Curhatan Abege tentang Aswaja

213

Oleh: Hilmi S Fuadi
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (biasa disingkat “Aswaja”) merupakan paham yang dianut oleh mayoritas umat Islam. Terutama di Indonesia, negeri yang konon katanya memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia itu mayoritas umat muslimnya berakidahkan Aswaja. Namun demikian, perlulah diakui bahwa pemahaman kebanyakan orang mengenai Aswaja itu sendiri dinilai masih jauh dari komprehensif. Islam Aswaja yang dipahami dan diajarkan kepada masyarakat umum hanyalah kilasan elementernya saja. Bahkan, sesempit yang teramati oleh mata sipit saya, Aswaja pada umumnya hanya dipahami sebagai Islam yang melakukan shalat sunnah tarawih 20 raka’at, melakukan tahlilan, qunut, maulidan, dan hal lainnya yang berkaitan simbol belaka.

Dengan kondisi seperti itu, secara tiba-tiba saja, kita–khususnya kaum Nahdliyyin–segera meyakini bahwasanya Aswaja adalah benar, sudah benar, akan benar, bahkan pasti selalu benar. Keyakinan tersebut mungkin saja merupakan kebenaran, tetapi yang mesti diakui adalah ketergesaan kita dalam meyakininya, tanpa terlebih dahulu memahaminya secara mendalam dan serius. Akhirnya, keyakinan akan kebenaran Aswaja tersebut pun hampir-hampir menjadi sebatas dogma, karena keyakinan tersebut tak pernah benar-benar disikapi secara kritis. Tentu saja hal ini bertentangan dengan nilai Aswaja itu sendiri, sebab Aswaja (baik secara manhaj maupun madzhab) selalu menyiratkan keterlibatan nalar yang serius dalam setiap aktivitas produksinya.

Lalu, apa itu Aswaja yang sesungguhnya?

Para santri dari kalangan NU biasanya memahami Aswaja sebagai paham keislaman yang dalam bidang aqidahnya menganut aliran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (w. 333 H), sementara dalam bidang fikih menganut salah satu dari madzhab empat; yaitu Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik bin Anas (w. 179 H), Imam Muhammad bin Idris (w. 204 H), Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), sedang dalam bidang tasawwuf mengikuti paham Abu Qosim Junayd Al-Baghdadi (w. 290 H) dan Abu Hamid Al-Ghazali (w. 504 H). Selebihnya, kaum Nahdliyyin juga memiliki keyakinan terhadap ajaran thariqah (mu’tabarah) yang kemudian diorganisir dalam wadah organisasi Jatman (Jam’iyyah Ahlith-Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah).

Saya pribadi tidak bisa menganggap pemahaman tersebut di atas keliru, walaupun pada saat yang bersamaan saya juga berkeyakinan bahwa pendefinisian Aswaja yang seperti demikian belumlah dapat dikatakan final. Dalam buku “Tasawwuf Sebagai Kritik Sosial”, KH. Sa’id Aqil Siroj berpendapat bahwa sampai saat ini kita belum memiliki pengertian yang lebih epistemologis yang mendefinisikan Aswaja secara tuntas dan menyeluruh. Bahkan, pengajaran mengenai Aswaja yang lumrah dilakukan di berbagai pesantren NU pun dinilai hanya sebatas bentuk penyederhanan yang bersifat praksis saja, dan tidak melalukan penggalian lebih dalam hingga menyentuh akar fundamentalnya.

Kiai Sa’id Aqil sendiri memilih untuk tidak membatasi Aswaja dengan satu-dua madzhab tertentu. Dengan sangat berani, ia bahkan mengatakan bahwa pendefinisian Aswaja seperti di atas mengandung kecacatan logika. Ia berdalih, “definisi” tersebut masih tidak dapat dikatakan sebagai definisi sebagaimana yang diatur dalam ilmu logika (manthiq).

Selanjutnya, Kiai Sa’id cenderung memaknai Aswaja sebagai asas/kerangka umum dalam berfikir (metode/manhajul-fikr). Ia berpendapat bahwa Ahlussunnah Waljama’ah adalah sekelompok orang yang memiliki kerangka berpikir keagamaan yang berpijak pada nilai-nilai tawassuth (moderasi) dan tawaazun (keseimbangan) dalam merespon berbagai realitas kehidupan. Tentu saja “definisi baru” yang ditawarkan oleh Kiai Sa’id Aqil tersebut sempat menjadi kontroversi besar. Bukan saja telah menyinggung beberapa kalangan, ia lebih jauh telah dianggap berselingkuh dan berkhianat dari ta’rif yang telah digagas oleh Hadlratusy-syaikh Hasyim Asy’ari mengenai Aswaja.

Pada beberapa bagian, respon “kemarahan” dari sebagian kaum Nahdliyyin terhadap apa yang telah dilakukan oleh Kiai Sa’id itu dapat dimaklumi. Pasalnya, kaum Nahdliyyin telah “terlanjur” menghayati konsepsi adab, akhlak/tata krama dengan penghayatan yang sangat mendalam. Maka tidaklah mengherankan apabila mereka (kadang-kadang) terkesan amat sensitif ketika ada seseorang yang dianggap telah “menyerang” tokoh yang begitu dihormati atau dimuliakan. Apalagi, ketika “tokoh yang diserang” itu adalah Rais Akbar Hadlratusy-syaikh dan “orang yang menyerang” pun masih merupakan bagian dari mereka. Maka serempak saja mereka berbondong-bondong mengingatkan “penyerang” itu agar segera menginsafi kerjanya yang dianggap telah keluar dari ciri khas keaswajaan ala NU, yakni berlaku “suul adab” kepada yang lebih tua.

Budaya pengutamaan terhadap adab ini telah menjadi ciri khas yang mengakar kuat di kalangan Nahdliyyin. Bahkan, boleh jadi budaya tersebut merupakan salah satu keunggulannya daripada golongan Islam yang lain. Hanya saja, konsepsi ta’dzhim yang diaplikasikan secara berlebihan dan tidak proporsional juga bukanlah sesuatu yang baik. Ia bisa saja menjadi penghambat bagi keberlangsungan berbagai aktivitasnya pada bidang yang lain. Contohnya saja, dalam hal intelektualitas, apabila perilaku sopan santun itu juga diberlakukan secara ketat, maka Imam Syafi’i tak mungkin mendirikan madzhabnya tersendiri sebab rasa ta’dzhimnya kepada sang guru Imam Malik. Namun dengan demikian, bukan berarti kita dapat mengatakan Imam Syafi’i telah berlaku suul adab dengan mendirikan madzhabnya sendiri, melainkan ia telah berhasil mendudukkan adab dan ilmu secara proporsional pada tempatnya masing-masing.

Saya mengira begitu pulalah yang terjadi dengan Kiai Sa’id serta kritikannya terhadap salah satu produk pemikiran Hadlratusy-syaikh. Kritik dan tawaran barunya itu perlu kita simak dan tempatkan dalam medan intelektualitas. Maka karenanya, menuduh beliau telah berlaku suul adab terhadap Hadlratusy-syaikh adalah tuduhan yang tidak pas dan tidak apple-to-apple.

Sejujurnya, pendapat yang ditawarkan Kiai Said tentang Aswaja juga belum dapat saya yakini dengan teguh sebagai kebenaran yang final. Sebabnya, saya belum banyak mengantongi penafsiran lain sebagai bahan perbandingan, sehingga pencarian saya mengenai Aswaja pun masihlah jauh dari kata selesai–bahkan baru saja dimulai. Akan tetapi, pekerjaan dan keberanian yang telah dicontohkan oleh Kiai Said haruslah mendapat apresiasi tinggi serta harus dilanjutkan oleh generasi selanjutnya.

Saya meyakini, kita semua masih sangat membutuhkan akan terlahirnya banyak penafsiran dan penelaahan baru terhadap “maa huwa Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah“, atau “man hum Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah“. Sebab, kita kaum Nahdliyyin telah meyakini Aswaja dan telah terlanjur mengklaim diri sebagai Aswaja. Namun sayangnya, pengetahuan kita tentang Aswaja itu sendiri pun tidaklah mendalam, apalagi utuh dan menyeluruh. Lalu, bagaimana bisa orang yang tidak tahu menahu tentang negeri Zimbabwe, tiba-tiba saja mengaku diri sebagai warga negara Zimbabwe?

Wallaahu a’lamu bish-shawaab.