salah satu pimpinan PT yang berkomitmen menerima santri kuliah di ITS, di saat pimpinan PT yang lain masih meragukan kemampuan santri untuk menguasai sains dan teknologi.

Civitas akademika PTUN masih menganggap, santri pesantren dianggap kurang mampu bersaing dengan siswa SLTA lainnya studi di perguruan tinggi papan atas.

Melalui PBSB anggarapan itu telah terbantahkan. Kenyataannya para mahasiswa yang nota benenya adalah santri mampu bersaing dengan mahasiswa lain hatta berasal dari SMA Unggulan.

Pada umunya mereka mengambil jurusan dan program studi keilmuan dan kajian yang cukup bergengsi di perguruan tinggi mitra Kemenag, seperti sains dan teknologi, teknok informatika, teknik sipil, industri, lingkungan, hubungan internasional, kedokteran dan ilmu kesehatan, ilmu hokum, ekonomi, sosial dan humaniora, ilmu pendidikan, dan Islamic Studies.

Para profesor dan dosen merasa puas dengan prestasi akademik yang dicapai oleh mahasiswa PBSB. Banyak diantara mereka memperoleh prestasi akademik memuaskan dengan IPK di atas 3,5 bahkan nyaris 4,0. Mereka juga banyak meraih prestasi non akademik.

Beberapa mahasiswa melalau seleksi ketat oleh lembaga donor berkesempatan mengikuti pelbagai shoort course dan pelatihan di luar negeri. Dengan ketrampilan bahasa yang dimiliki dan kemampuan akademik ada beberapa alumni PBSB yang dapat studi lanjut pada Program Pascasarjana (S2) di Amerika, Taiwan, China, Jerman, Perancis, Belanda, Australia, Jepang dan lain-lain.

Berjibun prestasi kejuaraan juga telah mereka raih pada olimpiade sains dan teknologi, MTQ, Debat Bahasa Inggris dan Arab, Debat Konstitusi dan Lomba Penulisan Ilmiah serta kompetisi-kompetisi yang lain baik dalam dan luar negeri. Publik tersadarkan pada sebuah kenyataan, bahwa santri kalau diberikan affirmasi yang sama dengan anak bangsa lainnya mampu bersaing mencapai puncak prestasinya.

Dampak Program

Di balik kesuksesan dan apresiasi positif dari kalangan pondok pesantren, perguruan tinggi dan masyarakat, program ini bukan tanpa kekurangan. PBSB telah di desain untuk tidak terkesan memindahkan (transfer) pendanaan dari lembaga donor ke mahasiswa. Namun sejak dari system rekrutmen, proses studi dan pembinaan peserta program sampai pengabdian pasca lulus telah dirancang dengan baik.

PBSB bukan program serampangan dan sporadis, namun telah dipersiapkan sebagai pembumian gagasan penguatan sains dan teknologi bagi santri. Pada saat rekrutmen para mahasiswa PBSB telah diberikan pembekalan baik akademik maupun non akademik berupa pengenalan dunia akademik di kampus, wawasan dan komitmen kepesantrenan, wawasan kebangsaan dan ke-Indonesiaan sebagai bekal untuk mengarungi dunia ilmu pengetahuan di kampus. Sebuah dunia baru tentu membutuhkan persiapan mental, spiritual, intelektual, dan sosial.

Setelah mereka menjalani proses studi di kampus, dibuatlah sebuah wadah Community of Santri Schoolers Ministri of Religius Affairs (CSS MoRA) agar mereka bisa mengembangkan diri dengan baik, memberdayakan intelektual, profesionalisme, menajamkan nurani dan kepedulian sosial.

Tanpa menghambat partisipasi mereka dalam kegiatan kemahasiswaan di kampus semacam DEMA, SEMA, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), HMJ, Kelompok Studi, sanggar-sanggar bakat dan seni dan aktivitas-aktivitas lainnya.

Kementerian Agama tidak sekedar menjadikan mahasiswa PBSB menjadi sebagai seorang yang cerdas intelektualnya, tetapi juga orang yang mempunyai ketajaman dan keberpihakan pada kelompok-kelompok yang lemah (mustadh’afin).

Mereka bukan intelektual yang berada di menara gading, tetapi dicetak sebagai intelektual organic. Menurut Almarhum Prof. H. A. Qadri A. Azizi, M.A., Ph.D mahasiswa PBSB dicetak menjadi penemu (inventor), pencipta (creator) dan pembaharu (innoator) dalam kehidupannya.

Dampak langsung dari PBSB adalah menambah sumber daya manusia baru untuk mengembangkan pondok pesantren dan masyarakat. Karenanya Kementerian Agama mewajibkan kepada lulusan beasiswa ini untuk mengabdi (khidmah), mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya.

Munculnya SDM Baru akan mempercepat proses pengembangan pesantren sebagai lembaga yang mengakar di masyarakat. Dapat dikatakan inilah sumbangan nyata yang dilakukan negara kepada pesantren. Dari negara untuk pondok pesantren dan masyarakat.

Mengawal program ini agar sesuai dengan disain yang telah direncanakan oleh para The Foaunding Father PBSB tidak mudah. Butuh konsistensi (istiqomah), kemauan dan komitmen tidak saja penyelenggara tetapi juga para santri peserta program dan kalangan pondok pesantren.

Rekrutmen yang menghasilkan mahasiswa yang bagus, proses pendidikan di kampus yang kredibel dan pemanfaatan alumni melalui program pengabdian nampaknya harus kita pikirkan bersama secara sinergis. Tak kalah pentingnya adalah supporting anggaran yang memadahi.
“program yang mempunyai misi menyiapkan para pemimpin dan pengubah dunia sangat strategis, membutuhkan semangat, perjuangan dan pengorbanan oleh para penyelenggaranya”, kata Imam Safe’i Direktur Pendidikan Agama Islam (PAI) yang kala itu sebagai Kasubdit Pendidikan Pesantren.

Saya memahami betul keterbatasan personil, kapasitas pegawai, komitmen pengkaderan yang dimiliki Kementerian ini dalam menciptakan visi layanan pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan melalui PBSB. Pada saat yang sama mahasiswa PBSB harus mempunyai kesadaran untuk memberdayakan pondok pesantren di samping komitmen belajar sungguh-sungguh mempersiapkan diri menjadi pemimpin, profesional dan aktor-aktor penggerak pembangunan (aktivis).

Mahasiswa PBSB juga harus dijaga semangat keberagamaannya sesuai dengan karakter, tradisi dan kultur pesantren yaitu Islam yang inklusif, toleran dan damai, apalagi di saat maraknya kontestasi keberagamaan yang cenderung radikal. Ini penting karena jangan sampai setelah pulang ke pesantren, orang tua dan masyarakat malah mempunyai pemahaman dan keyakinan keagamaan baru yang bertentangan dengan kebanyakan orang.

Ikhtiar pengabdian yang telah disepakati bersama antara mahasiswa PBSB dengan Kementerian Agama dan Pondok Pesantren bisa berjalan dengan baik. Bukan menjadi beban, apalagi dianggap menghambat karir. Pengabdian bisa dijadikan sarana efektif persiapan menuju studi lanjut dan menajamkan kiprahnya di masyarakat.

Program pengabdian pasca lulus di pesantren sangat bagus dan bisa menjadi point bagi mereka yang ingin melanjutkan studi di luar negeri, karena PT di Luar Negeri sering mempersyarat mahasiswa yang telah berpengalaman bekerja. Wallahu a’lam bi al-shawab.

*) Penulis adalah Mantan Kepala Seksi Pemberdayaan Santri Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren dan kini Kepala Seksi Kemahasiswaan pada Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama RI.