Dakwah Ramah

297

Oleh: Kiai Maman Imanulhaq*)

Di suatu daerah, pernah terjadi konflik antar-elite politik yang memberi izin sebuah pementasan seni, tetapi para tokoh agama menganggap kesenian itu tidak layak dipentaskan di kota tersebut. Kedua kelompok memasuki labirin konflik yang sarat kontradiksi dengan cara melontarkan argumentasi yang berbeda menurut perspektif masing-masing.

Reaksi keras itu merupakan bentuk protes dan keprihatinan yang wajar dari para ulama sebagai pemegang otoritas keagamaan. Mereka merasa bertanggung jawab untuk melakukan apa yang disebut dalam term Islam sebagai amar makruf nahi munkar, yakni mengajak manusia kepada jalan kebaikan dan mencegah manusia dari hal-hal yang munkar (buruk, jahat, dan lain-lain). Sedangkan, pihak aparat mengatakan telah ada kesepakatan dari berbagai pihak untuk menggelar pementasan tersebut.

Kekuatan Logika atau Logika Kekuatan?

Penulis sendiri tidak terlalu peduli tentang gagal atau tidaknya pementasan tersebut. Tetapi, perdebatan yang berkembang tentang pementasan itu seharusnya bisa merangsang tumbuhnya masyarakat yang berpikiran kritis dan peduli terhadap problem sosial tanpa terjebak pada argumentasi yang picik dan naif. Masyarakat seharusnya memperlihatkan argumentasi yang sehat berdasarkan “kekuatan logika”, bukan “logika kekuatan”. Suara umat, hak publik, dan kepentingan masyarakat sudah selayaknya mendapatkan ruang yang cukup agar kehidupan menjadi semakin baik dan sehat. Yang mengkhawatirkan, sering kali masyarakat hanya menjadi tumbal bagi para elite politik maupun agama yang bersikap ambigu.

Para elite politik dan agama itu kadang menghadapi situasi kekikukan dan kesulitan, sekaligus terjebak pada romantisme kemapanan, klaim kebenaran, dan ketertutupan dalam tradisinya sendiri yang picik dan eksklusif. Banyak pemimpin umat yang mengalami kegagapan mental dan intelektual menghadapi kemajuan budaya yang kompleks dan dinamis. Implikasinya, umat Islam pun kehilangan vitalitas, daya hidup dan daya saing di tengah kehidupan yang semakin dinamis, progresif, dan penuh tantangan. Hal ini tercermin dari sepak terjang beberapa tokoh Muslim yang tidak menyentuh substansi persoalan yang berkembang di masyarakat. Hal itu terlihat dari terabaikannya problem-problem kemanusiaan serta tercerabutnya nilai spiritualitas dan nalar pembaruan dari para tokoh agama dalam perubahan yang sangat cepat. Kondisi seperti itu, bisa memerosotkan citra dan meruntuhkan kekuatan Islam dan umat Islam itu sendiri.

Eksploitasi umat untuk kepentingan politik serta wilayah kekuasaan tertentu yang dilakukan para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan elite politik dengan logika serta selera sendiri tanpa mempertimbangkan aspek kemaslahatan umat di satu sisi, serta menghegemoni dan mendominasi peran, kesempatan, dan pandangan umat yang pluralistik di sisi yang lain, akan semakin memperparah keadaan umat yang telah terperosok pada jurang kemiskinan, kekerasan, perpecahan, dan pandangan sempit yang terpisah dari realitas.

Begitu pula, berhentinya ikhtiar para pemuka agama untuk mempertemukan gagasan dan pemikiran yang emansipatif dan eksploratif, baik bercorak keagamaan maupun kebudayaan, telah membuat ajaran Islam yang bersifat universal, inklusif, dan liberatif, kehilangan kemampuan dan daya pesonanya dalam proses akulturasi dan asimilasi berbagai tradisi serta budaya lokal yang selama ini menjadi roh dakwah Islam, sehingga bisa terwujud peradaban Islam yang rahmatan lil-‘âlamîn.

Penulis setuju bahwa kemaksiatan harus diperangi, tetapi jangan pada kasus fenomenal yang bersifat sesaat. Yang lebih penting untuk direspons adalah problem kemanusiaan yang sangat mendasar seperti persoalan judi, narkoba, korupsi, perusakan alam, dan sedemikian banyak kezaliman lainnya yang merajalela di negeri ini. Korupsi, misalnya, bagaikan kanker ganas yang terus menggerogoti negeri ini. Akibat korupsi, rakyat–khususnya kaum lapis bawah–semakin sengsara dan negeri ini berada di ambang kebangkrutan!

Kita juga perlu merespons berbagai fenomena “pembusukan sendi kehidupan” yang kian marak di negeri ini, misalnya tampak pada mewabahnya budaya instan di tengah masyarakat materialistik-konsumeristik. Banyak orang berusaha sukses dan kaya tanpa harus berusaha. Dakwah yang ramah dan tepat sasaran akan punya makna bila diteruskan dengan kerja keras, kerja cerdas, dan membangun jejaring (networking) dengan semua komponen masyarakat untuk merespons persoalan-persoalan sosial, politik, budaya, ekonomi, dan seterusnya yang lebih mendasar.

*Penulis adalah Pengasuh Ponpes Al-Mizan Jatiwangi Majalengka,Juga anggota DPR RI Periode 2014-2019